User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Byurr... byurr... suara ombak lautan terdengar jelas menghempas tepian pantai sebuah pulau kecil di bumi pertiwi. Sesekali camar menjerit, dan byurr.. kembali ombak menghempas seolah menjawab jeritan sang burung camar. Seorang imam muda berdiri di tepi pantai, matanya nanar menatap jauh ke samudera lepas. Akhirnya ia pun menarik nafas dalam-dalam, sambil menatap kalender air di tangannya. “Meleset lagi,” keluhnya pelan. Menurut kalender air, hari itu ombak tidak akan terlalu tinggi sehingga memungkinkan orang untuk berlayar. Akan tetapi, ternyata hari itu ombak masih tinggi, gelombangnya yang besar siap menyeret perahu siapa saja yang berlayar di atasnya, walau itu perahu seorang imam sekali pun!

Akhirnya ia pun duduk di atas pasir pantai yang putih, menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon yang kokoh. Terbayang di matanya ratusan umat yang menanti kedatangannya di seberang pulau. Kulit mereka yang gelap, mata mereka yang jernih, tawa mereka yang lepas, “Oh Yesus...,” desah imam itu tak berdaya. Matanya pun terpejam, dan bayangan umatnya pun berganti dengan seraut wajah kudus, wajah yang amat dicintainya. Tetes-tetes darah dan peluh membasahi wajah itu. Luka dan memar, sayatan cambuk di sana-sini, bagai lukisan penderitaan yang menggores sekujur tubuh-Nya.

Yesus adalah Tuhan. Ia Allah yang Mahakuasa. Ketika Ia ingin menyelamatkan umat manusia, Ia dapat memakai cara apa saja sesuai dengan yang Ia mau. Akan tetapi, mengapa Ia justru memilih cara yang paling menyakitkan? Ia menjelma menjadi manusia, lahir sebagai seorang bayi yang kecil dan lemah. Santo Bonaventura mengatakan, “Itulah cinta, yang mengabaikan martabat-Nya.” Yesus hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan, hingga akhirnya wafat dalam penghinaan dan penderitaan. Ini semua dilakukan-Nya demi cinta, karena Ia ingin memberikan Diri sehabis-habisnya kepada kita. Menjelang wafat-Nya, Yohanes rasul menulis, “Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya” (Yoh 13:1). Yesus menyebut “Saat-Nya”, dan dalam Injil beberapa kali kita temukan Yesus menyebut “Saat-Nya.” Hal ini karena saat kematian-Nya merupakan saat yang paling dirindukan oleh Yesus. Saat Ia menunjukkan cinta-Nya, dengan memberikan diri sehabis-habisnya bagi umat manusia. Dan kehidupan Yesus bergulir dari hari ke hari menuju Saat-Nya tersebut. Merenungkan hal ini, suatu hari sambil mengangkat salib kayu dengan tangannya, Santa Magdalena de Pazzi pun berteriak, “Ya Yesus, Engkau gila karena cinta.” Cinta Yesus jauh lebih besar dari penderitaan-Nya, sehingga misalnya Yesus harus mati seribu kali bagi kita sekali pun, pastilah Ia dengan rela hati menjalaninya. “Seandainya Ia dituntut untuk bergantung di atas kayu salib sampai akhir zaman, Yesus memiliki cinta yang cukup untuk menjalaninya,” demikian ungkap Santo Alfonsus de Liguori.

Perlahan sang imam muda itu pun memandang kalung salib yang dipakainya. Ketika ia memandang Tubuh Kristus yang bergantung di salib, suatu pancaran cinta yang lembut terasa membelai hatinya. “Aku rindu untuk turut menderita bersama-Mu, ya Yesus, demi cinta kepada-Mu,” bisiknya lembut seraya mengecup salib kecil yang selalu bergantung di dadanya itu.

Biasanya sebelum meninggal dunia, orang mewariskan miliknya yang paling berharga kepada orang yang dikasihinya. Ketika Yesus tahu Saat-Nya telah tiba untuk meninggalkan dunia ini, Ia pun mewariskan yang paling berharga yang dapat Ia berikan, yaitu Tubuh dan Darah-Nya, Diri-Nya dan keilahian-Nya. Inilah anugerah Sakramen Ekaristi yang diberikan-Nya kepada kita. Betapa besar cinta-Nya kepada manusia, sehingga Santo Yohanes Krisostomus mengatakan, “Dia memberikan kepadamu segalanya, seluruh Diri-Nya tanpa sisa.”

Di atas kayu salib, Yesus berlaku sebagai seorang imam bagi seluruh umat manusia. Ia mempersembahkan kurban perdamaian kepada Allah Bapa bagi manusia di seluruh muka bumi dan di segala zaman. Salib menjadi altar-Nya, Tubuh dan Darah-Nya sendiri menjadi kurban. Inilah pemberian Diri Yesus yang dikatakan-Nya dalam perjamuan malam terakhir. Dengan nada profetis karena tahu Saat-Nya sudah dekat, Ia pun berkata, “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!" Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!" (1Kor 11:24-25).

Yesus rindu agar kita selalu makan Tubuh-Nya, menerima pemberian Diri-Nya dalam kurban Ekaristi. “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu” (Luk 22:15). “Ini adalah suara cinta yang paling blak-blakan,” demikian kata Santo Laurentius Yustinianus. Demikianlah Yesus mengetuk setiap pintu hati, mengharapkan kita membuka pintu bagi Dia, maka Ia akan masuk dan makan bersama-sama dengan kita (bdk. Why 3:20). “Betapa menyenangkannya perjamuan itu, karena Yesus bukan hanya makan bersama kita, tetapi memberikan Diri-Nya sendiri sebagai santapan bagi jiwa kita,” tulis Santo Yohanes Salib dalam salah satu bukunya, Madah Rohani. Sakramen Ekaristi, inilah yang memberikan kehidupan bagi kita, karena “Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia, dan minum Darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53).

Santo Bernardinus dari Siena menulis bahwa pemberian diri Yesus Kristus kepada kita sebagai makanan adalah puncak cinta-Nya yang paling tinggi, karena Dia memberikan diri-Nya untuk bersatu dengan kita seperti makanan yang menyatu dengan orang yang memakannya. “Cinta selalu rindu untuk bersatu,” demikian ungkap Santo Dionisius dan hal serupa dikatakan pula oleh Santo Thomas Aquino, “Kekasih rindu keduanya menjadi satu.” Santo Alfonsus de Liguori menjelaskan bahwa Yesus merasa cinta-Nya tidak cukup hanya dengan memberikan diri-Nya kepada umat manusia melalui penjelmaan dan penderitaan-Nya, meskipun Ia mati untuk semua orang. Ia menginginkan sesuatu yang lebih dari itu agar dapat memberikan diri-Nya kepada kita masing-masing. Untuk itulah Yesus menganugerahkan Sakramen Ekaristi bagi kita semua. “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh 6:56). Mengenai hal ini Santo Fransiskus dari Sales berkata, “Penyelamat tampak begitu lembut dan penuh cinta. Ia menghampakan Diri-Nya dan menjadikan Diri-Nya makanan supaya masuk ke dalam jiwa kita dan bersatu dengan hati umat-Nya.”

Tanpa sadar sang imam muda pun terkenang saat ia ditahbiskan menjadi imam. Terngiang di telinganya ucapan ibunya yang sudah tua, “Aku bangga dengan anakku. Ia bukan cuma mewartakan Sabda Yesus, tetapi ia bahkan juga menghadirkan Yesus di altar!” Mengingat akan hal ini sang imam muda pun tersenyum simpul, dan dalam sekejap hatinya dipenuhi dengan kerinduan akan ibunya, akan kampung halamannya yang jauh di seberang lautan. Tugasnya sebagai imam telah merenggut dia dari orang-orang yang dikasihinya, dari tanah kelahirannya, dari segala yang dia kenal di masa lampau. Kini ia berada di pedalaman terpencil, bertugas sebagai gembala bagi umatnya yang tersebar di beberapa pulau kecil. Sekali lagi ia pun menarik nafas dalam-dalam, “Ah, bagaimana pun aku tak menyesal, ya Yesus. Apa artinya pengurbanan ini dibandingkan dengan pengurbanan-Mu di atas kayu salib? Lagi pula, bukankah panggilan sebagai imam adalah panggilan untuk berkurban?”

Setiap imam ditetapkan untuk mempersembahkan persembahan dan kurban karena dosa (bdk. Ibr 5:1). Yesus, Sang Imam Agung, memberikan teladan sebagai seorang imam yang mempersembahkan Diri-Nya sendiri sebagai persembahan dan kurban kepada Allah Bapa di surga, demi penebusan dosa umat manusia. Demikianlah para imam dari masa ke masa, dipanggil untuk menghadirkan kurban Kristus di tengah umat Allah, sambil mempersatukan dirinya sendiri dengan kurban itu.

Semangat berkurban, bahkan mengurbankan diri sehabis-habisnya telah berkobar-kobar di dalam hati Yesus sejak semula, “Sungguh Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu” (Ibr 10:9). Inilah pernyataan yang mengandung nilai kurban karena cinta. Yesus tidak lagi mengutamakan kepentingan diri sendiri, tidak lagi mencari keinginannya sendiri, tetapi seluruh hidup-Nya dibaktikan untuk melaksanakan kehendak Bapa. “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Puncak pelaksanaan imamat Yesus adalah ketika Ia membiarkan Tubuh-Nya dihancurkan di atas kayu salib demi kita. Demikianlah panggilan para imam, yang diajak untuk bersatu dengan Kristus yang tersalib, mempersatukan kurban-kurban kecil dirinya dengan kurban Kristus demi keselamatan umat manusia.

“Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” Itulah panggilan Yesus kepada anak-anak manusia untuk mau menjadi imam. Para imam ditarik masuk dalam pelaksanaan rencana keselamatan. Dengan kata lain, para imam ditarik untuk bersama dengan Yesus menjadi kurban bagi keselamatan umat manusia. “Tuhan Allah kami, Putera-Mu telah mewariskan kepada kami perjamuan cintakasih ini. Sambil mengenangkan wafat dan kebangkitan-Nya, kami mempersembahkan anugerah-Mu sendiri: Kurban yang membawa damai sejahtera. Dan kami mohon, terimalah juga diri kami sendiri bersama dengan Putera-Mu” (Doa Syukur Agung V). Demikianlah orang yang ditahbiskan menjadi imam telah menjadi orang yang mempersembahkan kurban, sekaligus menjadi kurban itu sendiri, Sacerdos et Hostia.

Dalam doanya, seorang imam membawa doa-doa umatnya, kebutuhan seluruh insan manusia ke hadirat Allah yang maharahim. Doa-doa ini sampai kepada Yesus, Sang Imam Agung, yang menyampaikan segala doa, hormat, pujian, dan syukur umat kepada Allah Bapa. Sudah sejak di dunia ini Yesus menjadi perantara manusia dengan Bapa, “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia” (Ibr 5:7). Seturut dengan teladan Sang Imam Agung, Yesus Kristus, setiap imam mempunyai tugas untuk menghantarkan umat Allah kepada Bapa.

Setiap imam tidak saja dipanggil untuk mengikuti pengajaran Yesus, teladan hidup-Nya, tetapi bahkan juga cara hidup-Nya. Inilah cinta radikal yang diungkapkan dengan ingin mengikuti Yesus secara radikal. Oleh karena itulah, para imam memilih untuk hidup dalam ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian (tidak menikah). Setiap orang cenderung untuk hidup menurut kehendaknya sendiri, bergelimang kekayaan, dan menikahi orang yang dicintainya. Akan tetapi, para imam tidak melakukan itu semua demi Yesus. Inilah pengurbanan mereka, yang membuat mereka menjadi martir tak berdarah. Semua ini mempersatukan mereka semakin dalam dengan Kristus, sehingga tak heranlah jika kita menjumpai banyak imam yang menjadi orang kudus.

Santo Dominikus biasa menghabiskan seluruh malamnya di gereja, berdoa, dan melakukan silih bagi para pendosa yang akan dikotbahinya keesokan harinya. Inilah persiapan Misanya, dan biasanya selama persiapan itu seringkali ia meneteskan air mata. Santo Thomas juga menerima karunia air mata ini. Ia juga seringkali tinggal di gereja untuk berdoa beberapa jam lamanya di waktu malam untuk mempersiapkan Misa.

Santo Fransiskus dari Sales menyelenggarakan Misa dengan penuh khidmat dan pengabdian, dengan tenang dan tampak begitu menghargai. Siapa saja yang membantunya dalam perayaan Ekaristi itu dapat melihat bahwa seluruh pikiran dan hatinya terserap secara total kepada Allah. Santa Jane Frances de Chantal memberikan kesaksiannya bahwa Santo Fransiskus tak pernah sekali pun melantur. Ia sungguh-sungguh gambaran Yesus Kristus yang hidup. Pada saat konsekrasi dan komuni, penampilannya sebagai imam sungguh mengagumkan, namun sebagai kurban ia begitu rendah hati. Ia tampak mengalami transformasi total ke dalam Allah, suatu persatuan yang mendalam. Wajahnya memancarkan sukacita dan kebahagiaan dari dalam. Semua yang melihatnya menyambut komuni, kepalanya tampak bermahkotakan sinar kemuliaan dan keningnya berlingkarkan cahaya. Ia mempersiapkan Misa dengan baik dan ia begitu ingin untuk mengaku dosa dulu sebelum mencium altar.

Bagi Santo Filipus Neri, Misa merupakan saat kontemplasi yang dalam dan berkobar dalam cintakasih. Begitu indahnya sampai seringkali dijumpai ia dalam keadaan ekstase dalam Misa.

Santo Yohanes Maria Vianey mengatakan jika kita sungguh menyadari arti Ekaristi dan nilainya yang tak ternilai, kita akan segera mati. “Seseorang perlu untuk menjadi kudus agar dapat merayakannya dengan pantas. Jika kita sudah berada di surga, kita akan menghargai nilai dari Ekaristi dan betapa seringnya kita mengikuti Misa tanpa penghormatan, penyembahan, dan pengabdian yang layak. Semua baru akan kita ketahui setelah berada di api penyucian, saat kita tidak dapat lagi merayakan Ekaristi, baik untuk diri kita sendiri maupun orang lain.”

Semua orang kudus ini mempersatukan persembahan pribadi mereka, segala persoalan dan pencobaan, dengan kurban Kristus di atas kayu salib demi keselamatan jiwa-jiwa…(mengikuti jejak Kristus IV, c.8).

Hal ini disadari penuh oleh Fr. Charles de Foucauld. Suku-suku asli yang tinggal di sekitar tempat ia tinggal masih belum mau percaya kepada Tuhan sehingga ada jurang yang dalam antara Charles dengan mereka. Oleh karena itu, ia mempersembahkan diri dalam setiap Ekaristi demi keselamatan suku-suku asli itu. Dan memang, pada akhirnya ia mati dibunuh oleh suku-suku asli tersebut, ia mati sebagai kurban cinta bagi jiwa-jiwa.

Misa yang dirayakan oleh umat manusia ini merupakan peristiwa yang akan dialami di surga kelak. “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan….” Oleh karena itu, kita harus memohon rahmat untuk dapat merayakan Misa dengan iman yang teguh, harapan yang setia, dan keegoisan yang berkurang, berganti dengan kasih yang semakin kuat kepada Tuhan dan sesama.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting