User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Kelahiran dan Masa Kecilnya

Pada suatu hari di tahun 1869, dalam sebuah keluarga di Desa Darfur, Sudan, Afrika lahirlah seorang bayi perempuan yang mungil dan manis. Bayi itu sangat dikasihi oleh seluruh keluarganya. Namun, rupanya kehidupan bayi perempuan ini di kemudian hari tidaklah semanis yang diharapkan.

Tahun-tahun berlalu, tak terasa bayi mungil tadi telah tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang lincah. Suatu saat di tahun 1878, saat anak perempuan itu sedang bermain bersama temannya, datang dua orang pedagang budak yang menyamar sebagai pengembara. Mereka menculik gadis kecil itu dan membawanya untuk dijual sebagai budak belian. Para penculik membawanya berjalan jauh sampai kaki anak itu terluka. Rasa takut yang mencekam dan penderitaan-penderitaan yang dialaminya menghapus sebagian ingatannya. Ia bahkan lupa akan namanya sendiri! Ketika para penculik memaksanya menyebutkan namanya ia tak dapat mengatakannya. Akhirnya, para penculik memberinya nama “Bakhita”, yang berarti “beruntung”. Bakhita diperjualbelikan berulangkali di pasar-pasar El Obeid dan Khartoum. Ia mengalami penghinaan dan penderitaan akibat perbudakan, baik secara fisik maupun secara moral.

Penderitaan sebagai Budak Belian

Bakhita mengalami penderitaan yang luar biasa sebagai seorang budak belian, apalagi di usianya yang masih begitu muda: ia tak pernah mendapatkan makanan yang cukup dan layak; ia tidur tanpa alas apa pun; ia digabungkan dengan budak-budak lainnya dan harus berjalan jauh melewati hutan, bukit, dan lembah sampai tiba di pasar-pasar tempat mereka akan dijual. Semua ini membuat Bakhita seringkali menangis seorang diri dan dalam tidurnya ia sering bermimpi tentang ibu dan desanya.

Dalam penderitaannya itu, Bakhita berkenalan dengan seorang gadis muda yang kira-kira seusia dengannya. Mereka akhirnya menjadi sahabat. Suatu hari mereka mencoba melarikan diri, namun sayang, usaha itu tidak berhasil dan mereka tertangkap kembali oleh para pedagang budak. Kembali Bakhita harus mengalami penghinaan, siksaan, dan perlakuan-perlakuan kasar. Pernah ia tinggal dalam sebuah keluarga keturunan Arab. Awalnya ia mengalami kehidupan yang cukup baik, namun suatu hari kelalaiannya menyebabkan anak majikannya marah dan menyiksa Bakhita dengan cambukan dan tendangan bertubi-tubi sampai Bakhita tak dapat berjalan lagi. Ia tergeletak di tanah dalam keadaan hampir mati. Ia harus diangkat oleh para budak lainnya dan dibaringkan di atas tikar. Selama hampir satu bulan Bakhita tergeletak tak berdaya, tak ada yang memerhatikan dan merawatnya. Sungguh penderitaan yang amat mendalam dialami oleh gadis cilik itu. Karena dianggap tidak dapat menguntungkan lagi, maka Bakhita pun dijual kepada orang lain.

Kali ini Bakhita dijual kepada seorang jenderal Turki yang tinggal di Kordofan. Setiap hari nyonyanya menghukum Bakhita dengan lecutan cambuk dan pukulan-pukulan. Pada usia tiga belas tahun, Bakhita mengalami siksaan tatto yang mengerikan. Dalam kisah hidupnya Bakhita menuliskan pengalaman pahit itu. “Seorang wanita yang trampil dalam seni tatto datang ke rumah jenderal, dan nyonya kami berdiri di belakang kami dengan cemeti di tangan. Wanita itu membawa sepiring tepung putih, sepiring garam, dan sebuah pisau cukur. Ketika ia selesai membuat gambar-gambar, wanita itu mengambil pisau cukur dan menorehkannya di sepanjang garis-garis gambar. Garam ditaburkan di setiap luka, kecuali wajah saya. Akan tetapi enam gambar dilukis di payudara saya, dan lebih dari enam puluh gambar di perut dan tangan saya. Saya pikir saya akan segera mati, terutama ketika garam ditaburkan ke dalam luka-luka saya. Hanya karena mujizat Tuhanlah, maka saya tidak mati. Ia memersiapkan saya untuk hal-hal yang lebih baik.”

Penderitaan yang mengerikan itu membuat Bakhita kembali mengalami kesakitan yang luar biasa, ia terbaring lagi selama satu bulan sampai luka-lukanya mulai mengering. Namun, di sekujur tubuh Bakhita terlihat tatto yang menyerupai anyaman yang tak dapat hilang.

Perubahan-perubahan Mulai Terjadi

Dua tahun setelah melewati penderitaan yang tak terlukiskan itu kehidupan Bakhita akhirnya mulai mengalami perubahan. Jenderal Turki, sang majikan, harus kembali ke negaranya, maka ia pun menjual sebagian budaknya, termasuk Bakhita. Kali ini Bakhita dibeli oleh seorang Konsul Italia bernama Callisto Legnani. Ia bermaksud membeli budak yang paling muda untuk dibebaskan atau ditempatkan di lingkungan yang lebih baik. Karena alasan itulah, ia pun membeli Bakhita. Untuk pertama kalinya sejak ia diculik, Bakhita dengan gembira menyadari bahwa tidak seorang pun menggunakan cambuk ketika memberikan perintah kepadanya. Sebaliknya, ia diperlakukan dengan hangat dan ramah.

Di rumah Tuan Legnani, Bakhita merasakan damai, kehangatan, dan sukacita, meskipun kadang-kadang muncul kembali ingatan akan keluarganya yang mungkin tidak akan pernah dilihatnya lagi. Bakhita merasa bahagia karena ia dianggap sebagai seorang manusia dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Ia banyak belajar hal-hal baru yang selama ini tak pernah diperolehnya dari majikan-majikannya.

Pada tahun 1885 situasi politik menyebabkan Tuan Legnani harus kembali ke Italia. Bakhita diajak ikut serta dan tinggal bersama Tuan Legnani di Genoa. Suatu ketika sahabat Tuan Legnani yang bernama Tuan Augusto Michieli datang berkunjung bersama istrinya. Rupanya sang istri sangat menyukai Bakhita dan minta agar Tuan Legnani mau memberikan Bakhita kepada mereka. Karena mereka sangat berharap, akhirnya Tuan Legnani pun merelakan Bakhita untuk dibawa dan tinggal bersama “keluarga” barunya. Ia mengikuti “keluarga” barunya ke Zianigo. Ketika lahir Mimmina, puteri keluarga Michieli, Bakhita menjadi pengasuh dan temannya.

Tinggal bersama Suster-suster Canossian

Pada tahun 1888, Nyonya Michieli pindah ke Suakin, dekat Laut Merah untuk membantu pekerjaan suaminya. Mimmina dan Bakhita tetap tinggal di Italia. Nyonya Michieli menempatkan mereka di asrama yang dikelola oleh Suster-suster Canossian dari Institut Katekumen di Venice. Di sanalah Bakhita mengenal Tuhan yang “ada di hatinya tanpa ia ketahui siapa Ia sebenarnya”. Bakhita mulai mendapat pelajaran-pelajaran agama dan ia mulai merasakan kerinduan untuk menjadi anak Allah, mencintai dan menyembah Allah yang selama ini selalu ada dalam hidupnya. Bakhita merasakan tarikan yang begitu kuat untuk segera memberikan dirinya kepada Tuhan yang telah mencintainya lebih dahulu.

Maka, setelah belajar selama beberapa waktu, pada tanggal 9 Januari 1890, Bakhita menerima Sakramen Pembaptisan dan memperoleh nama baru: Yosefina. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan sukacitanya pada hari itu. Matanya yang bulat bersinar-sinar, menunjukkan sukacita yang amat mendalam. Sejak hari itu ia sering terlihat mencium bejana baptis sambil berkata, “Di sinilah, aku menjadi anak Allah!” Bakhita merasa inilah saat-saat terindah dalam hidupnya, ia menjadi anak Allah yang sangat dikasihi. Dengan bertambahnya hari, Bakhita semakin mencintai Tuhan dan semakin ingin lebih lagi mengenal Dia.

Suatu hari ketika Nyonya Michieli kembali dari Afrika untuk menjemput Mimmina dan Bakhita, Bakhita dengan tegas dan penuh keyakinan menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal bersama Suster-suster Canossian dan melayani Tuhan yang telah membuktikan begitu besar cinta-Nya kepadanya. Maka, akhirnya Bakhita pun berpisah dengan Mimmina yang juga sangat dikasihinya.

Menanggapi Panggilan Tuhan

Setelah melewati hari demi hari bersama para Suster Canossian, Bakhita mulai merasakan adanya kerinduan dalam hati untuk menyerahkan diri kepada Tuhan secara lebih utuh lagi. Ia bingung dengan apa yang dirasakannya itu. Timbul keraguan dalam hatinya apakah mungkin ia dapat menjadi seorang suster di sana. Bakhita pun terus berdoa dan akhirnya ia pergi kepada bapa pengakuan untuk menceritakan semua yang dirasakannya itu.

Setelah berbicara dengan bapa pengakuan dan mendapatkan peneguhan serta kepastian dalam hatinya, maka pada tahun 1893 Bakhita pun memulai masa novisiatnya di Venezia, Italia. Bakhita merasa sangat bahagia. Dengan tekun dan penuh semangat ia menjalani masa-masa novisiatnya itu. Bakhita mendapat tugas untuk memelajari katekismus dan merenungkan Injil, serta mendalami peraturan-peraturan. Tiga tahun kemudian, pada tanggal 8 Desember 1896, Sr. Bakhita mengucapkan kaulnya kepada Tuhan yang biasa ia sapa dengan sapaan manis “Tuan!” Setelah mengucapkan kaulnya, Sr. Bakhita ditugaskan di Schio. Dengan gembira dan penuh semangat ia pun berangkat untuk menjalankan tugasnya di sana.

Melayani dengan Kasih

Selama lima puluh tahun Sr. Bakhita tinggal bersama komunitasnya di Schio, Italia. Ia melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti memasak, menjahit, merenda, dan membukakan pintu. Jika sedang bertugas menjaga pintu, Sr. Bakhita akan dengan lembut menumpangkan tangannya yang hitam itu ke atas kepala anak-anak yang setiap hari datang untuk belajar di Sekolah Canossian dan mencurahkan perhatiannya kepada mereka. Karena kulitnya yang hitam legam, semua orang lebih suka memanggilnya “Mama Moretta” (Mama Hitam).

Suaranya yang hangat, dengan nada dan irama lagu daerah asalnya, menyenangkan hati anak-anak, menghibur mereka yang miskin dan menderita, serta membesarkan hati mereka yang datang mengetuk pintu institut.

Kerendahan hati, kesederhanaan, dan senyum yang senantiasa menghiasi wajahnya, membuat semua orang suka kepadanya. Saudari-saudarinya dalam komunitas mengagumi sikapnya yang menyenangkan dan penuh dengan kasih Tuhan. Ketika perang dunia I pecah pada tahun 1915, Sr. Bakhita mendapat izin untuk ikut melayani mereka yang menjadi korban perang itu. Dengan penuh kelembutan dan kasih ia mulai menghibur, merawat, dan memberikan perhatian kepada korban-korban yang terluka itu. Karena Sr. Bakhita adalah orang Afrika, maka banyak dari mereka yang dirawat ingin tahu mengapa ia sampai di Italia. Sr. Bakhita pun dengan penuh semangat menceritakan kisah pengalaman hidupnya dan kebaikan Tuhan yang ia terima kepada mereka.

Kisah hidupnya yang istimewa menarik minat banyak orang. Mereka sangat tertarik dan semakin kagum akan kebesaran Tuhan. Maka, pada tahun 1930 diterbitkanlah sebuah buku berjudul “Kisah Ajaib”, yang merupakan biografi dari Sr. Bakhita. Buku itu pun sangat mengesankan dan memikat hati banyak orang, sehingga harus dicetak berulang kali.

Jatuh Sakit dan Akhir Hidupnya

Sr. Bakhita semakin dikenal di mana-mana dan banyak orang mengundangnya untuk memberikan kesaksian hidupnya ini. Namun, usia yang semakin hari semakin bertambah membuat tubuh Sr. Bakhita tak luput dari sakit. Penyakit yang hebat mendera tubuhnya dan Sr. Bakhita harus tinggal di atas kursi roda. Kepada mereka yang menjenguknya serta menanyakan keadaannya, dengan tersenyum ia menjawab, “Seturut kehendak Tuanku.” Selama sakit, Sr. Bakhita tidak bisa lagi pergi melayani ke mana-mana dengan bebas. Ia harus dibantu untuk berjalan, namun semangat pelayanannya tidak memudar. Sr. Bakhita senantiasa berdoa bagi Gereja dan Afrika dari atas kursi rodanya. Itulah persembahan yang dapat ia berikan dalam penderitaannya.

Dalam penderitaannya yang hebat itu, seolah-olah Sr. Bakhita mengalami kembali masa-masa perbudakannya yang mengerikan. Lebih dari sekali ia memohon kepada perawat yang menjaganya, “Aku mohon, longgarkanlah rantainya … rantai ini sungguh berat!” Bunda Marialah yang datang membebaskannya dari penderitaannya. Menjelang ajal, Bakhita berseru, “Bunda Maria! Bunda Maria!” dan senyum di wajahnya menjadi bukti bahwa jiwanya pun telah berjumpa dengan Bunda Allah.

Setelah melewati penderitaan sakitnya itu, akhirnya Sr. Bakhita menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 8 Februari 1941 di Biara Canossian di Schio, didampingi oleh saudari-saudarinya yang berada di sekeliling pembaringannya. Jenazahnya disemayamkan di biara selama tiga hari. Orang banyak yang segera berdatangan takjub melihat tubuhnya yang tetap lemas dan tidak kaku. Para ibu mengangkat tangan Bakhita dan meletakkannya ke atas kepala anak-anak mereka, memohon berkat darinya.

Setelah wafatnya, banyak rahmat dan mujizat yang terjadi di berbagai tempat. Berita tentang kekudusannya tersebar ke seluruh benua. Ratusan surat diterima dari banyak orang yang doanya dikabulkan dengan memohon bantuan doa dari Sr. Bakhita. Maka, akhirnya Yosefina Bakhita dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 17 Mei 1992 dan dikanonisasi pada tanggal 1 Oktober 2000 oleh Paus yang sama. Hingga saat ini, St. Yosefina Bakhita adalah satu-satunya santa yang berasal dari Sudan. Pestanya dirayakan pada tanggal 17 Mei.

Teladan-teladan Hidup dari St. Bakhita

1. Penuh pengampunan

St. Bakhita tak pernah mendendam pada orang-orang yang telah menganiaya dan menyiksanya. Ia mengikuti dengan baik apa yang dilakukan Yesus di atas kayu salib, yaitu mengampuni semua orang yang telah menyakitinya. St. Bakhita selalu mengatakan, “Maafkan mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Sama dengan Yesus yang sangat ia cintai, St. Bakhita melakukan tindakan kasih yang besar dengan mengampuni.

2. Melayani bukan dilayani

Setelah ia dimerdekakan dari perbudakan, St. Bakhita memilih untuk menjadi pelayan bagi semua, demi cinta. Ia menempatkan dirinya di tempat yang terakhir dengan mengatakan, “Saya hanyalah seorang hamba.” Ia tak pernah menonjolkan diri, namun ia selalu ingin melayani tanpa pamrih. Ia selalu ingat bahwa Yesus juga mengatakan bahwa Ia datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Begitulah St. Bakhita mengikuti jejak Sang Guru untuk menjadi pelayan bagi semua orang.

3. Ketabahan dan kesabaran

St. Bakhita berhasil melewati penderitaannya dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Walaupun ia sangat menderita dan kesakitan, namun ia selalu tegar dan tabah. Ini adalah suatu rahmat besar dari Tuhan. Ketabahan dan kesabarannya ini akhirnya membuahkan sesuatu yang baik dan membawa berkat melimpah baginya dan bagi banyak orang.

4. Iman yang hidup

Walaupun awalnya St. Bakhita belum mengenal secara langsung Tuhan yang selalu menyertainya, namun ia selalu penuh kepercayaan dan iman bahwa hidupnya akan mengalami sesuatu yang baik. Dan setelah ia menjadi anak Allah, St. Bakhita semakin percaya dan tanpa ragu-ragu mengimani kebesaran dan kebaikan Tuhan. Ia memercayakan seluruh hidupnya kepada Tuhan dengan iman yang hidup. Ia percaya bahwa segala sesuatu akan dikerjakan oleh Tuhan bagi dirinya.

5. Kerendahan hati

St. Bakhita adalah orang yang rendah hati. Ia selalu menerima siapa saja yang datang kepadanya tanpa membeda-bedakan. Ia telah mengalami perlakuan yang buruk sebagai seorang budak, maka ia tidak mau membuat orang lain mengalami hal yang sama. Ia selalu mengasihi siapa saja dan tidak menyombongkan diri dengan kelebihan yang ada pada dirinya. Kerendahan hatinya ini membuat banyak orang kagum dan mengasihi dia.

"Bersoraklah, seluruh Afrika! Bakhita telah kembali kepadamu: seorang puteri Sudan, yang diperdagangkan dalam perbudakan seperti sebuah barang, namun tetap bebas: bebas dengan kebebasan para kudus." (Paus Yohanes Paulus II)

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting