User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

Kekeringan

Ada saat-saat di mana doa serasa berbunga-bunga, penuh kemanisan dan penghiburan rohani. Sebaliknya, ada saat-saat di mana doa serasa kering, tanpa kemanisan maupun penghiburan rohani. Apa yang harus dilakukan pada saat-saat kering ini? Pertama-tama, kita harus tetap bertekun dalam doa. Janganlah kita mengabaikan komitmen doa dan berhenti berdoa.

Kekeringan bisa merupakan “kekeringan positif”, bisa merupakan “kekeringan negatif”. “Kekeringan positif” dalam arti Tuhan sedang menarik kita kepada doa yang lebih dalam/tinggi atau kontemplasi. “Kekeringan negatif” dalam arti kekeringan itu merupakan suatu kemunduran rohani karena kelalaian atau kesalahan kita.

Dalam kekeringan, Tuhan memurnikan iman, harapan, dan kasih kita. Misalnya, motivasi kita dalam berdoa. Jika ada kemanisan dan penghiburan rohani dalam doa, motivasi kita-sadar atau pun tidak-seringkali atau cenderung (atau tercampuri motivasi) untuk mencari kemanisan dan penghiburan tersebut dan bukan untuk mencari Tuhan. Ini seperti seorang anak kecil yang datang kepada ayahnya untuk meminta gula-gula. Dia datang kepada ayahnya untuk gula-gula itu, bukan untuk ayahnya, bukan untuk mencintai atau menyenangkan hati ayahnya. Maka, kita perlu mengambil keputusan dan memiliki kehendak yang kuat untuk mencintai Tuhan dalam doa, “Tuhan, aku mencintai-Mu. Aku mau hadir untuk-Mu, untuk menyenangkan hati-Mu. Aku mau memberikan diriku dan waktuku saat ini untuk-Mu entah perasaanku berbunga-bunga entah tidak....”

Di atas telah dikatakan bahwa hal yang penting dalam doa adalah banyak mencinta. Cinta tidak sama dengan perasaan, walaupun melibatkan perasaan. Jika cinta itu sama dengan perasaan, maka alangkah rapuhnya cinta itu. Kenapa? Karena, perasaan kita begitu rapuh, begitu mudah berubah. Orang yang menyamakan cinta dengan perasaan tidak akan bisa setia. Cinta berkaitan dengan kehendak kita. Mencintai seseorang berarti menginginkan dan mengusahakan kebahagiaannya, entah kita sendiri bahagia ataupun menderita.

Seorang ibu datang dan mengatakan kepada seorang suster, “Suster, Tuhan tidak mau hadir lagi dalam doa-doa saya.” “Dari mana Ibu mengetahuinya?” tanya suster tersebut. Si ibu pun menjelaskan, “Dulu kalau saya berdoa, saya merasa Tuhan itu begitu dekat dan mencintai saya. Sekarang saya tidak merasakannya lagi.” Pada saat-saat seperti ini kita perlu semakin teguh berpegang pada iman kita. Kita perlu menyadari dan mengimani bahwa kehadiran Tuhan tidak ditentukan oleh perasaan kita. Jadi, bukan “kalau kita merasa bahwa Dia hadir berarti Dia hadir, kalau kita tidak merasa Dia hadir berarti Dia tidak hadir”. Adalah kebenaran bahwa kita merasa ataupun tidak, Tuhan selalu hadir menyertai kita seperti disabdakan-Nya, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20; bdk. 1Kor 6:19).

St. Yohanes dari Salib memberikan tiga tanda untuk mengenali kekeringan yang positif[1], yaitu:

  • Merasa kering dalam perkara-perkara rohani atau perkara-perkara Tuhan.

Misalnya, dulu bisa bermeditasi, membayangkan, atau merenungkan Kristus atau sengsara-Nya atau sabda-Nya dengan mudah, tetapi sekarang tidak bisa lagi dan merasa kering.

  • Merasa kering (tidak tertarik) dengan perkara-perkara lain (lahiriah dan duniawi).

Orang bisa saja menjadi tidak tertarik berdoa karena dia sedang sangat tertarik dengan internet atau suatu hobi lainnya. Jika demikian, ini suatu kekeringan negatif, suatu kemunduran. Tanda pertama dan kedua belum cukup untuk mengenali kekeringan yang positif karena orang yang depresi bisa memiliki kedua tanda ini (yaitu tidak tertarik pada perkara Tuhan maupun perkara-perkara lain). Maka, perlu tanda ketiga.

  • Pikiran, hati, dan perhatian biasanya terarah kepada Tuhan (misalnya, sering kuatir dan takut apakah ia sudah mengabdi Tuhan dengan baik ataukah dia telah menyakiti hati Tuhan. Orang depresi tidak akan merisaukan hal-hal ini). Juga, merasa tertarik untuk tinggal sendirian dalam keheningan dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kasih.

 

Maka, kita perlu refleksi apakah kekeringan kita merupakan kemunduran, karena kelalaian dan kesalahan kita? Jika ya, maka kita perlu bertobat. Sebaliknya, jika kekeringan ini merupakan panggilan kepada kontemplasi atau doa yang lebih dalam, maka kita tidak perlu takut untuk tinggal diam dalam keheningan sambil “memandang” Dia yang hadir dengan penuh dalam kasih. Untuk keterangan lebih lengkap Anda dapat membaca buku Menuju Persatuan Cinta Kasih dengan Allah karangan Rm. Yohanes Indrakusuma, O.Carm, bab 7 “Panggilan kepada Kontemplasi”.

 

Penutup

“Bersyukurlah atas keinginan untuk berdoa yang merupakan pemberian Tuhan,” demikian kata St. Teresa dari Avila. Maka, marilah kita menjaga api doa dalam hati kita. Orang yang tidak pernah berdoa bagaikan accu yang tidak pernah di-charge. Tanpa doa, kita bagaikan ranting yang layu dan kering karena terpisah dari pokoknya: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).

Berdoa merupakan ungkapan kasih kita kepada Tuhan. Orang yang mengasihi akan merindukan sang kekasih dan mencari waktu untuk selalu kontak dengannya. Berapa jam yang Tuhan berikan kepada Anda dalam sehari? Berapa yang Anda kembalikan kepada-Nya secara istimewa melalui doa?

 


[1] Lih. Yohanes Indrakusuma, O.Carm, Menuju Persatuan Cinta Kasih dengan Allah, Pertapaan Shanti Bhuana, Cipanas, 20081, h. 158-160.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting