Print
Hits: 24779

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Santa Rita lahir pada bulan Mei tahun 1381 di Rocca Porena, suatu desa kecil di daerah Ombrie, Italia. Orang-tuanya adalah orang gunung dan sudah cukup tua. Antonio, bekerja di ladang dan memelihara hutan di gunung; baginya hidup begitu sederhana dan keras. Bersama Anita, istrinya, mereka merupakan pasangan yang rukun. Orang-orang desa sering datang minta pertolongan mereka untuk mendamaikan perselisihan, sehingga mereka disebut gerbang perdamaian. Setelah menunggu kebahagiaan untuk memperoleh anak selama 12 tahun, akhirnya permohonan mereka terkabul. Anita melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Rita untuk menghormati Santa Margarita. Nama itu di kemudian hari menjadi sebuah nama besar.


Kawanan Lebah

Suatu han ketika bayi Rita tertidur dalam buaian kecilnya sementara kedua orang-tuanya bekerja di ladang, seorang penuai yang terluka tangannya pulang ke desa dengan tergesa-gesa untuk mengobati lukanya. Ketika ia mendengar dengungan halus, ia berhenti dan menemukan bayi Rita dikerumuni kawanan lebah. Segera ia menghampiri buaian itu, dan dengan melupakan rasa sakitnya ia mengusir lebah-Iebah itu dengan tangannya. Tetapi hal itu tidak berhasil, lebah-lebah itu malah mendekati wajah si bayi, masuk ke dalam mulutnya, kemudian keluar lagi. Anehnya si bayi tidak menangis karena lebah-lebah itu tidak menyakitinya. Petani yang keheranan itu melangkah mundur, dan ajaib, lukanya lenyap! Ia menceritakan peristiwa itu kepada orang-tua si bayi, dan kemudian ke seluruh desa.


Panggilan

Rita bertambah besar dan ia merupakan kesukaan bagi kedua orang-tuanya yang lanjut usia. Ia sering membantu ayahnya mempersiapkan kayu bakar dan mengambil air di mata air. Sebuah sudut kedil di dalam rumah dijadikan Rita sebagai termpat berdoa kepada Perawan Maria. Ia juga sangat mencintai St. Yohanes Pembaptis. Ia baik hati dan penuh perhatian terhadap sesama. Di dalam hatinya ia ingin menjadi seorang biarawati atau suster.

Karena sudah tua, orang-tuanya berusaha mencarikan suami bagi putri mereka. Suatu hari seorang pemuda bernama Paolo de Fernando datang ke rumah mereka. Di desa ia dikenal sebagai seorang yang suka berperang, dan ia ikut serta dalam perjuangan di daerahnya. Ia pemuda yang pemberani, namun cenderung brutal; ia juga Seorang pemabuk anggur. Ia sedang mempersiapkan pernikahannya, kata ayah Rita. “Gadis malang,” jerit hati Rita. Hal perkawinan tidak terlintas dalam pikirannya karena ia ingin memberikan hidupnya kepada Tuhan, dan ia sedang menunggu saat yang tepat untuk mengutarakan niatnya itu kepada kedua orangtuanya. Tetapi ayahnya memberitahukannya bahwa Paolo meminangnya. Ia protes, ia menangis, dan memohon. Ia tidak dapat menikah karena ia telah berjanji kepada Allah. Namun tak ada gunanya, sang ayah ingin menikahkannya agar Rita mempunyai seorang pelindung. Rita diharapkan untuk tetap tinggal dekat mereka, sehingga dapat merawat mereka di hari tuanya. Lagi pula Paolo seorang yang kasar, ia akan mempermalukan mereka jika ia menolak. Rita menangis, tetapi ia patuh. Ia bertanya-tanya apakah pengorbanan yang besar ini merupakan panggilan Tuhan untuk bersatu dengan salib-Nya.

Perkawinan dan perubahan

Perkawinan pun berlangsung, namun Paolo masih meneruskan kebiasaan lamanya: berperang, berkelahi dan pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Paolo seorang pemarah, dan beberapa kali ia memukuli Rita yang tak pernah mengeluh. Rita selalu menjawab pertanyaan kedua orang-tuanya, yang melihat penderitaan putrinya kanena tangannya yang memar itu, dengan mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh rasa lelah. Ia ingin suaminya berubah; ia tak hentihentinya mernohon pertobatan suaminya dengan bertekun dalam doa dan puasa.

Tak lama kemudian Rita pun mengandung, dan tampaknya Paolo semakin jarang marah. Ia terus berdoa... dan kejutan Rita melahirkan anak kembar, yang kemudian diberi nama: Santiago Antonio dan Paolo Mario. Gembira memperoleh dua orang putra, Paolo menjadi tenang. Akhimya kehidupan berkeluarga yang bahagia diperoleh Rita. Putra-putranya tumbuh besar, namun mereka adalah anak-anak yang tidak tenang dan sering berkelahi. Rita melihat bahwa mereka mempunyai sifat pemberontak.

Suatu malam di musim dingin mereka sedang menunggu Paolo untuk makan malam. Paolo terlambat pulang. Malam semakin larut; rasa cemas mulai timbul. Tengah malam seorang tetangga datang dalam keadaan shock dengan membawa berita bahwa Paolo diserang dan dianiaya orang dekat air terjun. Segera Rita, sang tetangga, dan si kembar bergegas ke tempat kejadian melalui jalan setapak. Sang tetangga bercerita kepada Rita, “Ia mengampuni penyerangnya, ia berdoa bagimu, bagi kedua putranya, dan ia juga telah menyerahkan nyawanya kepada Allah.” Akhirnya mayat sang suami ditemukan. Rita sungguh galau melihat jasad suaminya yang rusak, tetapi ia bersyukur bahwa suaminya mati sebagai orang Kristen.


Harga sebuah pengampunan

Kehidupan kembali berjalan, si kembar mendampingi ibu mereka. Mereka mengerjakan pekerjaan sehari-hari, tetapi mereka juga terus menerus menegaskan, “Kita harus mendapatkan mereka yang telah membunuh ayah.” Bagi mereka tiada kata lain selain balas dendam. Meskipun Rita berusaha menasihati mereka untuk mengampuni, namun tidak ada gunanya. Karena ingin menyelamatkan jiwa kedua putra-kembarnya, Rita berdoa, “Tuhan, lebih baik bawalah mereka bersama-Mu daripada membiarkan mereka menjadi pembunuh.”

Beberapa bulan berlalu. Suatu malam Santiago demam, ia terbaring lemah; Rita merawatnya. Tetapi kesehatannya menurun drastis, dan ia sangat menderita. Beberapa saat kemudian saudaranya menunjukkan gejala yang sama. Sang ibu merawat mereka siang dan malam, ia berdoa tanpa henti, mengusahakan kesembuhan mereka. Namun seakan-akan tak ada gunanya, satu persatu mereka meninggal setelah menerima Sakramen Perminyakan dan mengampuni pembunuh ayahnya.

Panggilan pertama

Kemudian Rita kembali menjadi seorang diri; hancur namun teguh percaya pada kebaikan Allah. Ia ingin menjalani panggilan awalnya menjadi seorang biarawati. Segera Rita mendatangi biara Santa Maria Magdalena di Cascia, desa kecil dekat desanya. Kepala biara menerimanya. Ia mengenal Rita karena semua orang membicarakan cobaan-cobaan yang diterimanya, perubahan suaminya, dan kesalehan hidupnya. Wanita muda ini rindu menjadi seorang novis. Rita harus menunggu berjam-jam sambil berdoa... Namun tak dapat ditawar lagi, jawabannya ialah bahwa ia tidak akan pemah diterima dalam komunitas. Komunitas ini hanya diperuntukkan bagi gadis-gadis muda. Dengan sangat sedih Rita pulang ke rumah.

Beberapa waktu kemudian ia mengulangi permohonannya. Penolakan yang sama diterimanya, “Kami tidak menerima janda.” Walaupun kepala biara menyarankannya untuk mencoba ke biara lain, namun semangat yang menyala-nyala tetap mendorongnya untuk masuk ke biara Cascia. Untuk ketiga kalinya ia kembali memohon, dan kepala biara menjawab bahwa ia tidak mau menerima dirinya lagi. Rita berdoa tanpa henti, mohon kepada Tuhan untuk meneranginya. Suatu malam ketika ia sedang berdoa, ia mendengar panggilan dari luar, “Rita, Rita!” Bergegas ia membuka pintu, dan di ambang pintu ternyata tampak seorang pria berpakaian aneh, pakaian dan kulit binatang, berambut panjang, dan memberi isyarat untuk mengikutinya. Pria yang agak aneh itu tidak lain adalah St. Yohanes Pembaptis. Rita begitu terpesona, namun ia percaya dan mengikutinya. Akhimya mereka pun tiba di dekat bukit karang Rocca Porena, dan tanah di bawah kaki mereka terbuka; mereka sekarang berada di tepi jurang yang dalam. Lalu tampaklah Rita bersama tiga orang penunjuk jalan, menyusuri jalan setapak di gunung. Penunjuk jalan itu adalah: St. Yohanes Pembaptis, St. Agustinus, dan St. Nicolas dari Tolentino. Rita tersadar beberapa saat ke mudian dan menemukan dirinya berada seorang diri di dalam biara Santa Maria Magdalena, yang seluruh pintunya dalam keadaan terkunci. Para biarawati terheran-heran menemukannya dalam ruang paduan suara, sedang meluap-luap memuji Allah. Setelah memeriksa pintu-pintu, kepala biara tunduk pada kehendak ilahi dan rela menerima Rita sebagai novis.


Hidup bersatu dengan Yesus

Novisiat, suatu masa yang penuh kegembiraan sekaligus juga ujian dalam segala hal. Ia mengucapkan janjinya kepada Tuhan. Kedermawanannya tidak pudar; kebaikan dan kesalehannya terkenal di antara orang-orang miskin. Ia mengenakan ikat pinggang yang dilapisi duri di bawah bajunya, ia tidak ragu-ragu untuk berdisiplin melawan iblis. Suster atasannya kerapkali memperlakukan dirinya dengan keras, seperti di antaranya: menyuruh Rita untuk menyirami sebuah ranting kering yang ditanam di tanah setiap hari. Rita melakukannya dengan patuh.

Suatu malam terjadi kegaduhan di biara, dua orang suster terheran-heran oleh suatu peristiwa ajaib. Mereka mengagumi buah anggur yang tumbuh dan cabang kering yang disirami Rita setiap pagi-sore. Padahal tadi pagi cabang itu masih berupa kayu kering dan keras! Seluruh komunitas pun bersyukur kepada Tuhan.

Kabar itu tersiar ke seluruh daerah. Rita meningkatkan doanya. Ia mempunyai firasat mengenai kebutuhan akan jalan salib, yang ia lakukan dalam bilik kecilnya, bahkan sebelum praktek itu terkenal.

Penyangkalan dirinya begitu kuat, sampai suatu hari ia pernah ditemukan tak sadarkan diri. Ia begitu rindu untuk bersatu dengan Yesus. Suatu hari Kristus menjawab kerinduannya dan menganugerahi rahmat istimewa padanya berupa stigmata yang menyakitkan dan hina di dahinya, berbentuk luka bekas tusukan duri. Luka itu menyebarkan bau busuk sehingga Rita mengundurkan diri dari kehidupan komunitas; ia makan di biliknya, dan pada waktu di kapel ia berdiri di belakang.


Ziarah

Tahun 1450 Paus Nicolas II mengumumkan Tahun Suci dan menganjurkan ziarah ke Roma. Komunitas memutuskan untuk mengirim utusan; Rita ingin ikut dalam kelompok tersebut. Kepala biara mengijinkannya dengan syarat luka di dahinya sembuh. Beberapa hari sebelum berangkat lukanya hilang.

Perjalanan itu menyakitkan dan berat, sebab Rita sudah semakin tua. Saat itu ia berusia 60 tahun dan tubuhnya menjadi begitu lemah akibat banyak penyangkalan diri. Tidur pun sekadarnya, cuaca buruk dan banyak terjadi pertemuan-pertemuan yang tidak diharapkannya. Ia menyemangati para biarawati untuk menyerahkan seluruh keadaan kepada kehendak ilahi. Akhirnya kelompok kecil itu tiba di kota suci dalam keadaan lelah sekaligus penuh sukacita. Dengan penuh keriangan dan semangat yang berkobar, ia tinggal di Roma di tengah-tengah para peziarah.

Sekembalinya ke biara, luka di dahinya timbul kembali. Walaupun ia telah menarik diri, namun tetap saja nama Rita tersebar ke seluruh daerah; ini menarik orang-orang datang ke biara, untuk sekedar melihatnya, untuk menceritakan kepedihannya, untuk mohon bantuan doanya. Rita tetap tidak menampakkan diri, namun ia berdoa bagi mereka semua. Salah seorang yang memperoleh kesembuhan adalah seorang remaja yang terbaring sejak ia berusia 2 tahun. Rita terus bertekun berdoa bagi orang lain sampai akhir hayatnya.
 

Hadiah terakhir

Suatu hari sepupunya yang sudah tua mengunjunginya. Rita memintanya untuk membawakan sekuntum mawar dan pohon mawar yang tumbuh di halaman rumah yang ditinggalkannya. Saat itu musim dingin dan salju ada di mana-mana, sehingga orang-orang mengira ia mengigau karena sudah mendekati ajal. Sepupunya lalu kembali ke desa. Dan sungguh ajaib sekuntum mawar merekah di tengah-tengah salju di kebun pada rumah Rita. Tanpa menunggu lagi ia membawa bunga mawar itu ke biara. Beberapa han kemudian Rita minta dibawakan buah ara dan pohon ara di rumahnya. Sepupunya melaksanakan keinginannya dan membawakan buah-buah ara yang ranum! Tanda-tanda ajaib tersebut merupakan hadiah dari Tuhan bagi Rita yang tinggal menunggu ajal.


Aroma kesucian

Di saat kematiannya lonceng-lonceng biara berdentang sendiri. Luka di dahinya, yang tadinya cukup lebar dan menyebarkan bau tak sedap, menutup; suatu aroma wangi yang lembut tersebar. Rita menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dalam damai, dikelilingi para biarawati.

Peti mati diletakkan di kapel, namun kemudian para suster memutuskan untuk menempatkan peti mati itu di bawah altar dekat salib, tempat di mana Rita menerima stigmatanya. Hari-hari berlalu, namun jasad Rita tetap utuh. Dan segenap penjuru orang-orang berdatangan ke biara, mereka membentuk suatu barisan yang tak terputus. Orang-orang datang mendoakan dia yang berkali-kali menembus kemustahilan, sehingga akhimya jenazahnya harus dipindahkan ke gereja di desanya. Paus Urbanus VIII membeatifikasi Rita pada tahun 1628, dan ia dikanonisasi pada tahun 1900 oleh Paus Leo XIII. Kemudian Gereja memutuskan untuk menghormati dan mempeningati dininya setiap tanggal 22 Mei, hari kelahirannya di surga, sebagai Santa Rita dan Cascia.

Santa Rita diperingati dengan prosesi, panji-panji, dan puji-pujian di Cascia setiap tanggal 22 Mei. Sampai sekarang orang-orang masih dapat mengagumi pokok anggur dan pohon mawar dalam taman di biaranya dulu, dan juga menemukan spesies lebah yang tidak ada di tempat lain.

Santa Rita sangat dipuja di Perancis Utara sampai ada beberapa gereja di sana yang menyediakan tempat khusus untuk berdoa kepadanya; tetapi tempat doa yang besar terdapat di Nice. Jika orang-orang menyalakan lilin untuk menghormati para kudus lainnya, untuk Santa Rita onang-orang membawakan dia bunga mawar. Begitulah hal itu dilakukan selama berabad-abad oleh para peziarah yang saleh untuk mengenang pohon mawar yang berbunga di tengah salju.

[Dominique Hanquart. Sumber: “Feu et Lumiere”, No. 139 -13F, April 1996]