Print
Hits: 4552

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Pengantar

Masa Prapaskah biasanya disebut masa tobat, masa berpuasa dan berpantang, atau disebut juga masa “retret agung” bagi seluruh umat Kristen. Hal ini memang benar, namun Liturgi Romawi menawarkan sebuah cara pandang yang lain, yaitu dengan menggambarkan masa Prapaskah sebagai masa peperangan rohani. Tema “peperangan rohani” jarang dimunculkan dalam berbagai homili, renungan, retret atau kegiatan lain yang berlangsung pada masa Prapaskah, namun bukan berarti tema tidak penting. Karena itu, dalam tulisan ini saya ingin mengajak pembaca semua untuk melihat masa Prapaskah sebagai suatu masa peperangan rohani.

 

Peperangan Rohani dalam Liturgi

Doa pembukaan yang digunakan dalam misa hari Rabu Abu adalah sebuah doa yang berasal dari sekitar abad ke-6. Doa ini terdapat dalam sakramentari (buku doa Misa) Gelanesium untuk Vigili Pentakosta dan ditemukan juga dalam sakramentari Veronese. Dalam Tata Perayaan Ekaristi pra-Vatikan II doa pembukaan dipakai untuk menutup upacara pembagian abu, yang pada masa itu dilakukan sebelum misa dimulai. Dalam bahasa aslinya, doa ini berbunyi sebagai berikut:

Concede nobis, Domine, praesidia militiae christianae

sanctis inchoare ieiuniis,

ut, contra spiritales nequitias pugnaturi,

continentiae muniamur auxiliis.

Dalam bahasa Indonesia, saya menemukan 3 versi terjemahan terhadap doa tersebut, satu adalah terjemahan lama dari R.P. Wahjoe, OFM dalam buku “Sembahjang Misa Harian”, kemudian ada terjemahan dari buku “Ibadat Harian” (dimana doa ini digunakan sebagai doa penutup ofisi pada hari Rabu Abu) dan dari buku Misa Hari Minggu dan Hari Raya. Berikut ini adalah 3 versi terjemahan doa tersebut:

Tuhan, perkenankanlah kami memulai tugas perjuangan Kristen dengan puasa suci;

supaya kami diperkuat dengan daya upaya penahanan diri,

sementara kami berperang dengan roh-roh jahat.

(Buku: Sembahjang Misa Harian)

 

Tuhan, bantulah kami dengan rahmat-Mu untuk memulai puasa suci ini.

Semoga dengan menjalankan puasa dan pantang, kami mendapat kekuatan

menentang kejahatan dalam perjuangan hidup Kristen.

(Buku: Ibadat Harian)

 

Allah Bapa kami yang maharahim,

perkenankanlah semua pengikut Kristus memasuki masa prapaskah ini.

Semoga kami dapat menyangkal diri dan menemukan kekuatan

karena berpuasa dan berpantang.

(Buku: Misa Hari Minggu dan Hari Raya)

 

Jika diamati terjemahan doa ini, kita dapat menemukan beberapa kosa kata yang memiliki nuansa militer, seperti; perjuangan, berperang, dan menentang. Dalam terjemahan “Misa Hari Minggu dan Hari Raya” nuansa militer ini memang tidak muncul sama sekali, padahal versi inilah yang justru paling sering didengar umat beriman di Indonesia. Dalam versi aslinya, sebagaimana telah dimuat di atas. Ada beberapa kata yang memiliki nuansa militer seperti praesidium, pugno, auxilium, dan militia. Doa ini merupakan doa yang sangat kuat dan memberikan kesan bahwa doa ini adalah doanya para tentara.

Praesidium (praesidia) pada dasarnya berarti pertahanan, perlindungan, bantuan, dan kadang-kadang mengacu kepada prajurit yang bertugas sebagai penjaga atau pengawal. Makna kata ini dapat juga diperluas menjadi “tempat apapun yang diduduki oleh pasukan, seperti; bukit, kamp; pos pertahanan, kubu, atau benteng”. Sementara itu munio (muniamur) berarti membangun tembok keliling, bertahan di tembok, memperkuat, mempertahankan, melindungi, mengamankan, siaga bertahan. Pugno (pugnaturi) berarti bertarung, bertanding, melawan. Auxilium berarti bantuan, pertolongan, dukungan, namun jika digunakan dalam bentuk jamak, hal ini berarti prajurit pembantu (yang biasanya hanya menggunakan senjata ringan, berbeda dengan para legioner yang menggunakan senjata penuh). Akhirnya doa ini juga menggunakan kata militia yang berarti tugas militer, peperangan, perjuangan atau tentara yang sedang bertugas di medan perang. Dapat diandaikan bahwa Gereja dengan sengaja memilih doa yang penuh nuansa peperangan ini untuk membuka masa Prapaskah dan menyadarkan bahwa kita sedang berada dalam suatu peperangan. Kita memasuki masa Prapaskah bagaikan seorang prajurit masuk ke dalam suatu pertempuran besar.

 

Gambaran-gambaran dalam Doa Ini

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Ef 6:10-18), S. Paulus mempergunakan gambaran peperangan untuk menggambarkan kehidupan rohani kita. Sebagai orang Kristen kita adalah prajurit-prajurit yang sedang bertempur yang sedang berada dalam sebuah misi peperangan. Saat sedang berperang, para prajurit membangun benteng atau kubu pertahanan sebagai tempat berlindung dari serangan musuh, sekaligus sebagai pangkalan untuk melancarkan serangan ke kubu pertahanan musuh. Selain itu, seorang prajurit harus selalu berada dalam keadaan siaga. Jika ia tidak bersiaga, maka ia akan tewas. Satu kelengahan kecil saja dapat berakibat fatal. Prajurit yang lengah dapat terluka atau bahkan dapat terbunuh. Dalam bahasa Latin ada sebuah kata nequitia yang berarti kelemahan, mengacu kepada sikap kurang peduli atau kurang perhatian yang berlawanan dengan kebijaksanaan dan pengendalian diri. Tugas yang dikerjakan asal-asalan, tanpa perhatian dan ketelitian akan menghasilkan hasil yang buruk. Sikap semacam ini sungguh berbahaya bagi seorang prajurit yang sedang berperang. Prajurit yang memiliki sikap seperti ini tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, melainkan dapat membahayakan seluruh pasukannya pula.

Dalam hidup rohani, bantuan bagi kelemahan ini adalah pantang dan puasa. Berkaitan dengan doa di atas, pantang dan puasa ini digambarkan dengan kata yang menggambarkan fungsi seorang prajurit pembantu bagi prajurit reguler. Selain itu, kata “pantang dan puasa” (continentia) juga memiliki pengertian yang sepadan dengan mengendalikan dorongan seksual yang sangat kuat. Bagi mereka yang memiliki kesulitan mengendalikan dorongan seksual atau kerap jatuh ke dalam dosa-dosa seksual, doa ini memiliki fokus yang khusus agar dapat keluar dari jeratan dosa-dosa tersebut.

 

Mari kita berjuang

Apa yang akan kita lakukan sekarang? Bisa jadi jawabannya hanya satu, “mari kita berperang.” Janganlah takut terhadap musuh, karena kita memiliki Kristus di pihak kita. Kita mungkin pernah mengatakan, “Saya bosan dengan semua ini, saya sudah mencobanya berkali-kali dan hidup saya tetap begini-begini saja, saya jatuh lagi, bangun lagi, lalu jatuh lagi, tapi tak banyak yang berubah dalam diri saya.” Jika merasa demikian, kita perlu menyadari bahwa kita berhadapan dengan kenyataan dasar yang ada pada setiap peperangan, “hanya orang yang berperang yang dapat terluka dan terbunuh.” Jika kita merasa sering jatuh, itu artinya kita masih aktif berperang. Sebaliknya mereka yang tidak berusaha melawan kelemahannya, tidak akan merasa risau dengan kelemahannya. Mereka merasa semuanya baik-baik saja karena menikmatinya dan tidak ingin lepas darinya.

Saya teringat suatu kenyataan ironis waktu berada di sekolah dasar, yaitu umumnya murid yang lebih rajin belajar adalah murid yang nilainya sudah baik, sementara mereka yang nilainya hancur atau pas-pasan justru tampak lebih malas dan tidak serius dalam pelajaran. Padahal sebenarnya yang nilainya pas-pasan itulah yang seharusnya lebih rajin, sebaliknya yang nilainya sudah baik bisa lebih bersantai dalam belajar. Tetapi kenyataan tidak menunjukkan demikian. Yang nilainya sudah baik tetap rajin belajar sementara yang nilainya hancur malah merasa tidak butuh belajar, bahkan harus dikejar-kejar oleh guru dan orang tua. Peristiwa ini dapat dimaknai bahwa kita perlu mengupayakan kebaikan dalam hidup kita terus-menerus, seperti anak-anak bernilai baik yang tetap rajin belajar itu, meskipun tanpa mengabaikan kelemahan-kelemahan yang ada di dalam diri kita.

Dalam kitab Amsal dikatakan, “Tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali” (Ams 24:16). Ayat ini tentu bukan mau mengatakan bahwa dosa adalah kebiasaan rutin bagi jiwa orang beriman, melainkan orang beriman yang sejati adalah orang yang selalu berjuang melawan kelemahannya. Memang ia pernah jatuh, tetapi tidak pernah menikmati kejatuhannya. Ia akan bangun dan memerangi lagi kelemahannya, sampai “akhirnya” dengan rahmat Allah ia “menikmati” kemenangannya. Karena itu, maukah kita membuat keputusan untuk tidak akan menyerah kepada kelemahan-kelemahan kita? Maukah kita membuat keputusan untuk tetap berjuang bersama Kristus? Jika selama ini sudah meninggalkan doa-doa rutin yang kita lakukan, maukah kita memulainya kembali? Jika saat ini kita jatuh dalam dosa lagi, maukah kita bertobat dan berjuang menghentikannya?

Pantang dan puasa dalam dipraktikkan dalam hidup kita sehari-hari. Kita dapat memulainya dari hal-hal yang sederhana, seperti mengurangi jam tidur siang, nonton televisi, main game dan menggantinya dengan berdoa atau melakukan pekerjaan lain. Atau bisa juga dengan mengurangi porsi makan, mengurangi takaran gula dalam kopi atau teh yang kita minum, atau mengurangi konsumsi rokok dan kopi kita sehari-hari. Dalam masa Prapaskah, hal-hal ini dapat dilakukan.

Salah satu bagian Kitab Suci yang penting untuk direnungkan adalah dialog Petrus dan Yesus yang bangkit (Yoh 21:15-19). Dalam dialog itu, dua kali Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi (agape) Aku?” dan dua kali pula Petrus menjawab, “Benar Tuhan, Engkau tahu aku mengasihi (phileo) Engkau.” Di sini tampak Petrus mengakui bahwa ia tidak mampu mengasihi Yesus dengan cara yang Yesus harapkan (dengan kasih agape), dan Petrus hanya mampu mengasihi Yesus apa adanya (dengan kasih phileo). Dengan demikian, apakah Yesus menolak Petrus hanya karena ia tidak biasa memenuhi standar yang diharapkan-Nya? Ternyata tidak! Yesus mengubah pertanyaannya menjadi, “Apakah engkau mengasihi (phileo) Aku?” dan Petrus menangis terharu oleh sang Guru yang menerima dirinya apa adanya. Hal yang sama juga terjadi dengan diri kita. Yesus menerima kita betapa pun lemahnya kita dihadapan-Nya. Ia bersedia membimbing kita sampai menjadi sempurna seperti Dia. Ia sendiri telah menepati janji-Nya kepada Petrus. Ia menyempurnakan Petrus. Ia pun akan melakukan yang sama terhadap kita.

 

Marilah memohon bala bantuan

Dalam menghadapi peperangan rohani ini, kita perlu menyadari akan tentara-tentara Tuhan yang lain. Mereka adalah para malaikat. Para malaikat ini bukanlah bayi imut-imut dan tidak berdaya seperti yang kita temukan dalam lukisan-lukisan Eropa. Mereka adalah prajurit-prajurit siap tempur yang bersiaga di sekeliling takhta Allah, sehingga Allah kita digelari Yahwe Sabaoth (Tuhan yang berbala tentara). Namun biasanya terjemahan ini diperhalus menjadi “Allah segala kuasa”. Karena itu, kita dapat membiasakan diri dengan memohon bantuan mereka, terutama kepada S. Mikael dan para malaikat pelindung kita. Paus Pius XI mempunyai kebiasaan mengucapkan Angele Dei paling kurang sebanyak 5 kali dalam satu hari. Rumusan doa tersebut adalah sbb.:

Malaikat Allah, engkau yang diserahi kemurahan Tuhan untuk melindungi aku.

Terangilah, pimpinlah, lindungilah, dan antarkanlah daku.

 

Penutup

Hal pertama yang perlu kita sadari adalah bahwa kita berada dalam peperangan rohani dan karenanya kita seharusnya tetap fokus dalam peperangan kita ini. Pantang puasa adalah sarana yang membantu kita untuk tetap fokus. Yang kedua, tetaplah berjuang! Kita mungkin jatuh, tetapi harus bangun dan berperanglah lagi. Yang ketiga, mintalah bantuan dari para malaikat dalam perjuangan ini!

Saat Rabu Abu nanti, kita akan mendengar doa di atas ini dipergunakan. Oleh karena itu, berdoalah dengan sungguh-sungguh, karena peperangan yang dibicarakan dalam doa ini adalah peperangan kita semua melawan kelemahan dan melawan para penguasa kegelapan!