User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 

Barangsiapa ingin menjadi yang terbesar, hendaklah ia menjadi yang terkecil (bdk. Luk 9:48). Demikianlah ajaran Tuhan Yesus kepada para murid-Nya yang mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka. Theresia Lisieux yang akrap disapa Theresia dari Kanak-kanak Yesus atau Theresia Kecil, terpesona dengan ajaran ini. Sabda Tuhan inilah yang menjadi dasar dari seluruh spritualitasnya. Ketika ia mencari dasar spiritualitasnya, ia berpaling pada Firman Tuhan dalam Kitab Suci yang mengatakan: “Bila seseorang ingin menjadi sangat kecil, baiklah ia datang kepada-Ku” (Ams 9:4). “Saya tahu apa yang dilakukan Tuhan terhadap jiwa yang kecil, sebagaimana seorang ibu membelai-belai anaknya, demikian juga Aku akan menghibur kamu (bdk. Yes 66:13). Lift yang membawa saya ke surga adalah tangan Yesus. Oleh karena itu saya tidak usah menjadi besar tetapi menjadi kecil bahkan menjadi semakin kecil.”

Theresia memberikan suatu pengertian yang mendalam mengenai hidup rohani dan jalan kesempurnaan atau kesucian, yaitu bahwa kesucian atau kesempurnaan merupakan karya Allah semata, semakin jiwa menjadi kecil – rendah hati – dihadapan-Nya, semakin Allah mengangkatnya pada puncak kesucian yang tinggi. Theresia tidak menolak ajaran para kudus tetang kesucian yang ditempuh melalui jalan askesis (latihan rohani yang keras) tetapi justeru ia mau menempuh suatu jalan rohani yang sederhana yang mampu dijangkau oleh setiap jiwa. Ia mau menempuh suatu jalan kecil dan sederhana namun dijiwai oleh cinta yang besar. Inilah jalan kanak-kanak rohaninya yaitu jalan cinta kasih. Theresia mau membuka kesadaran kita akan primat cinta kasih bahwa cinta kasih adalah yang paling utama dalam hidup kita. Cinta kasih adalah jalan singkat dan cepat untuk naik kepada Allah. Inilah makna terdalam ajaran Kitab Suci.

Theresia sangat dipengaruhi oleh ajaran Yohanes Salib sebagai orang kudus dari cinta kasih. Akan tetapi ia tetap mempertahankan kepribadiaannya sesuai dengan panggilannya. Dengan kata lain Theresia mengintegrasikan dalam dirinya ajaran Yohanes Salib sebagai bapa rohaninya dengan panggilan khusus melalui Jalan Kecilnya. Theresia tetap berpegang pada Jalan Kecilnya, jalan kerendahan hati, cinta kasih, kekosongan segala mahkluk dan kemiskinan rohani. Jalan kecil yang diajarkan dan diteladankannya mempunyai motivasi cinta kasih. Karena itu ia sering kali mengutip kata-kata Yohenes Salib: “Pada senja hidup kita, kita akan diadili dengan cinta kasih.”

Theresia Lisieux adalah orang kudus besar, yang telah mencapai suatu puncak kesucian yang sangat tinggi. Ia telah menempuh suatu perjalanan yang panjang walaupun hidupnya di dunia ini hanya 24 tahun. Kasucian Theresia sebenarnya sudah tertanam sejak dari keluarganya. Ia memandang keluarganya sebagai sekolah kesempurnaan di mana ia dapat melatih diri untuk berkorban demi keselamatan jiwa-jiwa. Dari sini kita lihat bahwa keluarga merupakan Gereja Kristus di mana kita dapat bertumbuh dalam cinta kasih dan kebajikan-kebajikan lainnya yang menghantar kita kepada kesempurnaan hidup seperti yang perintahkan oleh Kristus kepada kita:. “Hendaklah kamu sempurna sama seperti Bapamu di surga sempurna” (Mat 5:48).

Namun di Karmellah Theresia mengalami pertumbuhan rohani yang pesat walaupun harus dilewatinya dalam kegelapan iman. Di Karmellah ia berkenalan dengan tokoh-tokoh terkemuka Karmel seperti Yohanes dari Salib dan Theresa Avila, sang reformatris. Namun bagaimana pun besarnya pengaruh ajaran mereka, ajaran Tuhan Yesus sendirilah yang menjadi pegangannya. Katika ia mencari jalan baru dalam hidup rohaninya, ia membaca Injil. Ia mengatakan: “Satu patah kata saja membukakan bagiku cakrawala yang tak terbatas dan kesempurnaan sangatlah mudah, cukup mengakui kekecilan dan melemparkan diri ke tangan Allah.” Injil begitu menyita perhatiannya dan memberikan makanan rohani kepada jiwanya. Setelah jiwanya dibebaskan dan berlayar dalam lautan cinta kasih ia menemukan makanannya dalam Injil.

Beberapa unsur pokok ajaran yang diteladankannya dalam Jalan Kecilnya, diantaranya adalah kerendahan hati. Kerendahan hati adalah segala-galanya. Berbicara tentang hidup rohani atau kesucian tidak pernah lepas dari kerendahan hati. Kerendahan hati diibaratkan dengan dasar atau fondasi suatu bangunan. Semakin tinggi suatu bangunan, semakin dalam pula fundasi yang mendasarinya. Tanpa fondasi yang dalam maka bagaimana pun indah dan kokohnya suatu bangunan, dalam waktu singkat pasti akan roboh juga. Demikian halnya dengan hidup rohani semakin seseorang berkembang dalam hidup rohani, maka ia harus menggali lebih dalam kerendahan hatinya. Kalau tidak, maka kesombongan dan keangkuhan akan merajalela dan akibatnya dalam waktu singkat ia akan ambruk seperti sebuah bangunan yang tidak memiliki fondasi yang dalam. Karena itu para kudus sangat menekankan kerendahan hati dalam hidup rohani. Theresa Avila berulang kali menekankan kerendahan hati untuk para susternya. “Kerendahan hati…….kerendahan hati, sekali lagi saya katakan kerendahan hati.” Ia melihat kerendahan hati sebagai suatu kebenaran. Yesus sendiri pun sangat meninggikan orang yang rendah hati dan mengecam orang yang sombong.

Dalam diri Theresia kerendahan hati begitu menonjol. Jalan Kecilnya tidak lain adalah jalan kerendahan hati. Bila ada kerendahan hati maka lebih mudah mencapai kesucian. Bila cinta diri tidak ada dalam diri seseorang maka Allah secara bebas menyatakan diri-Nya. Theresia mengatakan: “Kalau seseorang menjadi kecil, Allah akan melimpahi dia dengan rahmat-Nya. Untuk mencapai jalan kecil, orang harus menjadi rendah hati. Kita jangan berdukacita kalau melihat diri kita lemah tetapi sebaliknya berbangga. Marilah kita menjadi semakin kecil sesuai dengan keinginan Yesus sendiri, “Kerajaan Allah menjadi milik anak-anak dan yang menyerupai anak-anak.” Maka dari itu, Theresia tetap menjadi anak kecil di hadapan Allah bahkan menjadi semakin kecil. Theresia menjelaskan arti tetap tinggal seperti anak kecil yaitu mengakui kepapaan dan ketakberdayaan kita dan mengharapkan segalanya dari Bapa yang baik sebagaimana seorang anak kecil mengharapkan segalanya dari ayahnya. Menjadi anak kecil juga berarti menyadari kebajikan atau perbuatan baik yang dilakukan bukan miliknya dan menyadari diri sendiri tak mampu melakukan segala sesuatu yang baik, sebaliknya bahwa Allah yang menganugerahkan kebajikan itu. Ajaran Theresia ini bukan sesuatu yang baru. Inilah arti terdalam ketika Tuhan mengatakan: “Diluar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).

Betapa dalamnya pikiran Theresia tentang kerendahan hati bahwa segala perbuatan baik yang kita lakukan membutuhkan rahmat Allah. Setiap perbuatan baik membutuhkan rahmat aktual. Ciri kerendahan hati Theresia adalah mengakui kepapaan, kekecilan dan ketakberdayaan kita di hadapan Allah dan mengharapkan segalanya dari Allah. Betapa orang dewasa ini jauh dari ajaran Theresia. Manusia dewasa ini begitu sombong dan angkuh dengan kemampuan-kemampuannya dan merasa bisa melakukan segala-galanya tanpa Allah. Dengan demikian secara perlahan-lahan mereka meninggalkan Allah. Banyak orang yang melekat pada dirinya sendiri; mendewakan kemampuan, kepandaian, bakat, dll. Inilah dosa kesombongan yang lakukan manusia pertama yang menyangka bisa menyamai dan menjadi seperti Allah. Orang menciptakan allah-allah lain dalam dirinya. Orang dewasa ini melihat kerendahan hati sebagai sesuatu yang negatif; suatu kelamahan, cacat, penakut, sakit jiwa, dll. Dengan demikian orang dengan mudah putus asa bila menghadapi kegagalan atau kelemahan dalam dirinya. Mereka melihat orang yang mengejar kesucian sebagai suatu perbuatan yang sia-sia dan membuang waktu saja.

Akan tetapi, dalam diri Theresia kita jumpai gagasan kerendahan hati sejati yaitu suatu harapan yang besar kepada Allah. Ini tidak berarti bahwa Theresia tidak berusaha. Ia tetap berusaha tumbuh dalam segala kebajikan tetapi ia tidak mau melekat pada kemampuan yang dimilikinya seperti yang diungkapkannya: “Kemampuanku adalah kelemahanku.” Ketika ia diberi tugas sebagai pembimbing novis, ia merasa tugas itu terlampau berat baginya. Ia menyadari ketidakmampuan dan keterbatasannya. Maka ia berdoa: “Tuhan, Engkau melihat bahwa saya terlalu kecil untuk memberikan makanan kepada anak-anak-Mu, kalau Engkau memberi mereka makan melalui aku, makanan yang tepat bagi masing-masing, maka penuhilah tanganku yang kecil ini dan tanpa meniggalkan tangan-Mu, saya akan memberi dan membagikan makanan itu kepada jiwa-jiwa yang datang meminta makanan kepadaku. Kalau jiwa itu merasa makanan itu sesuai dengan seleranya, saya tahu bahwa itu bukan jasa saya tetapi Engkau yang memberikannya dan sebaliknya kalau ia mengeluh dan merasa apa yang saya berikan itu pahit, saya tidak akan kehilangan kedamaian, saya berusaha meyakinkan dia bahwa makanan itu berasal dari pada-Mu.”

Ciri khas Theresia adalah memilih untuk tidak dikenal dan dilupakan, tidak dianggap apa-apa, tidak diorangkan. Kerinduan ini membuat dia lebih cepat mematikan egoismenya . Ia rindu untuk tidak dikenal seperti sang perawan yang menyimpan segala sesuatu dalam hatinya. Dilupakan merupakan penyangkalan diri yang radikal. Ini adalah kematian total egoisme. Kesaksian saat proses kanonisasi mengatakan: “Yang paling menyolok dari hamba Tuhan ini adalah kerendahan hati dan kesopanannya. Ia tidak mau menonjolkan diri.” Theresia memilih semboyan: “Cintailah untuk tidak dikenal dan tidak dianggap apa-apa” (Amanecire et pronicilo reputari).

Sesungguhnya sikap kerendahan hati Theresia ini lahir dari kepercayaan dan kepasrahannya kepada Allah. Ia menyadari kekecilan dan ketakberdayaannya. Tetapi ia percaya akan kebaikan dan kerahiman Allah. Ia percaya bahwa dalam kelemahannya Allah akan membajirinya dengan rahmat yang berlimpah. Kepercayaan ini sangat nyata khususnya dalam mengalami pencobaan dan pemurnian dahsyat yang dialaminya. Theresia mengalami malam gelap yang dahsyat selama di Karmel. Hanya sedikit saja ia mengalami hiburan dari Tuhan. Ia mengalami kegelapan iman bahkan sampai saat ia mengalami sakrat maut. Inilah penderitaan terbesar yang dialami Theresia. Saat ia berada dalam sakrat maut ia mengalami katakutan yang luar biasa. Ketakutan Theresia dapat dilukiskan dengan ketakutan yang dialami Raja para martir saat Ia tergantung tak berdaya di salib. Ia merasa bahwa Allah yaitu Bapa-Nya meninggalkan Dia. Tentu saja penderitaan dan ketakutan Yesus jauh lebih besar dibandingkan dengan ketakutan dan penderitaan Theresia. Karena itu Theresia mengatakan: “Para martir menjalani hukuman dengan bernyanyi tetapi Raja para martir menjalaninya dalam ketakutan.” Walaupun berada dalam kegelapan iman, Theresia mengungkapkan kepercayaannya, ia meninggal dengan kata-kata: “Tuhan aku mencintai-Mu.”

Dalam mengalami malam gelap di Karmel, sikap Theresia satu-satunya adalah pasrah kepada Allah. Pasrah berarti kehendak bersatu dengan kehendak Allah. Kehendak mati terhadap dirinya sendiri supaya hidup melulu bagi Allah. Singkatnya pasrah berarti suatu keserasian kehendak dengan kehendak Allah; menghendaki, mencintai, mengingini apa yang dikehendaki, dicintai dan diingini Allah. Apapun yang datangnya dari Allah baik penderitaan maupun hiburan, terima saja tanpa banyak mengeluh.

Demikianlah yang dilakukan Theresia yang mengalami kegelapan iman yang berlangsung bertahun-tahun lamanya. Ia tidak banyak mengeluh, tidak banyak menuntut dari Allah melainkan menerima semuanya itu dalam cinta dan sukacita yang besar. Pasrah karena saya percaya kepada Allah, saya dikasihi Allah dan Ia menghendaki yang terbaik bagiku. Jalan Kecil pasrah sebenarnya sama dengan ajaran Injil yang paling dalam yaitu mendahulukan kehendak Allah. Di salib Yesus mengungkapkan kepasarahan-Nya yang total kepada Allah: “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawaku” (Luk 23:46).

Jalan pasrah membawa kita kepada penyerahan diri yang total. Kepasrahan Theresia ini dapat kita lihat dari ekpresi wajahnya. Ia selalu berwajah ceria dan ramah. Orang mengira bahwa jalannya penuh mawar padahal penuh dengan duri yang tajam. Pada puncak kesuciaannya ia tidak berani meminta penderitaan. Ia hanya menjalani jalan pasrah dan penyerahan. “Saya tidak akan meminta penderitaan kepada Allah sebab kalau saya memintanya, itu menjadi penderitaanku dan saya harus menanggungnya sendiri pada hal saya tidak pernah dapat menanggungnya. Sekarang saya tidak menginginkan apa-apa lagi selain mencintai Yesus sampai gila. Hanya pasrah ini saja yang menarik saya. Saya tidak menginginkan sesuatu lagi kecuali pelaksanaan sempurna kehendak Allah dalam jiwaku.”

Dasar dari seluruh ajaran Theresia adalah cinta kasih. Kita dapat berbicara tentang kerendahan hati, kepercayaan dan kepasrahan dari Jalan Kecil Theresia, akan tetapi yang menjadi motivasi dasar dari semuanya itu adalah cinta kasih. Cinta kasih mengandung segala-galanya. Cinta kasihlah yang mempersatukan kita dengan Allah sampai akhir. Sesungguhnya arti terdalam dari kesucian itu tidak lain adalah persatuan cinta kasih dengan Allah. Dalam buku Mengikuti Jejak Kristus – buku yang sering dibawa kemana-mana oleh Theresia bahkan ia sering menghafalkan pokok–pokok pentingnya – diungkapkan dengan indah buah dari cinta kasih itu. “Cinta kasih itu sesuatu yang besar, lebih berharga dari segala sesuatu. Cinta kasih menanggung beban tanpa merasakan bebannya dan membuat segala sesuatu yang pahit menjadi manis. Tak ada yang lebih manis, kuat, luhur, menarik, lebih melapangkan dada dari pada cinta kasih. Tak ada yang lebih sempurna baik di surga maupun di dunia sebab cinta kasih lahir dari Allah dan hanya beristirahat dalam Allah.” Cinta kasih merupakan jalan yang paling pendek menuju kesucian.

Bagi Theresia, cinta kasih adalah segala-galanya. Cinta kepada Allah sungguh menjiwai perbuatannya. Disinilah keistimewaan Theresia. Sekecil apapun perbuatan atau tugas yang dilakukannya, selalu dijiwai dengan cinta yang besar. Ia mengubah perbuatan yang kecil dalam pandangan manusia menjadi suatu perbuatan yang besar di hadapan Allah karena cintanya yang besar yang menjiwai perbuatan itu. Inilah keistimewaan Theresia. Karena itu ia seringkali disebut dengan Theresia Kacil yang besar. Theresia hanya berpikir dan bernafas bagi Allah dan cinta kasih kepada Allah adalah ciri yang menyolok dari hidupnya. Kerinduan Theresia adalah mencintai Allah seperti belum pernah Dia dicintai. Maka cinta kasih menjadi pusat seluruh hidup rohaninya. Ia mengatakan: “Panggilanku ialah cinta kasih.” Seorang penyelidik dalam proses kanonisasinya mengatakan: “Theresia bisa disebut sebagai orang kudus dari cinta kasih yang murni karena ia mencintai Allah sedemikian rupa, tidak perlu dilihat orang lain.”

Theresia sangat pandai menyembunyikan kebajikan. Nampaknya ia melakukan pekerjaan kecil, pekerjaan biasa dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang biarawati; seorang koster dan tukang jahit, akan tetapi cinta kasih yang menjiwai perbuatan itu sangat besar dan inilah yang sangat berharga di hadapan Allah. Di hadapan Allah nilai suatu tindakan bukan berdasarkan besar kecilnya tindakan itu melainkan cinta kasih yang menjiwainya. Semakin besar cinta kasih yang menjiwai suatu perbuatan semakin tinggi nilainya dihadapan Allah. Orang boleh saja melakukan suatu perbuatan besar, suatu karya yang mengundang kekaguman, akan tetapi kalau hal itu tidak dijiwai cinta kasih maka tidak ada nilainya di hadapan Allah.

Theresia menerima segala sesuatu untuk tujuan mengasihi Allah dan menjadikan Dia semakin dikasihi. “Di dunia ini hanya satu hal yang kita lakukan yaitu mencintai Yesus dengan segenap kekuatan kita dan menyelamatkan jiwa-jiwa bagi Dia.” Dalam diri Theresia api cinta kasih itu begitu membara walaupun tidak nampak secara lahiriah. Ia selalu melakukan setiap tugas yang diberikan dalam semangat cinta kasih yang besar. Seluruh aktivitasnya bersumber dan bertujuan pada cinta kasih.

Suatu hari Theresia mengalami sentuhan cinta kasih yang amat besar dan perlahan-lahan Allah merintis jalan baru dalam dirinya untuk menjadikan dia sebagai perintis jalan baru dalam Gereja yaitu persembahan dirinya pada cinta kasih yang maha rahim. Segala sesuatu dalam dirinya mengalir pada puncaknya itu yaitu penyerahan diri pada cinta kasih yang maha rahim. Puncak dari segala perbuatannya adalah pasrah sebagai korban cinta kasih yang maha rahim. Dalam penyerahan inilah Theresia menemukan prinsip kesucian yaitu martir cinta kasih. Dalam dua tahun terakhir hidupnya ia terus berkembang dalam cinta kasih dan ia hanya memiliki satu kerinduan: “Hidup dari cinta kasih, mati karena cinta kasih tetapi di atas salib.” Misi Theresia adalah menjadikan Sang cinta kasih dicintai.”

Dalam kehidupan sehari-hari, Theresia banyak mengalami penderitaan. Terutama karena kekeringan berkepanjangan yang dialaminya dalam doa. Namun ia tidak pernah menolak atau memberontak terhadap Allah. Ia menerimanya dalam cinta kasih dan demi cintanya kepada Allah. Inilah kemartiran Theresia dan betapa jiwanya sangat menderita, lebih menderita dari martir yang mencurahkan darah. Kemartiran cinta kasih dapat dilukiskan dengan penderitaan Kristus di salib dimana Ia seolah-olah mengalami keterpisahan dengan Bapa-Nya selama-lamanya. Kesetian Theresia akan cintanya kepada Allah teruji ketika ia tetap bertahan dalam penderitaan tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya yang menghujat Allah. Theresia meniggal dalam damai dan memancarkan kebahagian dari wajahnya. Inilah perbedaan Theresia dengan para pendosa. Jika para penjahat dan pendosa saat mengalami sakrat maut memancarkan wajah kegeraman dan kemarahan serta hujatan kepada Allah, justeru Theresia menerimanya tanpa kata hujatan sedikit pun.

Ciri khas cinta kasih Theresia terdapat dalam hal mengasihi Allah dengan jiwa seorang anak. Inilah cara Theresia mengenal jalan Allah. “Akulah makhluk paling kecil, aku mengerti kemampuanku sendiri. Tetapi saya dapat dimaafkan karena saya seorang anak. Karenanya yang kuminta hanyalah cinta kasih. Saya hanya mengenal satu hal ‘mencintai Engkau oh…. Yesusku.’ Karya-karya yang mengagumkan bukan untuk saya; saya tidak mewartakan Injil, saya tidak mencurahkan darah tetapi tidak apa-apa sebab saudara-saudaraku akan bekerja sebagai gantiku dan aku anak kecil ini hanya mau tinggal dekat dengan tahta ilahi. Saya mencintai bagi mereka yang berperang.”

Banyak jiwa kecil dalam Gereja yang mungkin tidak diketahui atau tidak menampakan kesuciaannya di depan umum, namun sesungguhnya mereka teleh menapaki Jalan Kanak-kanak Theresia yang membawa mereka naik ke puncak gunung. Sebagai seorang biarawati kontemplatif Theresia tidak pernah meninggalkan biaranya untuk mewartakan Sabda Tuhan tetapi justeru dalam kesunyian dan keheningan ia senantiasa berdiam di hadapan Allah, mencintai Allah melalui kegiatan harian dalam biara yang terkadang menjenuhkan. Tetapi semuanya itu dilakukannya dalam kesetiaan dan semangat cinta kasih. Karena ajarannya menjangkau banyak orang, maka mengertilah kita mengapa Theresia yang tidak pernah dikenal banyak orang, tidak pernah keluar biara untuk mewartakan Injil, oleh Gereja diangkat menjadi Pelindung Misi sejajar dengan misionaris besar Santo Fransiskus Xaverius. Karena kebenaran ajaran Jalan Kecilnya yang sederhana tetapi mampu membawa banyak jiwa kepada Tuhan maka ia diangkat menjadi Pujangga Gereja padahal ia tidak pernah belajar teologi.

Bagi kita yang hidup dizaman modern ini, Jalan Kecil Theresia yang tidak lain adalah jalan kesucian membawa kita pada suatu pengertian bahwa sesungguhnya setiap orang kristen dipanggil kepada kesucian. Misi utama ajaran Theresia ditujukan kepada semua orang kristen, bukan saja bagi mereka yang dipanggil secara khusus; imam, biarawan dan biarawati atau mereka yang tinggal dalam biara dengan klausura yang ketat tetapi misinya mencakup seluruh dunia dan bersifat universal. Kesucian itu terdapat dalam kehidupan kita sehari-hari apapun panggilan kita. Hakikat kesucian bukan dalam hal kebesaran dan keagungan suatu karya melainkan cinta kasih yang mendorongnya. Jalan Kecil Theresia, suatu jalan yang sangat sederhana yang sesuai dengan amanat Injil yang paling dalam justeru diperuntukkan bagi kita semua. Jalan Kecilnya dapat dijangkau oleh setiap jiwa.

Marilah kita menjadi semakin kecil dan kecil di hadapan Allah yang maha baik, marilah kita semakin rendah hati. Marilah kita mengubah tindakan kita yang biasa menjadi luar biasa dengan menjadikan cinta kasih sebagai pendorong utamanya. Janganlah kita putus asa dengan kelemahan, kekecilan dan ketakberdayaan kita tetapi hendaklah semuanya itu dijadikan persembahan yang harum mewangi yang membumbung ke hadapan Allah. Dengan menerima ketakberdayaan kita dengan penuh cinta dan mengharapkan segalanya dari Bapa yang baik justeru kita memuliakan Allah. Bersama Theresia kita mau berseru kepada Allah: “Biarlah Engkau menjadi semakin besar dan aku menjadi semakin kecil.”

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting