User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Dalam sebuah gereja yang mempunyai julukan “umat Allah yang beku”, seorang wanita berteriak penuh sukacita, ”Puji Tuhan!” Tiba-tiba seorang penerima tamu mendekatinya dan berusaha meredam kegairahannya dengan berseru, “Engkau tidak dapat berteriak seperti itu dalam gereja!” Wanita itu menjelaskan, “Saya tidak dapat menyembunyikan sukacita saya karena saya telah menemukan Tuhan!”

Cerita ini melukiskan apa yang tertulis dalam Yes 49:13, “Bersorak sorailah, hai langit, bersorak soraklah hai bumi… Sebab Tuhan menghibur umat-Nya.” Dalam Yoh 16:22 Yesus bersabda, “Tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraan itu daripadamu.” Hanya mereka yang telah sungguh-sungguh “menemukan Tuhan” dapat merasakan sukacita surgawi yang kekal, yang sangat berbeda dengan suka cita dari dunia ini. Sukacita surgawi seperti Bintang Betlehem, sukacita duniawi diibaratkan seperti satu meteor yang sedang melintas.

Sukacita rohani adalah satu tanda sempurna dari kehadiran Roh Kudus dalam jiwa, yang merupakan ungkapan dari buah pertama Roh Kudus, yaitu kasih (Gal 5:22). Sukacita adalah cinta yang bergembira. Dimana terdapat cinta sejati, akan ada sukacita sejati. St. Petrus menyatakan dalam 1Ptr 1:8, “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya… kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan.” St. Yohanes mengulangi janji Yesus tentang imbalan yang diperoleh dalam mencintai-Nya, “Tinggallah dalam kasih-Ku, maka sukacita-Ku akan tinggal dalam dirimu” (Yoh 15:10).

Alasan pertama untuk bersukacita mempunyai hubungan yang erat dengan penyelamatan, terlebih dengan Sang Penyelamat sendiri. Penyelamatan adalah puncak peristiwa yang penuh sukacita dalam sejarah manusia. Maka kabar kelahiran Juruselamat dikumandangkan sebagai “kesukaan besar untuk seluruh dunia” (Luk 2:10). Orang-orang Majus pun “ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka” (Mat 2:10). Hal ini pula yang menyebabkan Maria mengucapkan magnificatnya, “Dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku” (Luk 1:47).

Penyelamatan adalah akhir penerimaan penebusan. Penebusan berarti penyelamatan. Yesus, Penebus dan Penyelamat kita, adalah perwujudan dari nubuat Yesaya: “Roh Tuhan ada pada-Ku… Ia telah mengutus Aku, untuk membebaskan orang-orang yang terbelenggu” (Luk 4:18-19). Sukacita inilah yang membebaskan beban-beban seorang sida-sida setelah dibaptis oleh Filipus (Kis 8:39). Paulus juga berbicara tentang sukacita penyelamatan dalam Allah melalui Yesus, “Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” (Rm 5:11).

Alasan kedua untuk bersukacita adalah kita menantikan kepenuhan penyelamatan kita. “Untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa... yang tersimpan di sorga bagi kamu… sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. Bergembiralah akan hal itu” (1Ptr 1:4-6). Sukacita yang muncul lebih dahulu dapat dibandingkan dengan pengharapan seorang anak pada malam hari Natal. Tidak serupa dengan sukacita duniawi yang cepat berlalu, tetapi sukacita yang memandang ke arah sorga berdasar pada Roma 5:5, “Pengharapan tidak mengecewakan.”

Alasan ketiga mempunyai hubungan dengan sukacita yang mendahului, yaitu bahwa penderitaan-penderitaan tidak mempunyai arti apa-apa. Oleh karena itu, bersukacita di tengah-tengah penderitaan bukanlah suatu pertentangan, tetapi suatu hal yang dapat dan harus kita lakukan.

St. Petrus meyakinkan kita bahwa “Sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan… Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr 1:6-9). Sukacita dalam penderitaan bukanlah suatu kegembiraan yang tidak wajar, seperti sikap yang dimiliki oleh seorang psikopat. Sukacita tidak sama dengan bahagia, meskipun keduanya kita perlukan. Kebahagiaan berkaitan dengan ‘peristiwa-peristiwa’ atau ‘kejadian yang terjadi secara kebetulan’, ini adalah suatu respon emosi yang menyenangkan dari rasa gembira atas suatu situasi atau peristiwa. Oleh karena itu, kebahagiaan bertentangan dengan kesedihan atau situasi yang menyakitkan.

Sebaliknya, sukacita yang sejati dapat terjadi ditengah penderitaan, lebih daripada suatu emosi di permukaan saja. Sukacita adalah buah dari Roh, suatu kegembiraan rohani yang mendalam, respon kegembiraan dari dalam yang besar dan mendalam atas kehadiran Roh Kudus dalam jiwa, suatu kegembiraan dalam penyelenggaraan cinta-Nya yang selalu berkarya dalam membimbing setiap peristiwa hidup, baik dalam suka maupun dalam duka.

Kebahagiaan tidak membutuhkan iman, tetapi sukacita sebagai buah Roh membutuhkan iman, khususnya ketika mengalami penderitaan. Betapa akan menjadi mudahnya memikul penderitaan itu, jika Yesus tiba-tiba muncul dan mengatakan pada kita, seperti yang diucapkan-Nya kepada para murid-Nya, “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu (bersukacitalah), Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh 16:33).

Jiwa-jiwa yang memiliki iman yang besar, menemukan sukacita berlipat ganda di dalam penderitaan. Pertama, terdapat sukacita dalam mengakui bahwa seluruh penderitaan bukanlah suatu kesulitan untuk diterima secara terpaksa, tetapi merupakan bagian dari penyelenggaraan cinta Allah melalui Kristus, yang menyerahkan diri disalib untuk kita. Kedua, penderitaan menghasilkan imbalan sukacita beratus-ratus kali lipat “yang tidak mengecewakan” (bdk. Rm 5:5). Petrus mengaitkan alasan untuk tetap bersuka cita dalam penderitaan melalui 1Ptr 4:13, “Bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.”

Tentu saja dalam menghayati kebenaran-kebenaran ini dibutuhkan suatu proses yang lama dan sulit. Maka St. Yakobus menguatkan kita dalam menghadapi tantangan pencobaan hidup, “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh, tak kekurangan suatu apapun” (Yak 1:2-4). Yakobus mengatakan bahwa kedewasaan rohani kita disesuaikan dengan pengalaman “sukacita sejati” dalam pencobaan hidup kita.

Kita dipanggil untuk mencapai kedewasaan rohani, untuk dapat bersukacita meskipun di tengah pencobaan hidup dan saat penganiayaan. Yohanes Pembaptis masih dapat menyatakan bahwa sukacitanya telah penuh (bdk. Yoh 3:29). Kepenuhan sukacita ini juga tersedia bagi kita, karena Yesus bersabda, “Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu” (Yoh 16:24). Besarkanlah hati dan ingatlah bahwa Yesus yang telah menderita sampai mati di taman Getsemani juga berdoa bagi para pengikut-Nya, “supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yoh 15:11).

St. Paulus juga berdoa bagi para muridnya agar memiliki sukacita yang sempurna. Kepada jemaat di Roma ia mengatakan, “Semoga Allah, sumber pengharapan memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera” (Rm 15:13). Tentu saja Paulus sendiri merupakan teladan dalam sukacita sempurna. Meskipun saat dirantai di penjara Filipi, dia dapat menulis “aku akan tetap bersukacita, karena aku tahu bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus” (Flp 1:19). Sukacita yang tak kunjung padam dalam penderitaan ini adalah suatu tanda buah Roh Kristus.

Bagaimana sukacita sejati dan sempurna ini dapat berkarya dalam diri kita? Tinggallah dalam kasih Yesus (Yoh 15:10-11) dalam hidup sehari-hari, berdoa dan membaca Kitab Suci, yang merupakan surat cinta Allah (Lectio Divina) dan melalui doa-doa pribadi yang mendalam dengan Allah. Kitab Mazmur mengatakan, “di hadapan-Ku ada sukacita berlimpah-limpah” (Mzm 16:11). Pertemuan yang terus menerus dengan Tuhan akan menghasilkan sukacita yang terus menerus, “seperti aliran-aliran air di tempat kering” (Yes 32:2). Pertemuan yang mendalam dengan Yesus akan mengubah seseorang melalui sentuhan sukacita surgawi, cahaya ilahi Allah sendiri.

Sumber: Seni Mengasihi Allah

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting