User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

Menanggapi Panggilan Tuhan

Yohanes tumbuh menjadi remaja yang pandai dan cerdas. Dengan bantuan dari banyak orang yang bersimpati kepadanya, Yohanes pun dapat bersekolah di Castelnuovo. Ia adalah murid terbaik dari semua murid sekolahnya. Ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk suatu kelompok religius yang diberinya nama Kelompok Sukacita. Yohanes menjadi penggerak utama bagi teman-temannya. Kepribadiannya terbuka, dinamis, dan vitalitas hidupnya tinggi, namun kadang kala ia kurang sabar dan terbawa emosi. Pernah juga ia menekankan perbuatan baik, kebenaran serta keadilan bukan dengan kelemahlembutan, melainkan justru dengan tinjunya. 

Di sekolah itu Yohanes mengenal seorang anak bernama Luigi Comollo yang mempunyai sifat bertolak belakang dengan Yohanes. Ia adalah seorang yang lembut dan sabar. Yohanes sangat mengagumi kepribadian Luigi dan ia dapat belajar darinya. Maka Yohanes dan Luigi pun menjadi sahabat yang saling mendukung.

Setelah menyelesaikan sekolahnya pada usia 20 tahun, Yohanes Bosco mengambil keputusan yang amat penting dalam hidupnya: ia masuk Seminari Chieri. Ibunya menegaskan kepadanya untuk selalu setia kepada panggilannya dan jika ia ragu-ragu lebih baik diurungkannya saja niatnya itu daripada menjadi seorang imam yang lalai dan acuh. Nasihat ibunya itu diingat dan dihormati oleh Yohanes sepanjang hidupnya.

Tak disangkanya, Luigi Comollo menyusulnya beberapa bulan kemudian. Kepadanyalah, Yohanes mengutarakan semua cita-cita dan rencananya. Luigi sendiri tidak menyusun banyak rencana seperti Yohanes, ia merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir

Tahun berikutnya, pada tanggal 2 April 1839, hari Kamis sesudah Paskah, Luigi meninggal dunia karena demam. Yohanes amat berduka karena bagian dari dirinya yang berharga telah pergi. Namun ia juga bahagia karena ia tahu Luigi, sahabatnya, telah bersatu dengan Tuhan di surga.

 

Menjadi Imam

Pada tanggal 5 Juni 1841 Uskup kota Turin menahbiskan Yohanes Bosco menjadi seorang imam. Yohanes merasa amat bahagia, demikian juga Margarita. Anaknya yang dikasihinya telah ditahbiskan untuk mempersembahkan Tubuh dan Darah Penyelamatnya setiap hari di altar. Waktu itu usia Yohanes hampir 26 tahun.

Setelah ditahbiskan, Don Bosco bertugas di kota Turin di bawah bimbingan seorang imam yang saleh, Don Cafasso. Yohanes sangat prihatin dengan keadaan kaum muda di situ. Don Bosco melihat mereka bertaruh di pojok-pojok jalan, wajah mereka keras dan kaku, seolah-olah hendak mencapai segala keinginan mereka dengan jalan apa saja. Dekat dengan pasar kota, ia menjumpai pasar dengan pekerja-pekerja remaja. Di daerah sekitar Porta Palazzo, demikian ditulis oleh Don Bosco bertahun-tahun kemudian, berkerumun para penjaja barang, penyemir sepatu, anak-anak pengurus kandang, berbagai macam pedagang, pesuruh: semua kaum miskin papa yang dengan susah payah mencari penghidupannya dari hari ke hari. Anak-anak itu adalah korban dari dampak buruk revolusi industri. Masyarakat pedesaan berbondong-bondong datang ke kota untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, akibatnya jumlah pengangguran di kota semakin tinggi sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Hal yang paling menyentuh hati Don Bosco adalah ketika ia mengunjungi penjara. Ia menulis demikian: “Melihat begitu banyak anak, dari usia 12 hingga 18 tahun, semuanya dalam keadaan sehat, kuat, cerdas, digigiti serangga, kekurangan makanan, baik makanan rohani maupun jasmani, sungguh sesuatu yang amat mengerikan bagi saya.” Menghadapi keadaan seperti itu Don Bosco membuat suatu keputusan: “Saya harus, dengan segala prasarana yang ada, mencegah kehidupan para anak dan remaja itu berakhir di sini.”

 

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting