Print
Hits: 1946

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Bila Kita dalam Pencobaan, Kesulitan, Tantangan, Kejatuhan, Kegagalan, Salib, Penderitaan Lahir-Batin, Marilah Kita Menimba Kekuatan dari Pasrah Diri Yesus di Getsemani

“Lalu pergilah Yesus ke luar kota dan sebagaimana biasa Ia menuju Bukit Zaitun. Murid-murid-Nya juga mengikuti Dia. Setelah tiba di tempat itu Ia berkata kepada mereka: ‘Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.’ Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata-Nya: ‘Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.’ Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah. Lalu Ia bangkit dari doa-Nya dan kembali kepada murid-murid-Nya, tetapi Ia mendapati mereka sedang tidur karena dukacita. Kata-Nya kepada mereka: ’Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan’” (Luk 22:39-46).

 

”Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ...”

Doa Yesus itu mengetengahkan dua hal pokok, yaitu suatu sikap iman untuk pasrah kepada kehendak Bapa yang mengasihi-Nya, namun sekaligus keinginan yang sangat bertentangan “ ambillah cawan ini dari pada-Ku.” Yesus menyatukan dua hal yang berlawanan itu dalam permintaan ini tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”

Dalam doa pada saat pencobaan biasanya muncul rasa takut, gentar, ngeri, yang melawan keinginan kita untuk bersikap pasrah kepada kehendak-Nya. Dalam doa, perlawanan batin yang kita alami menjadi hilang. Doa menjadikan kita siap untuk berjuang, memberikan diri seutuhnya kepada Tuhan apa pun yang (telah, sedang, dan akan) kita hadapi dan alami (kesulitan, tantangan, salib, kejatuhan, kegagalan, penyakit, penderitaan lahir-batin, dll.). Melalui doa, kita memperoleh kemampuan untuk berkata, ini tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi!”

Doa pasrah Yesus diungkapkan dalam suasana hati takut dan gentar. Kita dapat mempersatukan ketakutan dan kesengsaraan kita dan semua orang dengan ketakutan dan kesengsaraan Tuhan Yesus. Yesus menang dalam pencobaan-Nya. Dia menang demi kita, sampai pada akhir dunia. Karena ketakutan-Nya, ketakutan kita dikalahkan. Yesus memperlihatkan ketakutan-Nya kepada kita. Ia tidak takut memperlihatkan “kelemahan”-Nya kepada kita, agar kita juga tidak takut akan kelemahan kita, tidak takut bahwa kelemahan kita diketahui umum, karena dalam kelemahan kitalah kekuasaan Allah dinyatakan: “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor 12:10).

 

Bila Kita Lemah, Berdosa, Tidak Sempurna, Marilah Kita Belajar dari St. Theresia Lisieux: Bergembira atas Ketidaksempurnaan Diri Sendiri

St. Theresia Lisieux menemukan prinsip kebesarannya dalam kekecilannya. Karena kejeniusannya, St. Theresia dapat mengerti dengan jelas bahwa ada kesalahan-kesalahan yang tidak mendukakan hati Allah, yang tidak menghina Allah, sebab kesalahan itu berfungsi untuk menjadikan kita rendah hati dan menguatkan cintakasih kita. Suatu penemuan yang amat penting yang mendekati komentar St. Agustinus tentang Rm 8:28 “Segala sesuatu-segalanya-bahkan dosa, turut bekerja untuk kebaikan mereka yang mengasihi Allah.”

Pada hakikatnya banyak jiwa yang dilumpuhkan oleh ingatan akan dosa-dosanya, terus terpaku padanya dan tidak pernah naik kepada Allah. Sebaliknya, pengakuan yang jujur akan kelemahan kita akan membebaskan kita dari beban atau ikatan itu. St. Theresia menyadarkan kita akan nilai kelemahan dan kejatuhan sehari-hari yang seolah-olah tiada henti-hentinya itu.

“Lihatlah anak-anak kecil itu; mereka tiada henti-hantinya merobek, memecahkan, jatuh, namun biarpun demikian mereka tetap mencintai orang tuanya. Dan dari pihak orangtua: apakah mereka berhenti mengasihi serta membelai-belai mereka?”

“Semakin kita mengakui dengan rendah hati, bahwa kita lemah, papa, semakin dalam Allah membungkuk kepada kita, untuk melimpahi kita dengan kebaikan-Nya”.

Maka, kita perlu menerima kepapaan sendiri dan bahkan bergembira karenanya. Kesedihan yang menekan datangnya dari cinta diri. Selanjutnya, St. Theresia mengatakan, “Maunya kita itu tidak pernah jatuh, tetapi itu hanya khayalan belaka,” kemudian ia menambahkan, “peduli amat, bahwa saya jatuh setiap saat, dengan demikian saya merasakan kelemahan saya dan saya menarik manfaat yang besar daripadanya.”

 Muder Agnes mengatakan,

“Sebagai ganti berduka, ia siap sedia memperbaiki kelemahannya. Saya mendengar dia dengan kerendahan hati yang mengharukan minta maaf kepada para suster yang menurut dia telah didukakan hatinya. Pada tanggal 29 Juli 1897 di kamar sakit, saya melihat dia minta maaf kepada seorang suster dengan sungguh-sungguh dan sambil menangis berkata, ‘Maafkanlah saya dan doakanlah saya.’ Segera setelah itu wajahnya kembali damai dan berkata kepada saya, ‘Saya sangat bergembira, bukan saja karena orang menganggap saya tidak sempurna, tetapi lebih-lebih karena saya sendiri merasakannya dan saya begitu membutuhkan kerahiman Allah pada saat kematian saya. Saya katakan kepada Anda, saya lebih bahagia karena tidak sempurna, daripada jika karena bantuan rahmat Allah saya menjadi teladan kesabaran. Hati saya sangat terhibur, bahwa Yesus selalu lembut, serta penuh kasih terhadap saya. Sungguh saya dapat mati karena syukur dan cintakasih. Anda mengerti bahwa cawan kerahiman Allah melimpah kepada anak Anda’”.

St. Theresia telah menemukan rahasia kepercayaan yang mutlak kepada Allah dalam kerendahan hati. Oleh karena itu, sadar akan kelemahan dan ketidakberdayaan sendiri, di dunia ini ia hanya mau melakukan apa yang dapat dilakukannya, yaitu melakukan segala sesuatu untuk menyenangkan hati Allah saat ini dan sekarang ini. Yang lalu sudah berlalu, yang nyata adalah saat ini. Hidup di hadirat Allah, bagi Allah, mencintai Allah, dari saat ke saat. Menaburkan “bunga-bunga” di kaki Sang Raja (Tuhan), yaitu mempersembahkan/melakukan kurban-kurban kecil bagi-Nya dengan tanpa memperhitungkan jasa-jasanya sedikit pun juga. Pada akhir hidupnya ia mau tampil di hadapan Yesus dengan tangan kosong, tetapi dengan kepercayaan yang tak tergoyahkan akan kasih-Nya yang Maharahim, yang akan menghadiahkan kepadanya hidup kekal karena kerahiman-Nya yang Mahabesar.

“Saya mengetahui dengan pasti bahwa jika saya dengan sadar melakukan semua dosa yang dapat diperbuat oleh manusia, saya akan pergi dan menerjunkan diriku ke dalam pelukan Yesus dengan sebuah hati yang terluka oleh pertobatan, karena saya tahu betapa girangnya Ia ketika anak-Nya yang hilang kembali kepada-Nya.”

 

Bila Kita Kesepian, Ditinggalkan Semua Orang, Diejek, Diolok, Tak Dipahami, Marilah Kita Berdoa Seperti Yesus “Ya Bapa, ke dalam Tangan-Mu Kuserahkan Nyawa-Ku”

... Luk 23:33-49 ...

Yesus di atas salib mengajar kita untuk menyerahkan diri kepada Bapa dengan doa-Nya, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Situasi yang dialami Yesus pada saat-saat terakhir hidup-Nya sangat dramatis, Ia mengalami kematian seorang diri, kesepian mutlak, ditinggalkan semua orang, bahkan Ia merasa ditinggalkan Bapa-Nya, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk 15:34).

Dari Injil kita dapat melihat hampir tak seorang pun di sekeliling-Nya memahami-Nya, Ia ditinggalkan semua murid-Nya, kecuali Yohanes dan Maria, ibu-Nya. Orang banyak menonton, para pemimpin mengejek, para prajurit mengolok-olok, bahkan salah satu dari penjahat yang juga disalibkan di samping-Nya menghujat-Nya. Sungguh tragis melihat semua orang bergabung menjadi satu melawan Yesus, dan tak ada yang membela-Nya.

Segala sesuatu kelihatannya membuat orang berpikir bahwa kematian-Nya adalah kematian yang tak berarti, absurd, tidak ada gunanya, sia-sia, tak berdaya guna. Itulah sebabnya tak ada seorang pun yang mendukung-Nya. Kesepian, keseorangdirian yang dialami-Nya bukanlah hanya kenyataan bahwa Ia tak dipahami, melainkan juga bahwa Ia dijadikan bahan olok-olokan, tertawaan, ejekan, justru dalam perkara yang menjadi jantung hati-Nya, yaitu “keselamatan”.

Ucapan yang berkali-kali dilontarkan oleh mereka yang ada di dekat-Nya serta menghina-Nya selalu sama “Selamatkanlah diri-Mu sendiri, selamatkanlah diri-Mu sendiri”. Kata kunci yang menjadi inti pengajaran dan perutusan Yesus, yaitu “keselamatan”, dijadikan bahan olok-olokan oleh mereka. Kata “keselamatan” itulah yang dilontarkan tepat pada saat Yesus siap untuk mati. Orang banyak berkata, “Jika Engkau benar-benar mampu meyelamatkan orang lain, mulailah dengan menyelamatkan diri-Mu sendiri. Bagaimana Engkau dapat menyelamatkan orang lain, jika Engkau tidak dapat menyelamatkan diri-Mu sendiri?”

Yesus memilih untuk tidak turun dari salib. Jika Ia turun dari salib, semua orang akan percaya bahwa Ia Mesias, tetapi percaya akan Allah yang mereka senangi, menurut suatu gambaran palsu Allah. Dengan cara mati seorang diri dan ditinggalkan oleh semua orang Ia memberi kesaksian tentang Allah yang memberikan hidup-Nya bagi manusia. Ia memberi kesaksian tentang Allah yang adalah “Kasih”.

Saat-saat terakhir Yesus dalam kesepian, Ia dihadapkan pada suatu perlawanan total, suatu perlawanan definitif, perlawanan terhadap perutusan-Nya yang hendak digenapi-Nya sampai akhir. Dalam kesepian itu, yang tampaknya merupakan kegagalan total, Yesus bereaksi dengan seruan, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”

Dengan demikian Ia memberi kesaksian tentang Allah yang dapat dipercayai tanpa keraguan. Kepada Allah yang demikianlah kita semua diajak untuk menyerahkan diri: hidup kita, masa lalu kita, masa kini kita, masa depan kita. Doa Yesus mengungkapkan serah diri seorang anak. Kita juga telah diangkat menjadi anak-anak Allah dan boleh menyebut Allah sebagai Bapa, maka kita juga mau berserah diri seperti seorang anak, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan diriku.”

Yesus tidak mau turun dari salib, pasrah diri-Nya kepada Bapa telah menyatakan kerajaan Bapa di sekeliling-Nya. Kepala pasukan memuliakan Allah, orang banyak pulang kembali dengan memukul-mukul diri karena sadar bahwa apa yang mereka lihat, apa yang mereka hadapi, ternyata sesuatu yang luar biasa, suatu kenyataan baru yang tak dikenal. Sebelum Dia menyatakan diri dengan kebangkitan-Nya, Dia menyatakan diri dengan berserah diri di tangan Bapa. Yesus tidak pamer ke-Mahakuasaan-Nya, melainkan memperlihatkan Allah yang adalah “Kasih”, Allah yang mau mengabdi dan menyerahkan hidup-Nya untuk keselamatan umat manusia.

Kesengsaraan dan derita membuat orang-orang kudus semakin bersatu dengan Yesus, menjadi serupa dengan Dia yang tersalib. Salib tanda cintakasih, salib jalan keselamatan, salib jalan menuju kebangkitan yang mulia!

 

Oh, Yesus, bila kupandang wajah-Mu

Kuterkenang akan kasihku untuk-Mu

Pun pula kasih hati-Mu akan Daku

Bahkan sebagai teman akrab-Mu

Meski harus tabah menderita

Ah, segala sengsara tak mengapa

Sebab aku makin serupa dengan-Mu

Dan, itulah jalan menuju kerajaan-Mu

Aku bahagia dalam derita

Yang tak kupandang sebagai musibah

Melainkan sebagai anugerah mulia

Yang menyatukanku dengan-Mu ya, Allah

Ah, biarlah aku seorang diri

Walaupun hawa sekitar dingin sekali

Tak perlu aku dijenguk di sini

Tak jemu aku tinggal seorang diri

Sebab Engkau Oh, Yesus besertaku

Tak pernah aku sedekat ini pada-Mu

Tinggal, tinggallah padaku, Yesusku

Beserta-Mu, baiklah keadaanku

(Doa Beato Titus Brandsma di muka gambar Yesus dalam sel penjara Scheveningan, 12-13 Februari 1942)