Print
Hits: 9026

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Santo Louis Martin dan Santa Marie-Azélie Guérin: Pasutri Kudus yang Melahirkan Orang Kudus

Keluarga Kristiani sejati adalah keluarga yang selalu menempatkan Allah di tengah-tengah kehidupan mereka dan mampu membawa anggota keluarganya kepada kekudusan. Mereka selalu mengutamakan kehendak Allah dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Mereka sadar bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk semua orang. Tidaklah mengherankan jika keluarga seperti ini akan dapat melahirkan orang-orang kudus.

Pasangan Louis Martin dengan Marie-Azélie Guérin adalah teladan bagi pasangan kristiani. Mereka mampu membuktikan bahwa kekudusan dalam hidup berkeluarga sangatlah mungkin terjadi, meskipun mereka masih hidup di tengah-tengah berbagai kesulitan dan penderitaan. Mereka selalu menempatkan Allah dalam kehidupan rumah tangganya. Mereka mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung jawab dan menanamkan benih-benih iman kristiani kepada anak-anaknya sejak mereka kecil. Jerih payah mereka ini pun akhirnya membuahkan hasil yang baik. Salah seorang anaknya, yaitu Thérèse, telah menjadi orang kudus besar yang dikenal dengan nama St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus dan dari Wajah Kudus atau St. Theresia dari Lisieux. Bahkan, mereka sendiri kini telah menjadi seorang beato dan beata.

masa muda beato Louis martin

Louis Joseph Aloys Stanislaus Martin lahir pada tanggal 22 Agustus 1823 di Bordeaux, Gironde—Perancis. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Pierre-François Martin dan Marie-Anne-Fanie Boureau. Ayahnya adalah seorang militer yang sering dipindahtugaskan. Lalu keluarganya menetap di Alençon dan ia mulai bersekolah di sana. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia tidak memilih karir di dunia militer seperti ayahnya, namun ia memilih untuk menjadi seorang pembuat jam. Pada tahun 1842, ia mulai belajar cara membuat jam di Rennes—Inggris. Di sana ia tinggal dengan sepupu ayahnya, Louis Bohard.

Pada bulan September 1843, Louis meninggalkan Rennes dan mulai magang di Strasburg. Di Strasburg, Louis tinggal bersama dan sekaligus magang di keluarga Mathey, salah seorang teman ayahnya yang sekaligus pembuat jam. Louis tinggal di Strasburg selama dua tahun. Kemudian, ia pergi ke Biara Kartusian di Pegunungan Alpen Swiss untuk bergabung di dalam komunitas tersebut. Salah satu syarat agar bisa diterima di dalam komunitas tersebut adalah bisa berbahasa Latin. Waktu itu Louis belum menguasai bahasa Latin, maka pimpinan biara menyarankan agar Louis belajar bahasa Latin terlebih dahulu. Maka, ia pulang kembali ke keluarganya di Alençon untuk belajar bahasa Latin. Setahun penuh ia belajar dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya ia terpaksa menyerah karena terserang suatu penyakit. Akhirnya, ia mengerti bahwa Tuhan memiliki rencana lain bagi dirinya dan ia melanjutkan kerja magangnya di Paris.

Bulan November 1850, Louis kembali ke Alençon sebagai ahli pembuat jam dan mendirikan sebuah toko bernama “Rue du Pont Neuf” di Paroki St. Pierre de Monsort, Alençon. Ia menjalankan usahanya ini dengan rajin dan jujur. Usahanya ini berjalan dengan sangat baik sehingga ia mampu membuka sebuah toko perhiasan. Karena rumahnya besar, maka ia mengajak kedua orang tuanya untuk tinggal bersama dengannya.

Meskipun usahanya berhasil, namun kehidupan kerohaniannya tetap dijaga dengan baik. Setiap hari Minggu ia menutup tokonya dan menggunakan hari tersebut hanya untuk Tuhan. Selain itu, ia juga terkenal sebagai pengusaha yang baik dan murah hati. Ia tidak pernah mengambil keuntungan dari para pelanggannya, meskipun mereka kaya raya. Ia juga sangat murah hati kepada para fakir miskin dan tidak pernah ragu-ragu untuk memberikan bantuan kepada mereka.

Pada tahun 1857 ia membeli sebuah paviliun di luar kota Alençon. Paviliun ini menjadi tempatnya menyepi. Ia senang pergi ke paviliun ini untuk membaca, berdoa, dan memancing (hasil pancingannya sering ia bagikan ke Biara St. Klara). Di halaman paviliunnya tersebut diletakkan patung Bunda Maria.

Selama hampir delapan tahun, Louis hidup tenang dalam kesendirian. Ia tidak berkeinginan untuk menikah dan hal ini membuat hati ibunya gusar. Ibunya mulai menceritakan kepadanya tentang seorang gadis bernama Zélie Guérin, seorang gadis yang mengajarinya cara membuat pakaian. Gadis inilah yang akhirnya mampu memikat hatinya dan menjadi istri yang sangat dikasihinya.

masa muda beata Marie-Azélie Guérin

Marie-Azélie Guérin dilahirkan di Gandelain, dekat St. Denis-sur-Sarthon, Orne, Perancis, pada tanggal 23 Desember 1831. Zélie adalah putri kedua dari pasangan Isidore Guérin dan Louise-Jeanne Macé. Sehari setelah kelahirannya, ia dibaptis di Gereja St. Denis sur Sarthon. Ayahnya adalah seorang tentara kerajaan. Tahun 1844 ayahnya pensiun dan seluruh keluarganya pindah ke Alençon. Zélie mempunyai seorang kakak perempuan bernama Marie-Louise yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Kakaknya ini menjadi seorang Suster Visitasi di Le Mans, Suster Marie-Dosithée. Selain itu, ia mempunyai seorang adik laki-laki bernama Isidore yang usianya terpaut sepuluh tahun darinya.

Zélie adalah seorang gadis dengan kehidupan kerohanian yang sangat baik. Hal ini diperolehnya dari pendidikan yang diterimanya dari para Suster Adorasi Abadi. Ia pernah melamar untuk menjadi seorang Suster Cintakasih dari St. Vincentius a Paulo. Namun, ia ditolak karena kesehatannya yang kurang baik—ia sering mengalami gangguan pernapasan dan sakit kepala (migren)—dan oleh pimpinan biara ia dinilai tidak memiliki panggilan hidup membiara. Zélie melihat penolakan ini sebagai tanda yang jelas bagi dirinya dan ia menerimanya dalam iman. Kemudian, ia berdoa kepada Tuhan, “Karena aku tidak cukup layak untuk menjadi mempelai-Mu seperti kakakku, maka aku akan menikah untuk memenuhi kehendak-Mu. Aku mohon kepada-Mu, berilah aku banyak anak, dan berkatilah mereka agar mereka mau membaktikan hidupnya hanya untuk-Mu.”

Zélie melanjutkan hidupnya dengan mengambil kursus membuat pakaian di Alençon. Ia menyelesaikan kursusnya dengan hasil yang sangat memuaskan. Di akhir tahun 1853 ia membuka sebuah toko pakaian di Alençon. Usahanya ini berjalan dengan sangat baik dan mampu menarik banyak orang untuk bekerja padanya. Zélie memiliki hubungan yang sangat baik dengan semua karyawannya. Ia menganggap mereka sebagai keluarganya sendiri. Zélie juga menunjukkan bahwa ia selalu siap untuk memerangi ketidakadilan dan menolong orang-orang yang sangat memerlukan pertolongan. Zélie selalu berusaha agar apa pun yang dilakukannya selalu berdasarkan Kitab Suci.

pertemuan pertama louis dan Zélie

Louis dan Zélie bertemu pertama kali di Jembatan St. Leonard pada bulan April 1858. Jembatan ini sering dilalui oleh Zélie. Suatu hari Zélie melintasi jembatan tersebut dan berpapasan dengan Louis. Zélie sangat terkesan dengan penampilan Louis, seorang pemuda yang mencerminkan sikap dan martabat seorang bangsawan. Lalu, Zélie mendengar suara di dalam hatinya, “Inilah dia yang Kusediakan bagimu.” Louis dan Zélie akhirnya berkenalan dan dengan cepat mereka dapat saling mencintai dan menghargai satu dengan yang lainnya.

kehidupan perkawinan louis dan Zélie

Tiga bulan setelah pertemuan pertama mereka, Louis dan Zélie memutuskan untuk menikah. Pada tanggal 12 Juli 1858, jam 10 malam, Louis dan Zélie menikah di catatan sipil. Dua jam kemudian pada tengah malam tanggal 13 Juli 1858, mereka mengucapkan janji setia pernikahan di Gereja Notre-Dame di hadapan Pastor Hurel, pastor paroki St. Leonard.

Kehidupan perkawinan yang mereka jalani berbeda dengan kehidupan perkawinan pada umumnya. Karena Louis dan Zélie dulu pernah berkeinginan untuk menjalani kehidupan membiara, maka mereka sepakat untuk tetap mempertahankan kemurnian mereka bagi Tuhan. Selama sepuluh bulan mereka menjalani kehidupan perkawinan yang seperti ini. Kemudian, karena bapa pengakuan mereka menyarankan mereka memerhatikan panggilan mereka sebagai orang tua, maka Louis dan Zélie mengubah pandangan mereka. Mereka pun hidup layaknya pasangan suami istri pada umumnya dan memutuskan untuk memiliki anak. Perkawinan mereka dikaruniai sembilan orang anak, walaupun hanya lima anak yang dapat bertahan hidup dan kelimanya menjadi suster. Kesembilan anak mereka adalah:

Louis sangat gembira dengan kelahiran anak-anaknya. Namun, ia juga mengalami kesedihan karena tiga dari anaknya meninggal sewaktu masih bayi. Kesedihan terbesar adalah saat kematian Hélène yang baru berusia lima tahun pada 22 Februari 1870. Louis merasa hatinya sangat hancur dan bertahun-tahun kemudian ia sering meratapi kematian anaknya ini.

Pada tahun yang sama, pada bulan April, Louis menjual tokonya kepada keponakannya, Adolphe Leriche. Bulan Juli 1871, Louis beserta seluruh keluarganya pindah ke rumah Zélie. Di tempat baru ini, Louis membantu usaha Zélie dengan semaksimal mungkin. Louis mengambil alih pembukuan dan ia sering bepergian untuk bertemu dengan para pelanggan. Ia juga mengawasi proses pengiriman barang pesanan dengan sangat teliti, bahkan ia mengeluarkan desain sendiri.

Supaya lebih dekat dengan anaknya, Louis memberikan “julukan” kepada masing-masing anaknya. Marie adalah permatanya, Pauline adalah mutiaranya, Céline adalah si pemberani dan malaikat pelindung, sedangkan Thérèse adalah ratu kecilnya.

Ketika Marie sakit tifus pada usia tiga belas tahun, Louis meluangkan banyak waktu untuk berada di samping tempat tidur Marie. Bahkan, ia melakukan ziarah rohani ke Basilika Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa dengan berjalan kaki sejauh 15 kilometer, untuk memohon kesembuhan Marie. Sekembalinya ke rumah, Bunda Maria menjawab doa-doanya dan Marie sembuh dari penyakitnya.

Selain mengurusi keluarga dan usahanya, Louis bergabung dalam komunitas St. Vincentius a Paulo dan mengurusi adorasi malam hari kepada Sakramen Mahakudus. Zélie bergabung dalam ordo ketiga Fransiskan dan sering mengunjungi orang-orang sakit dan miskin. Louis dan Zélie adalah pasangan yang terkenal aktif dalam berbagai kegiatan di parokinya. Mereka tak segan-segan memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan.

Louis juga suka melakukan ziarah rohani ke tempat suci. Dia pernah berziarah ke Lourdes, Chartres, Pontmain, Jerman, Austria, Roma, dan Konstantinopel. Selain itu, Louis dan Zélie juga rajin untuk retret pribadi. Louis sering retret pribadi di Biara Trapis terdekat di Mortagne, sedangkan Zélie sering retret pribadi di Biara St. Klara.

Kematian Zélie Martin

Tahun 1865, Zélie divonis dokter terkena kanker payudara. Sejak saat itu Zélie merasa bahwa hidupnya di dunia tidak lama lagi. Ia berdoa, “Jika Tuhan ingin menyembuhkan saya, saya akan sangat bahagia, karena jauh di lubuk hati, saya ingin hidup. Rasa sakit saya adalah meninggalkan suami dan anak-anak saya. Namun, jika saya tidak sembuh, itu mungkin karena saya akan lebih berguna jika saya pergi.”

Akhir tahun 1876, ketika Louis menyadari bahwa penyakit Zélie semakin parah, ia melepaskan hobi memancingnya untuk sementara waktu dan menemani Zélie. Bulan Juni 1877, Zélie berziarah ke Lourdes untuk memohon kesembuhan dan menaruh seluruh kepercayaannya kepada Tuhan. Namun, ia kembali dalam keadaan yang lebih buruk. Pada Jumat pertama di bulan Agustus, Zélie bersama Louis pergi ke Misa untuk terakhir kalinya. Setelah itu Louis hampir tidak pernah meninggalkannya. Pada malam tanggal 26 Agustus 1877 ia pergi ke Gereja Bunda Maria untuk meminta pastor memberikan Sakramen Perminyakan Orang Sakit dan Komuni Kudus kepada Zélie. Tanggal 28 Agustus 1877, pukul setengah dua belas tengah malam, Zélie meninggal dunia. Hari berikutnya Louis mengambil Thérèse kecil untuk mencium ibunya untuk terakhir kalinya.

Setelah kematian Zélie, Pauline, Marie, Theresia, dan Céline menjadi biarawati Karmelit satu demi satu bersama dengan sepupunya, Marie Guérin. Sedangkan, Leonie menjadi Suster Visitasi setelah sebelumnya mencoba kehidupan religius di Biara St. Klara.

Sebuah kehidupan baru di Lisieux

Untuk memenuhi keinginan istrinya, kurang dari tiga bulan setelah kematiannya, Louis dan kelima anaknya pindah ke Les Buissonnets di Lisieux, supaya dekat dengan kakak iparnya, Isidore Guérin dan istrinya (Céline). Louis tetap tinggal di Alençon selama dua minggu sampai rumah dan usahanya terjual. Namun, ia memutuskan untuk tidak menjual paviliunnya sehingga dia mempunyai tempat tinggal ketika ia kembali ke Alençon kelak.

Kehidupan di Buissonnets, rumah baru di Lisieux, terasa lebih keras dan tersembunyi daripada di Alençon. Louis, dibantu Marie untuk mengurus urusan rumah tangga, menerapkan cara hidup yang lebih keras mengenai ketepatan atau disiplin waktu dan sopan santun. Namun demikian, Louis sangat dihormati oleh kelima anaknya. Selain itu, Louis mulai kembali melakukan hobi memancingnya. Kadang kala Louis membawa Thérèse bersamanya dan hasil tangkapannya sering ia bagikan untuk para Suster Karmelit di sana.

Setiap sore, ketika cuaca sedang baik, ia sering berjalan-jalan ke gereja-gereja kota untuk melakukan kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Seringkali ia membawa Thérèse bersama dengannya. Ketika mereka mengunjungi Kapel Karmelit, Louis menjelaskan kepada Thérèse bahwa di balik terali tersebut terdapat para suster yang sedang berdoa. Selain itu, Louis masih senang membaca di ruang kerjanya dan melewatkan banyak waktunya di sana untuk bermeditasi dan berdoa.

Louis sering menghabiskan malam harinya bersama dengan kelima anaknya untuk bermain, membaca buku, menceritakan kisah-kisah tertentu (khususnya tentang surga) dan bernyanyi bersama. Di akhir malam itu, Louis selalu mengakhirinya dengan doa malam bersama kelima anaknya. Karena kesalehan hidup dari Louis ini, St. Theresia pernah mengatakan bahwa untuk mengetahui bagaimana orang-orang kudus berdoa, ia cukup melihat ayahnya yang sedang berdoa.

Louis juga aktif melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah. Setiap hari ia membantu menyiapkan Misa Kudus di parokinya, seperti yang biasa ia lakukan di Alençon. Dengan bantuan saudara iparnya, Louis mendirikan suatu komunitas baru yang bernama Komunitas Adorasi Malam Hari. Louis kembali aktif dalam komunitas St. Vincentius a Paulo. Salah satu kegiatan rutinnya adalah memberi sedekah kepada fakir miskin setiap hari Senin.

doa Zélie menjadi kenyataan

Ketika Thérèse mulai sekolah di Biara Benediktin, Pauline menyatakan keinginannya untuk masuk Biara Karmel di Lisieux. Louis memberikan ijin dengan senang hati kepadanya. Louis merasa senang karena doa Zélie mulai menjadi kenyataan, yaitu setiap anaknya akan membaktikan seluruh hidupnya hanya untuk Tuhan.

Suatu hari Louis mendapatkan suatu kabar yang sangat mengejutkan dari putri sulungnya, Marie. Marie meminta ijin kepadanya untuk mengikuti jejak Pauline masuk ke Biara Karmel di Lisieux. Louis tidak menyangka bahwa Marie akan masuk biara karena Marie tidak pernah menunjukkan ada ketertarikan untuk masuk biara. Selain itu, Louis juga tidak bisa membayangkan hidup tanpa Marie karena selama ini Marie selalu membantunya dalam mengurusi rumah tangga. Untuk hal ini, Marie berusaha menyakinkan Louis bahwa Céline akan bisa menggantikan posisinya dalam mengatur rumah tangga. Kemudian Louis berkata kepada Marie, “Tuhan tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih besar dari saya. Saya pikir kamu tidak akan pernah meninggalkanku!”

Sebelum Marie masuk Biara Karmel, Louis mengajak semua anaknya untuk berkunjung ke makam ibu mereka di Alençon. Saat mereka berada di makam itu, tiba-tiba Léonie memutuskan untuk masuk ke Biara St. Klara. Meskipun Louis merasa terkejut dengan kabar ini, namun ia mulai membiasakan diri mendengar kabar seperti ini. Namun sayang, Léonie hanya dapat bertahan selama dua bulan saja karena ia tidak sanggup mengikuti peraturan biara. Saat itu Marie sudah berada di Biara Karmel.

Saat Thérèse berusia empat belas tahun, ia meminta ijin ayahnya untuk masuk Biara Karmel di Lisieux. Mendengar kabar ini, Louis tidak terlalu terkejut. Bahkan, Louis berusaha agar Thérèse bisa mendapat ijin dari pimpinan Gereja (antara lain dengan menjumpai Bapa Suci) karena Thérèse belum cukup umur untuk masuk biara.

kesehatan louis memburuk

Setelah Thérèse masuk Biara Karmel, pada tahun 1888 Louis jatuh sakit. Ia terpaksa dirawat di Bon Sauveur, Caen. Suatu hari ketika kesehatannya sudah mulai membaik, Louis pergi memancing di dekat Alençon. Saat sedang memancing itu, tiba-tiba Louis disengat serangga beracun tepat di bagian belakang telinganya. Pada awalnya bekas sengatan tersebut hanya berupa titik hitam kecil yang tidak terlalu membawa masalah. Namun tahun-tahun berikutnya, bekas sengatan tersebut mengalami infeksi sehingga Louis harus mendapatkan berbagai perawatan. Sejak saat itu, kondisi kesehatan Louis semakin menurun.

Suatu hari Louis pergi ke Le Havre tanpa memberitahu siapa pun dan empat hari kemudian Céline dan pamannya menemukan Louis berada di sana dalam keadaan bingung. Louis memiliki ide untuk pensiun dan pergi menyendiri sehingga ia dapat hidup sebagai seorang pertapa. Dalam kebingungan itu, Louis memutuskan bahwa ia harus meletakkan urusan bisnis dalam rangka untuk mengamankan kebutuhan masa depan anak-anak perempuannya. Hal ini menyebabkan ia harus melakukan beberapa kunjungan ke Paris. Louis melakukan pemberesan bisnisnya dengan sangat memuaskan. Namun, ada beberapa kesempatan ketika Louis tidak kembali pada hari yang ditentukan dan kedua putrinya menjadi sangat khawatir, terutama saat ia membawa uang dalam jumlah besar.

Tanggal 10 Januari 1889, Louis menghadiri prosesi pemakaian jubah biara Thérèse. Tak lama setelah acara tersebut, Louis terkena penyakit stroke diikuti dengan arteriosklerosis otak yang menyebabkan ia kehilangan ingatan, kemampuan berbicara, dan halusinasi. Atas saran dari saudara iparnya, Isidore Guérin, Léonie dan Céline memutuskan untuk merawat ayahnya di Bon Sauveur, Caen pada tanggal 12 Februari 1889. Di rumah sakit tersebut, Louis menghabiskan banyak waktunya di kapel dan menerima Komuni Kudus setiap hari ketika dia merasa cukup sehat. Louis berbagi segala sesuatu yang diberikan kepadanya dengan pasien lain dan ia tidak pernah mengeluh meskipun ia merasa menderita karena dipisahkan dari keluarganya.

Setiap minggu, Léonie dan Céline mengunjungi ayah mereka di rumah sakit. Pada tanggal 10 Mei 1892, Louis dapat kembali ke Lisieux lagi. Saat itu Louis masih menderita stroke yang menyebabkan kakinya lumpuh dan hampir tidak dapat berbicara. Hal inilah yang membuat Léonie dan Céline memberanikan diri untuk membawa ayahnya pulang.

Pada tanggal 12 Mei 1892, Louis dibawa untuk mengunjungi anak-anaknya di Biara Karmel. Hari itu adalah hari terakhir Louis melihat ketiga anaknya tersebut. Setelah tinggal untuk sementara waktu dengan keluarga iparnya, Louis, Léonie, dan Céline pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil di dekat rumah iparnya tersebut. Pada bulan Juni 1893, Léonie memasuki Biara Visitasi di Caen lagi setelah sebelumnya ia harus dipulangkan karena sakit. Céline sendirian merawat ayahnya sampai kematiannya, namun ia tetap dibantu oleh keluarga iparnya.

Kematian louis martin

Pada bulan Mei 1894, Céline pergi ke Caen. Saat ia berada di sana, pamannya mengirimkan telegram yang mengatakan bahwa tanggal 27 Mei Louis terkena stroke serius yang menyebabkan lengan kirinya lumpuh. Mendengar kabar ini, Céline segera pulang. Saat itu Louis menerima Sakramen Perminyakan Orang Sakit. Bulan Juni Louis terkena serangan jantung yang serius. Sementara itu Céline masih berada di Katedral untuk mengikuti Misa. Pamannya segera memanggilnya dan ia berlari sepanjang perjalanan pulang karena takut kalau dia tidak bisa tiba pada waktunya. Louis tampak benar-benar kelelahan dan memiliki kesulitan besar dengan pernapasannya.

Tanggal 28 Juli Louis terkena serangan jantung kembali dan kembali ia menerima Sakramen Perminyakan Orang Sakit. Sejak saat itu Céline selalu menemani ayahnya dan ia berdoa kepada Yesus, Maria, dan Yusuf agar ayahnya dapat meninggal dunia dengan bahagia. Ketika Céline selesai berdoa, Louis memandangnya dengan penuh cinta dan rasa syukur. Lalu, Louis memejamkan matanya. Isidore dan Céline Guérin datang ke kamar Louis dan Isidore menekan bibir Louis beberapa kali dengan salib yang dibawanya. Saat itu napasnya telah menjadi sangat lemah. Pada hari Minggu 29 Juli 1894, Louis meninggal dunia. Isidore mengatakan bahwa ia belum pernah melihat kematian yang lebih damai daripada kematian Louis. Jenazah Louis dibawa kembali ke Lisieux dan dimakamkan pada tanggal 2 Agustus 1894 setelah Misa Requiem di Katedral.

Teladan hidup Louis dan Zélie martin

Louis dan Zélie adalah teladan kekudusan bagi keluarga-keluarga Kristiani. Di rumah, mereka selalu berusaha menciptakan suasana penuh iman dan sukacita. Mereka selalu berusaha agar anak-anak mereka menyadari bahwa mereka sangat dicintai dan melatih mereka melakukan kebajikan-kebajikan. Selain itu, ada beberapa kebiasaan yang dilakukan bersama-sama dalam keluarga Martin ini, antara lain:

Louis dan Zélie tidak dapat mengendalikan situasi apa yang akan mereka hadapi. Mereka tidak dapat menghindar dari berbagai tragedi dalam hidup, seperti perang Franco-Prussian di mana mereka harus menerima sembilan orang tentara Jerman di dalam rumah mereka; kematian keempat anaknya; penyakit yang mereka derita. Mereka juga tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab sebagai pemilik bisnis, suami istri, orang tua, dan pemerhati orang yang miskin dan menderita. Sumber kekuatan mereka terletak dari cara mereka menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka. Mereka menerima ketidakberdayaan mereka dan percaya bahwa hanya Tuhan yang berkuasa atas seluruh kehidupan mereka.

Louis dan Zélie tidak dinyatakan kudus karena St. Theresia, anaknya. Justru St. Theresia bisa menjadi orang kudus karena mereka. Louis dan Zélie menciptakan suatu lingkungan hidup yang dapat membawa anak-anaknya kepada kekudusan.

Gereja menggelari pasangan Louis dan Zélie Martin sebagai pasangan kudus untuk menunjukkan bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk semua orang Kristiani. Mereka adalah pahlawan-pahlawan dalam kehidupan sehari-hari. Almarhum Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Ke-heroik-an harus menjadi keseharian, dan keseharian harus menjadi sesuatu yang heroik.”

Pasangan Louis dan Zélie Martin dinyatakan "terhormat" pada tanggal 26 Maret 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II. Kemudian, Paus Benediktus XVI membeatifikasi pasangan ini pada Hari Misi Sedunia tanggal 19 Oktober 2008 di Basilika St. Theresia di Lisieux, Perancis oleh Kardinal Jose Saraiva Martins. Pada tanggal 18 October 2015, mereka digelarkan menjadi santo dan santa oleh Paus Fransiskus. Gereja memperingati pasangan Louis dan Zélie Martin setiap tanggal 12 Juli. Mereka menjadi pasangan suami istri pertama dalam sejarah Gereja yang digelarkan kudus sebagai sebuah pasangan.