Print
Hits: 10539

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 
 
 
KELUARGA DAN MASA KANAK-KANAKNYA

Pada tanggal 25 Agustus 1905 di Glogowiec, Polandia lahirlah seorang bayi perempuan dan diberi nama Helena Kowalska. Helena Kowalska adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Ayahnya seorang petani merangkap tukang kayu dan bersama dengan ibunya, Helena rajin bekerja. Mereka menganggap bekerja keras itu sebagai jalan kepada kesalehan. Pasangan suami-istri ini selalu menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka. Peraturan rumah dibuat seperti peraturan di dalam biara yaitu berdoa dan bekerja.

Walaupun Helena hanya bersekolah sampai kelas 3 SD namun ia seorang anak yang pintar dan rajin. Semboyannya: “biar hanya mengetahui satu pekerjaan, asalkan mengetahui secara benar.” Helena tidak hanya rajin di dalam bekerja ia juga rajin berdoa, dan ia tidak puas dengan doa bersama keluarganya yang dilakukan pada pagi dan malam hari sehingga ia sering bangun tengah malam dan berdoa sendiri. Ibunya sering menegurnya dan Helena menjawab, “Malaikat pelindung yang membangunkan aku untuk berdoa.”

Ketika Helena berusia 9 tahun, ia menerima Sakramen Pengakuan dan Sakramen Ekaristi untuk pertama kalinya. Buku yang paling disukainya adalah “Riwayat orang Kudus” dan ia berusaha sungguh-sungguh untuk meneladani para kudus itu.

Pada saat Polandia dijajah oleh Rusia, walaupun keluarganya rajin bekerja namun tetap miskin. Dan ketika berusia 16 tahun, Helena minta izin kepada ibunya untuk diperbolehkan mencari pekerjaan agar dapat menolong orang tuanya. Akhirnya Helena bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang rajin, sopan, taat, dan teliti. Setahun kemudian ia kembali kepada keluarganya dan minta izin untuk masuk biara. Ayahnya sangat berat hati untuk mengabulkan permohonannya karena tidak mempunyai uang. Helena mengatakan, “Aku tidak memerlukan uang, Tuhan Yesus sendiri yang akan berjuang supaya aku masuk biara!”

Karena keluarganya tetap berkeberatan, Helena mencari pekerjaan dengan syarat: setiap hari ia dapat mengikuti Ekaristi, sekali setahun mengikuti retret, dan pada waktu luang diperbolehkan mengunjungi orang sakit serta menolong orang miskin. Ketika berdoa di muka Tabernakel, ia mendengar panggilan Tuhan yang berkata, “Hentikanlah pekerjaanmu sebagai pelayan dan berangkatlah ke Warszawa, agar engkau dapat masuk biara!” Pada tanggal 1 Agustus 1925, ia menuju biara suster Bunda Maria Kerahiman. “Waktu itu aku merasa seperti masuk Firdaus dan aku berterima kasih kepada Allah.” (Buku Harian I,6) Biara ini berusaha menolong gadis-gadis yang kurang baik, yang memerlukan pembaharuan rohani melalui perbuatan belaskasihan dan kerahiman.

MEMASUKI BIARA BUNDA MARIA KERAHIMAN

Beberapa hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-20, Helena diterima sebagai postulan di biara Bunda Maria Kerahiman di Masraw, Polandia. Dan tanggal 30 April 1926, Helena menerima jubah biara dan mengenakan nama baru Sr. Maria Faustina. Ia sangat menyukai keindahan alam karena di sanalah ia dapat melihat kebaikan dan kebesaran Allah. Tanggal 30 April 1928, ia mengikrarkan kaulnya yang pertama. Ia menulis dalam Buku Hariannya, “Waktu kaul pertamaku, kerinduanku berkobar-kobar untuk meleburkan diri demi Tuhan melalui cinta nyata. Sejak saat itu jiwaku bergaul dengan Tuhan seperti anak dengan bapa yang tercinta” (Buku Harian-I, 11) dan “dengan Yesus aku berjalan kemana-mana. Kehadiran-Nya ada besertaku.” (Buku Harian-II, 201)

Kewajiban rohaninya dalam biara dijalankannya dengan sungguh-sungguh dan niatnya ditulis dalam buku hariannya, “Latihan rohaniku akan aku laksanakan sedemikian rupa, seolah-olah aku menjalankan itu untuk terakhir kalinya dalam hidupku. Dengan cara demikian aku mau melaksanakan semua kewajibanku.”

Faustina sungguh-sungguh berjuang supaya menjadi biarawati yang bertanggung jawab dan berusaha menyenangkan semua orang dengan kehadirannya. Pekerjaan yang dilakukan sederhana, ia bekerja di dapur, di kebun, atau di pintu sebagai penerima tamu dan ia rela memberikan tenaganya di mana saja diperlukan. Semuanya dijalankan dalam kerendahan hati. Tuhan sendiri mempersiapkan dia untuk menerima rahmat yang lebih besar yaitu rahmat mistik.

DEVOSI KERAHIMAN ALLAH

Sejak tanggal 22 Februari 1931, Faustina sadar bahwa penderitaan adalah rahmat yang besar dan jiwa disatukan dengan penyelamat melalui penderitaan. Dalam penderitaan cinta mengkristal, semakin besar penderitaan, cinta menjadi semakin bersih, dan jiwa yang disucikan oleh kesulitan menjadi rendah hati. Ia merasakan sentuhan rahmat yang paling halus, ia mudah melihat dan merasakan Allah dalam hati orang lain dan di mana saja. Karunianya yang lain ialah dapat melihat malaikat pelindungnya. Pada pesta St. Mikhael Malaikat Agung, “Aku melihat panglima itu berada di dekatku, dan berkata: Tuhan menyuruhku supaya aku secara khusus melindungimu. Dan engkau harus mengetahuinya bahwa kejahatan membenci engkau. Namun, jangan takut! Siapa seperti Allah?” kemudian lanjutnya, “Sesudah itu ia menghilang, tetapi aku tetap merasakan kehadirannya dekat dengan aku.” (Buku harian-II, 142)

Faustina juga sangat memperhatikan peraturan liturgi Gereja. Kutipan berikut menyatakan hal itu yang ditulis dalam Buku Hariannya, “O, betapa gembiranya hidup sebagai anak Gereja yang setia!” Ia sangat bahagia bila berada di depan Sakramen Mahakudus, “Aku tidak mau kesibukan kerja menelan aku sehingga aku bisa melupakan Tuhan. Segala waktu yang terluang akan kupergunakan untuk berdoa di hadapan Tuhan yang tersembunyi dalam Sakramen Mahakudus. Dialah Guruku sejak mudaku! Terang paling banyak kuperoleh ketika beradorasi sambil berbaring dalam bentuk salib di muka tabernakel dan dengan demikian dapat lebih baik mengenal Tuhan dan diriku sendiri.”

Ekaristi merupakan perayaan yang sangat berarti bagi Faustina. “Pengalaman yang tidak terlupakan ketika menerima komuni, sebuah hosti jatuh ke tanganku dan aku merasakan kekuatan cinta yang sangat besar sampai-sampai sepanjang hari aku tidak dapat makan dan tidak bisa segera menjadi sadar kembali karena aku melihat Anak Yesus bukannya hosti! Setelah menerima komuni suci aku merasa dalam hatiku, Hati Yesus yang sedang berdenyut. Walaupun sudah cukup lama, aku masih tetap sadar bahwa komuni suci berada dalam hatiku sampai komuni berikutnya. Aku berdoa hari ini secara khusus supaya Ia dengan rahmat-Nya melindungi anak-anak kecil terhadap kejahatan yang mengancam mereka. Kehadiran Allah dalam hatiku kurasakan bukan saja kehadiran hidup tetapi kehadiran secara fisik sepanjang hari. Akan tetapi, aku merasa tak terganggu dalam melaksanakan tugas harianku Ketika tenagaku mulai melemah, justru komuni suci menguatkan aku dan menjadi sandaran bagiku. Sungguh aku merasa takut kalau aku tak dapat menerima komuni suci. Jiwa harus menimba kekuatan ajaib dari komuni suci.” Doa yang diucapkannya saat menyambut komuni suci, “O, Yesus, pada waktu komuni Engkau bersama Bapa dan Roh Kudus datang ke hatiku dan tinggal dalam surga kecil ini. Aku berusaha sepanjang hari berada bersama-Mu dan aku tidak mau meninggalkan Engkau sendirian!”

Di samping devosi kepada Sakramen Mahakudus, Faustina secara khusus menghormati dan mencintai Bunda Maria yang sering menampakkan diri kepadanya. “Malam ketika aku berdoa, Bunda Maria berbicara kepadaku: Hidupmu harus seperti hidupku, dalam kesunyian dan tersembunyi. Engkau harus tak henti-hentinya menyatukan diri dengan Allah dan berdoa untuk dunia dan menyiapkan dunia untuk kedatangan Tuhan yang terakhir.” (Buku Harian-II, 83)

Penghormatan dan cinta Faustina pada Bunda Maria ini akhirnya menghantarnya sendiri ke dalam persatuan cinta dengan Yesus. Dalam penampakan-Nya kepada Faustina, Yesus memintanya, “Siapa saja yang mendekati engkau, janganlah ia pergi tanpa pengharapan pada Kerahiman-Ku, yang Aku inginkan agar menjadi milik jiwa-jiwa. Berdoalah, sedapat mungkin untuk jiwa-jiwa yang berada dalam sakrat maut. Mintalah untuk mereka pengharapan bagi yang paling sedikit memilikinya. Ketahuilah, bahwa rahmat keselamatan kekal untuk beberapa jiwa pada kematiannya tergantung dari doamu. Engkau mengenal kedalaman Kerahiman-Ku. Sebab itu cedoklah rahmat itu untuk dirimu sendiri dan terutama untuk para pendosa yang malang.” (Buku harian-VI, 128) Inilah jawaban Faustina, “O, Yesus! Rinduku bernyala seperti kurban murni dan biarlah aku menghancur di hadapan tahta kediaman-Mu. Aku tak henti-hentinya berdoa untuk orang berdosa yang berada dalam sakrat maut.” Faustina berniat untuk bermatiraga kecil-kecilan dan berdoa “Rosario Kerahiman” dengan tangan terentang. Setiap hari Sabtu ia berdoa satu peristiwa rosario sambil tangan terentang. Kadang-kadang ia mengucapkan doa tertentu sambil bertiarap. Hari Kamis menjalankan jam silih, hari Jumat ia bermatiraga lebih hebat untuk para pendosa yang berada dalam sakrat maut.

Yesus juga memintanya untuk berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Pada suatu malam datang seorang suster yang sudah meninggal dan meminta doanya karena ia sangat menderita di api penyucian. Ia berkata, “Engkau mempunyai cinta kasih yang besar terhadap sesama, doamu banyak menolong dan jangan berhenti mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian.” (Buku Harian-I, 23)

St. Faustina terkenal dengan devosi kepada Kerahiman Ilahi. Berkat bantuan bapa rohaninya Micael Sopocko, ia mulai menyebarluaskan devosi kepada Kerahiman Ilahi itu. Kesehatannya yang terganggu akibat penyakit paru-paru yang harus dideritanya tidak membuatnya mundur. Ia tetap berusaha menjalankan segala tugasnya dalam biara dengan tenang dan gembira. Seluruh hidupnya dipusatkan pada perjuangan yang tegas untuk semakin menyatukan diri dengan Allah dan bekerjasama dengan Yesus melalui bermacam-macam kurban dalam karya keselamatan jiwa-jiwa.

AKHIR HIDUPNYA

Kesehatannya yang menurun membuatnya lemah. Dalam keharuman kesalehannya, ia meninggal dunia pada tanggal 5 Oktober 1938 ketika berusia 33 tahun sama dengan Tuhan Yesus yang mati di salib ketika berusia 33 tahun. Ia dikubur di kota Krakow. Mula-mula ia dimakamkan di dalam biara, kemudian ketika dimulai proses beatifikasi pada tanggal 21 November 1968 oleh Uskup Krakow, kuburnya dipindahkan ke kapela biara tepat di bawah gambar Kerahiman. Dengan dekrit 1967, Kardinal Karolus Wojtyla, Uskup Krakow, kapela itu menjadi sankrtuarium relikwi Abdi Tuhan St. Faustina. Pada Pesta Kerahiman Ilahi yang jatuh pada tanggal 18 April 1993, Faustina mendapat gelar Beata. Pestanya diperingati pada tanggal 5 Oktober. Akhirnya pada tanggal 30 April 2000, Paus Yohanes Paulus II menggelarkan Faustina sebagai orang kudus.