Print
Hits: 1699

User Rating: 3 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar InactiveStar Inactive
 

Di bukit gersang itu tampaklah orang-orang berdiri tegak, memandang tiga tonggak yang pula terpancang tegak. Ada raut marah, ada mata berkaca-kaca, ada wajah sedih, ada pula yang tidak tahu lagi harus bagaimana. Tiada keteduhan, apalagi kesejukan, yang banyak ditemukan ha-nyalah jerit tuduhan, kepada sosok yang diam tanpa keluhan. Deru debu beter-bangan, saat hati yang jahat menyorakkan kemenangan. Sementara itu burung-burung gagak mendendangkan nyanyian, menggemakan senandung kematian.

Siapakah yang dapat berlari, setelah tubuh terpatok di salib pada puncak Kalvari? Namun, siapakah yang mau kembali, karena bukankah ini yang menjadi tujuan-Nya sejak Ia lahir di bumi pertama kali?

Sosok yang disalib di tengah itu, begitu mempesona kalbu. Di tengah segala kesakitan dan penderitaan-Nya, di tengah segala keletihan dan ketakberdayaan-Nya, Ia hanya memandang lembut kepada semua orang, yang mengelilingi-Nya dengan tatapan garang. Dalam mata-Nya tidak ada kebencian, tidak ada kemarahan, yang ada hanyalah be-laskasihan. Dari bibir-Nya yang kering dan pecah-pecah itu pun terucap, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Terkadang kita pun tidak mengerti, mengapa ada orang yang begitu menya-kiti hati, melukai jiwa. Bahkan ada kalanya kita datang membawa kebaikan, namun harus pulang dengan hati tertekan. Ketika susu kita berikan kepadanya, tubalah yang kita dapatkan darinya. Ketika tidak ada lagi yang dapat kita lakukan, tidak ada lagi yang dapat kita ubah selain menelan kepahitan, mengapa kita tidak satukan doa kita dengan doa-Nya? “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang me-reka perbuat.” Di sinilah kita berlatih dalam ketaatan suci, menerima setiap kehendak Bapa yang terjadi dalam hidup kita. Mungkin saat itu Bapa sedang mengajarkan kita untuk belajar mengasihi sesama. “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Mat. 5:46) Sebagaimana Bapa menurunkan hujan bagi orang baik maupun orang jahat, demikianlah hendaknya kita memberikan kasih kita kepada semua orang tanpa pandang bulu. Bahkan semakin sakit orang melukai kita, semakin besarlah kesempatan kita untuk bertumbuh dalam cinta kasih. Jika kita sudah dapat mengasihi orang-orang yang melukai hati, saat itulah kita mulai mengerti apakah artinya cinta.

Pukul duabelas siang langit pun menjadi gelap. Kekelaman menyelimuti bumi karena seolah mentari pun telah enggan menunaikan tugasnya, untuk bertengger di langit hingga petang. Sementara bulan dan bintang juga masih menyembunyikan diri enggan beranjak, hingga orang tidak tahu lagi entah itukah siang atau malam? Akan tetapi, memang tidak ada yang peduli saat itu siang atau malam. Bahkan mungkin mem-bedakan siang atau malam pun tidak dapat, karena kebanyakan mereka juga telah gagal membedakan yang baik dan yang jahat. Bukankah saat itu kejahatan dibebaskan dan kebaikan disalibkan?

Tubuh itu meregang menahan sakit, tangan itu terentang dengan paku menembus kulit. Pribadi yang dikhianati, yang ditinggalkan, yang dicela dan dicerca, menggantung di antara langit dan bumi, di antara keributan manusia yang membenci dan kebisuan cakrawala yang berduka. Namun, tidak ada kemarahan sedikit pun di mata-Nya, tidak ada dendam di wajah-Nya, selain kasih dan kasih. Letih, luka, tenggorokan kering, berserulah Ia akhirnya dengan suara lirih, “Aku haus...”

Haus..., bukankah menjadi kata yang begitu jelas menggambarkan hati manusia? Manusia selalu saja haus. Haus harta, haus tahta, haus cinta. Begitu banyak keinginan di hati manusia, yang membuatnya bagai singa lapar dan terluka, mengaum dan meronta, terjepit dan tertekan.

Kalau begitu, apakah sebetulnya yang membuat manusia tertekan? Bu-kankah karena terlalu banyak keinginan? Sudah bukan rahasia lagi bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat terjadi dalam kehidupan. Oleh karena itu, pada saat manusia mulai mengingini, saat itulah ia mulai menjadi letih. Kehausan tidak pernah terpuaskan, karena ba-nyak hal tidak sesuai dengan keinginan. Akhirnya manusia mulai bergelimang kecewa dan derita, berpeluh mengeluh sepanjang masa.

Andaikan saja dalam ketaatan suci, kita menerima segala sesuatu yang terjadi dengan hati penuh syukur, tentu akan lain jadinya. Saat kita dapat me-mandang setiap peristiwa dengan kacamata iman, bahwa itu semua terjadi karena kehendak-Nya, hati kita pun akan lebih damai. Kehendak Allah hanyalah satu, yaitu kebahagiaan dan ke-selamatan kita. Segala kepahitan maupun kemanisan yang kita alami, semata hanya untuk kebaikan kita. Oleh karena itu, betapa damainya hidup ini, jika kita dapat selalu bersyukur atas apa pun yang terjadi. Bahkan sekali pun kita tidak mengerti apakah makna di balik derita, kita hanya cukup meng-imani, bahwa pastilah itu yang terbaik untuk kita. Justru masa-masa seperti inilah Allah menumbuhkan kebajikan harapan kita. Saat semua terasa begitu suram, mampukah kita tetap berharap kepada Allah? Memandang secercah cahaya kasih-Nya yang ada jauh di depan, namun perlahan datang mendekati kita dan menjadikan seluruh ada kita terang benderang? Rancangan-Nya adalah rancangan keselamatan, rencana-Nya adalah rencana kebaikan. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Rm. 8:28) “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yer.29:11)

Kalvari semakin gelap, awan kelam berat menggantung menutupi mentari yang sedang lelap. Embun sudah lama mengering, meniadakan kesegaran ka-sih yang sudah lama hilang. Kebencian di mana-mana, kemarahan merajalela, tanpa mereka ketahui bahwa ada Cinta yang sedang menanggung dosa dan kelemahan mereka. Dosa umat manu-sia saat itu ditanggung-Nya, manusia di segala penjuru dan segala masa. Be-tapa Sang Keindahan Sempurna itu kehilangan segala keanggunan-Nya, terlumur kejahatan dan kotornya dosa manusia. “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.” (Yes. 53:3-4)

Sang Kesucian itu berlumur pekatnya dosa manusia, sehingga teralamilah rasa keterpisahan yang amat mengerikan, yang membuat-Nya berteriak, “Eloi ...Eloi... lama sabakhtani? Allahku.. Allahku... mengapa Engkau mening-galkan Aku?” Namun, seruan itu tidak terjawab, menggantung begitu saja di awang-awang dan akhirnya lenyap ber-sama angin yang berlalu.

Marahkah Ia, ketika seruan-Nya tidak terjawab? Putus asakah Ia, ketika segalanya terasa begitu berat dan sen-dirian? Cinta yang sempurna itu tidak berkurang sedikit pun. Dengan taat dan sabar ditanggung-Nya semua pen-deritaan itu, demi cinta-Nya yang besar kepada umat manusia dan kepada Bapa di surga. Ditanggung-Nya itu semua hingga titik darah terakhir, hingga hembus nafas-Nya yang terakhir, teriring ucapan pasrah penuh cinta, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nya-wa-Ku.”

Bukankah ada kalanya pula kita merasa doa-doa kita tidak didengar? Menguap begitu saja bersama angin dunia yang bertiup kalap. Berapa banyak pun berdoa rasanya doa itu tidak pernah membumbung sampai ke surga, lenyap menguap sebelum mencapai tujuannya. Bahkan seringkali kita merasa pula bahwa Bapa tidak peduli lagi, mem-biarkan kita dalam penderitaan dan kesendirian.

Akan tetapi, justru saat-saat seperti itulah saat yang berahmat, saat Bapa membentuk iman kita agar semakin kokoh tidak tergoyahkan. Ketika mata fana ini tidak mampu lagi melihat campur tangan-Nya, ketika hati yang fana ini tidak mampu lagi merasakan kehadiran kasih-Nya, masih dapatkah kita tetap datang kepada-Nya? Menyerahkan seluruh diri kita kepada-Nya? Sesung-guhnyalah Allah tidak pernah meninggal-kan kita. Bahkan sekali pun kita tidak dapat lagi merasakan kehadiran-Nya bukan berarti Ia tidak hadir bagi kita. Iman tidak sama dengan perasaan. Justru di saat kita tidak dapat merasa-kan lagi kehadiran-Nya, saat itulah kita mendapat kesempatan untuk bertum-buh dalam iman kepada-Nya.

Hari-hari yang kita lalui, memang seringkali penuh dengan misteri. Ada suka ada derita. Ada yang sesuai dengan keinginan ada yang tidak. Betapa bahagianya Bapa di surga jika kita setia untuk taat menerima segala sesuatu dengan penuh syukur, sehingga kita pun semakin berkembang dalam iman, ha-rapan, dan kasih. Hingga tibalah saat senja akhir hidup kita, bersama dengan Dia yang disalib kita pun dapat menye-rukan kemenangan perjuangan hidup ini, “Sudah selesai.”

“...walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp.2:6-8)?