User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index


MASA KECIL

Santo Alfonsus lahir di sebuah kota dekat Napoli, Italia, pada tanggal 27 September 1696. Keluarga Alfonsus adalah keluarga bangsawan katolik yang bijaksana, saleh dan terhormat. Ayahnya, Don Joseph de Ligouri, seorang laksamana militer kerajaan Napoli dan ibunya, Donna Anna Cavalieri, mendidik Alfonsus dengan disiplin yang tinggi terutama dalam hal iman dan cara hidup katolik. Orang tuanya juga mendidiknya ala militer.

Dengan disiplin yang tinggi, seminggu sekali ia diwajibkan tidur di lantai tanpa alas. Hal ini membuatnya tidak manja dan terbiasa dengan pola hidup yang keras. Sewaktu kecil, ia dibaptis dengan nama Alfonsus Mary Antony John Francis Cosmas Damian Michael Caspar, tetapi ia lebih suka dipanggil Alfonsus Maria. Don Joseph menyekolahkan anaknya pada usia yang sangat dini dan muda. Dengan bakat dan kemampuan yang luar biasa, Alfonsus mulai belajar hukum pada usia tiga belas tahun dan pada usia enam belas tahun ia memperoleh gelar Doktor Hukum dengan predikat “Magna cum Laude”.

MASA DEWASA

Pada tahun 1717 ayahnya merencanakan pernikahan untuk Alfonsus, namun ia menolak. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai pengacara dengan rajin dan tenang. Alfonsus mengalami kelesuan dalam hidup rohani, namun ia tetap memiliki kehendak kuat untuk menghindari dosa berat. Alfonsus memutuskan  untuk tidak menikah dan ia menantikan petunjuk dari Tuhan untuk mengikuti dan menjalankan kehendak-Nya.

KARIR ALFONSUS

Santo Alfonsus sungguhlah seorang pengacara hebat. Selama dua puluh tahun berkarir, ia tidak pernah terkalahkan dalam satu kasus pun. Pada tahun 1723 ia membela satu kasus besar. Seorang bangsawan Napoli menuntut  Walikota Tuscani atas kepemilikan suatu bangunan berharga lebih dari 100.000 poundsterling. Ia menangani kasus ini dan membela kliennya dengan hebat. Saat di pengadilan seorang juri berkata dengan tenang: “Anda telah mengabaikan bukti yang menjadi inti dari seluruh kasus ini.” “Apa maksudmu? Di mana? Bagaimana?”  tanya Alfonsus. Juri menyerahkan suatu bukti yang telah dibacanya beberapa kali, tetapi dengan suatu paragraf yang ditandai bahwa Alfonsus telah keluar dari pembelaannya secara keseluruhan.    

Intinya terletak pada apakah bangunan yang didirikan tersebut berada di bawah pengawasan hukum Lombard atau Angevin. Klausa ini membuat jelas bahwa Alfonsus lalai dan mengabaikan bukti-bukti yang ada. Oleh karena itu diputuskanlah oleh juri bahwa kliennya kalah. Untuk beberapa saat ia terdiam. Kemudian ia berkata, “Saya telah membuat suatu kesalahan. Kasus ini milikmu”. Segera Alfonsus meninggalkan ruang pengadilan. Alfonsus mengurung diri selama tiga hari di kamar, merenungkan kekalahannya. Kekalahan ini membuat batinnya tertekan. Akan tetapi, ternyata Tuhan memiliki rencana yang indah atas diri Alfonsus, kekalahan ini membukakan pintu hatinya untuk menjalani hidup bakti kepada Tuhan. Setelah lama berdoa dan merenung di depan tabernakel, akhirnya  ia pun memperoleh ketenangan batin. Ketenangan batin inilah yang menumbuhkan kerinduan hatinya untuk menjadi seorang biarawan.

Ketika mengunjungi orang sakit di rumah sakit seperti yang biasa ia lakukan, Alfonsus dua kali mendengar suara ajaib yang berkata,”Tinggalkanlah dunia dan serahkanlah dirimu kepada Aku”. Lama kelamaan ia sadar bahwa itu adalah suara Tuhan. Pada akhirnya dengan kesadaran ini, ia memutuskan untuk menjadi biarawan yang sepenuhnya mempersembahkan hidup bagi Tuhan. Lalu Alfonsus  pergi ke gereja Maria Bunda Penebus dan menawarkan dirinya kepada seorang pastor. Don Joseph mencoba segala usaha untuk menggagalkan keinginan anaknya. Akan tetapi, pada akhirnya sang ayah terpaksa menyetujui Alfonsus untuk menjadi pastor, asal saja, selain bergabung dengan Ordo Pengkotbah, ia harus tetap tinggal di rumah. Dengan nasihat pimpinannya, Pastor Pagano OP,  Alfonsus menerima persyaratan ini.


ALFONSUS MENJADI IMAM

Santo Alfonsus mulai belajar Teologi di rumah dan pada tahun 1726 ditahbiskan menjadi pastor. Selama dua tahun berikutnya, ia ditugaskan dalam pekerjaan misi di seluruh kerajaan Napoli. Awal abad XVIII merupakan masa kesombongan dalam berkotbah di mana banyak kotbah yang bertele-tele di mimbar yang merupakan buah dari masa Renaisans yang di luar kendali. Juga merupakan masa dimana banyak terjadi penyimpangan dalam pengakuan dosa yang merupakan buah dari Jansenisme. Alfonsus menolak mengikuti kedua ciri khas ini.

Ia berkotbah dengan sederhana dan tanpa dibuat-buat. “Suatu hal yang menyenangkan untuk mendengarkan kotbahmu, engkau melupakan dirimu sendiri dan mengajarkan Yesus Kristus”, kata beberapa orang kepadanya. Kemudian ia pun memerintahkan misionarisnya: “Gayamu harus sederhana, tetapi kotbahmu harus dipersiapkan dengan baik. Jika kemampuanmu kurang, kotbahmu tidak menyambung dan tidak memiliki rasa, jika terlalu muluk-muluk, orang yang sederhana tidak dapat mengerti kotbahmu.”

Selain itu, ia memperlakukan para pengaku dosa sebagai jiwa-jiwa yang perlu diselamatkan ketimbang sebagai seorang penjahat. Alfonsus tidak pernah menolak untuk memberikan absolusi bagi para pengaku dosa. Hal ini tidak menyenangkan bagi beberapa orang sehingga orang-orang ini melihatnya dengan penuh curiga. Ia mengatur lazzaroni Napoli ke dalam kelompok-kelompok yang mengadakan pertemuan untuk mempelajari kebajikan  dan  doktrin Kristen. Salah satu anggotanya dimarahi oleh Alfonsus karena lalai dalam berpuasa, dan pastor lain menambahkan: ”Ini merupakan kehendak Tuhan bahwa kita harus makan untuk hidup. Jika kamu diberi makan sepotong daging, makanlah dan bersyukurlah.”

Pada tahun 1729, ia menjadi imam kapelan di sebuah kolese yang khusus mendidik para calon imam misionaris yang akan dikirim ke Cina. Di sana ia berkenalan dengan Mgr. Thomas Falcoia, seorang imam yang memberi inspirasi dan dorongan kepadanya untuk mendirikan sebuah institut yang baru. Kepadanya Mgr. Falcoia menceritakan tentang para suster binaannya di Scala yang menghayati cara hidup yang keras dalam doa dan matiraga.

Terdorong oleh inspirasi dan semangat yang diberikan oleh Mgr. Falcoia, ia kemudian mendirikan sebuah tarekat religius baru di Scala pada tanggal 9 Nopember 1723, dengan nama ‘Sanctissimi Redemptoris’ (‘Sang Penebus’) yang mengabdikan diri dalam bidang pewartaan Injil kepada orang-orang pedesaan. Tanpa kenal lelah anggota-anggota tarekat ini berkotbah di alun-alun, mendengarkan pengakuan dosa dan memberikan bimbingan khusus kepada muda-mudi, keluarga dan anak-anak.

Santo Alfonsus terkenal sebagai seorang  teolog moral, untuk tulisannya, dan untuk usahanya dalam mendirikan Redemptoris. Selain itu keunggulannya sebagai seorang misioner tidak pernah terkalahkan. Pada tahun 1726-1762 ia berkotbah di seluruh kerajaan Napoli, terutama di desa-desa dan daerah-daerah kumuh. Tugas misi ini sangat berhasil. Banyak orang mengaku dosa kepada Alfonsus, banyak pendosa berat kembali kepada sakramen yang menyembuhkan, musuh-musuh berdamai, permusuhan keluarga didamaikan.

Edisi pertama Teologi Moral Santo Alfonsus diterbitkan di Napoli pada tahun 1748. Edisi kedua, yang merupakan karya pertamanya yang jelas dan lengkap diterbitkan pada tahun 1753-1755. Tujuh edisi berikutnya adalah otobiografi kehidupan pengarang. Buku Teologi Moral terus menerus dicetak ulang sampai saat ini. Tulisan-tulisannya juga sangat membantu para imam dalam bidang pelayanan sakramen tobat.

Sejak meninggalnya Mgr. Falcoia pada tahun 1743, ia memimpin kongregrasi barunya. Dengan berbagai permasalahan internal maupun eksternal, Alfonsus berusaha untuk mendapat pengakuan Raja, dan menjalankan tugas-tugas di seluruh Napoli dan Sicilia. Setelah tahun 1752, kesehatannya semakin memburuk, kegiatan-kegiatan misinya berkurang, sehingga ia mendedikasikan lebih banyak waktu untuk menulis.


Seorang anggota pastoral Napoli mengatakan: “Jika saya Paus saya akan mengkanonisasinya tanpa proses.” “Ia dipenuhi dengan jalan yang sempurna,” kata pastor Mazzini,

“persepsinya yang ilahi tentang cinta Tuhan di atas segala-galanya, dengan seluruh hati dan dengan segenap kekuatan sepertinya semua sudah dilihat dan seperti yang saya lihat, cinta kasih Tuhan memancar dalam setiap tindakan dan perkataan, dalam cara berbicara yang sangat berdevosi kepada Tuhan, kontemplasinya yang mendalam, penghormatannya terhadap Sakramen Mahakudus dan akan kehadiran ilahi.”

Alfonsus tegas, lembut, rendah hati, tetapi juga seringkali skrupel sehingga membuatnya sangat menderita. Pastor Cajone bersaksi selama proses beatifikasi Santo Alfonsus bahwa: “Keutamaan dan ciri khas kebajikannya bagi saya merupakan tujuan yang murni. Pada setiap hal dalam seluruh waktu ia bertindak untuk Tuhan.”

PERJUANGAN USKUP ALFONSUS

Pada usia enam puluh enam tahun, Santo Alfonsus dipilih menjadi Uskup Agata dei Goti oleh Paus Clement XIII. Agata merupakan keuskupan kecil, dengan jumlah 30.000 jiwa, dengan 17 rumah biara dan 400 pastor sekulir. Beberapa pastor ini tidak melakukan kerja pastoral sama sekali, hidup dalam kenyamanan, dan yang lain kendor semangatnya bahkan secara nyata-nyata hidupnya jahat. Kaum awam juga sama buruknya.

Sekelompok pastor dari berbagai ordo dan institusi, termasuk pastor Redemptoris ditunjuk untuk melaksanakan tugas umum di seluruh keuskupannya. Ia menganjurkan dua hal dalam tugas ini, kesederhanaan dalam berkotbah, kemurahan hati dalam pengakuan. Beberapa pastor memiliki kebiasaan mempersembahkan misa hanya 15 menit atau kurang, hal ini menyebabkan mereka dilarang mempersembahkan misa untuk sementara waktu sampai mereka memperbaiki diri.

Dan sang uskup menulis sebuah risalat berjudul: “ ‘Pastor di altar, kata Santo Siprianus, ‘mewakili Yesus Kristus.” Akan tetapi, siapa yang diwakili para pastor saat ini? Mereka hanya mewakili mata pencaharian mereka untuk memperoleh uang. Di Keuskupannya ini banyak pula keluhan terhadap para religius yang merayakan Misa sedemikian terburu-buru sehingga merusak perayaan ekaristi. Tindakan ini merupakan suatu pelanggaran bahkan kafir. Misa yang dirayakan seperti ini dapat cukup membuat orang kehilangan imannya. Sebagai uskup, Alfonsus berusaha membaharui cara hidup para imamnya dan seluruh umat di keuskupannya.

Sesudah ia tinggal di Agata kelaparan singkat terjadi, disertai wabah pes. Santo Alfonsus telah meramalkan malapetaka ini beberapa kali dalam dua tahun sebelumnya, tetapi tidak ada satu hal pun dilakukan untuk pencegahan. Ribuan orang kelaparan, ia menjual apa pun untuk membeli makanan bagi para penderita. Ia juga membagikan seluruh barang miliknya. Keuskupan mengijinkannya untuk menggunakan sumbangan dari keuskupan untuk membantu orang yang kelaparan. Ketika rakyat banyak menuntut walikota Agata, yang dituduh menyembunyikan makanan, Alfonsus menantang kemarahan rakyat dan menawarkan dirinya sendiri sebagai pengganti walikota tersebut. Akhirnya Alfonsus berhasil membubarkan mereka dengan memberikan ransum.

Pada Juni 1767, Alfonsus diserang penyakit rematik yang tak dapat disembuhkan. Setahun kemudian urat lehernya menjadi kejang secara permanen dan tidak dapat disembuhkan. Namun ia tetap merayakan misa dengan bantuan sebuah kursi untuk menerima komuni. Tahun 1775, ia mengajukan surat permohonan pengunduran diri sebagai uskup kepada Paus Pius VI. Surat permohonan yang sama sudah pernah ditolak oleh Paus Klemen XIII dan XIV. Kini efek dari penyakit rematiknya menjadi pertimbangan Paus sehingga ia mendapat ijin untuk mengundurkan diri. Kemudian Alfonsus kembali ke biara Redemptorisnya di Nocera, berharap mengakhiri hari-harinya dalam damai.

Akan tetapi tidaklah demikian, Redemptoris pada tahun 1777 mendapatkan serangan lain. Alfonsus memutuskan untuk memakai cara lain dalam mendapatkan persetujuan raja bagi Regula Redemptoris. Apa yang terjadi berikutnya tidak lebih dari pada suatu tragedi. Santo Alfonsus setuju dengan Mgr. Testa, untuk melepaskan hak untuk memiliki tanah secara umum, tetapi sebaliknya mengajukan agar Regula tidak dirubah. Kemudian Testa mengkhianatinya, ia mengubah beberapa hal yang sangat penting di dalam Regula itu. Bahkan untuk memperluas penghapusan kaul keagamaan, ia bersekongkol dengan konsul kongregasi, Pastor Majone. Akhirnya perubahan Regula ini dipresentasikan kepada Alfonsus, ditulis dengan tulisan tangan yang kecil dan dengan banyak hapusan. Alfonsus saat ini sudah tua, pincang, tuli, dan buruk penglihatannya. Ia membaca semua kalimat pembukaan dokumen tersebut dan menandatanganinya. Bahkan vikaris jenderal, Pastor Andrew Billani, kelihatannya berkomplot.

Raja mengesahkan Regula sehingga mengikat secara hukum. Keributan berkecamuk dalam dirinya: ”Engkau telah mendirikan kongregasi dan sekarang kamu telah menghancurkannya,” katanya. Untuk beberapa saat ia marah dengan pastor Villani: ”Saya tidak pernah berpikir saya akan ditipu olehmu, Don Andrew,” dan kemudian ia menyalahkan dirinya akan kelemahan dan kelalaiannya. Tugas saya adalah untuk membacanya sendiri, tetapi kamu tahu sangatlah sulit bagi saya untuk membaca sekalipun beberapa baris. Untuk menolak menerima Regula saat ini akan berarti suatu tekanan dari raja  bagi para Redemptoris. Sedangkan untuk menerimanya akan berarti suatu tekanan dari Paus, dari tahta suci yang telah menyetujui peraturan aslinya. Ia akan mengkosultasikannya dengan Paus. Namun para Redemptoris yang dalam Kekuasaan Kepausan mencegahnya sehingga ia dikucilkan oleh otoritas Redemptoris.

Bosan dengan pengucilan yang ditimbulkan oleh otoritas Redemptoris yang ia cintai dan hargai, dengan penuh kesabaran dan tanpa mengeluh ia menerima semua ini sebagai kehendak Tuhan. Akan tetapi, masih ada satu cobaan yang lebih pahit baginya, selama tahun 1784-1785 ia melalui suatu “malam gelap jiwa” yang mengerikan. Ia diserbu dengan serangan-serangan yang meruntuhkan  iman dan yang melawan setiap kebajikan. Ia juga dilemahkan oleh keberatan-keberatan dan ketakutan sia-sia serta dikunjungi oleh khayalan sesat yang mengerikan. Setelah delapan belas bulan penyiksaan pun berakhir, yang selama itu sering pula diselingi oleh suatu ektase dan mukjizat.

AKHIR HIDUP ALFONSUS

Akhirnya Alfonsus meninggal dunia dengan tenang di Pagani, dekat Napoli, Italia pada tahun 1787 dalam usia sembilan puluh satu tahun. Alfonsus dibeatifikasi pada tahun 1816, dan dikanonisasi pada tahun 1839, serta dinyatakan sebagai Pujangga Gereja pada tahun 1871.

Santo Alfonsus sungguh seorang uskup yang gigih memperbaharui cara hidup para imam dan umat, sekaligus Pujangga Gereja yang ulung. Semoga teladan hidupnya dapat membawa kita kepada pengenalan akan Kristus yang merupakan puncak dari teologi dan menjadikan kita hambanya yang rendah hati.

(Sumber: Buttler, The Lives of The Saints, Volume III dan sumber-sumber lainnya)

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting