Print
Hits: 10532

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Suatu hari di musim panas, tidak seperti biasanya di Universitas Oxford, banyak mahasiswa dan guru besar yang masih tetap tinggal di kampus (musim panas merupakan musim liburan tradisional bagi orang Eropa sampai dewasa mi). Tidak hanya itu, di pekarangan kampus juga terlihat sejumlah besar manusia yang mondar-mandir. Pada wajah mereka terlihat antusiasme tak tersembunyikan menantikan sesuatu. Apa sebenarnya yang mereka tunggu-tunggu? Segera sorak-sorai di luar menjelaskannya. Sebuah kereta berkilauan ditarik oleh empat ekor kuda putih yang tegap-tegap memasuki pintu gerbang pekarangan universitas. Sais kereta dengan lincah mengendalikan keretanya di antara kerumunan orang banyak sembari sesekali terpaksa berteriak kepada orang banyak untuk tidak menutupi jalan. Di dalam kereta sendiri terlihat seorang wanita anggun berusia parobaya sedang melambai-lambai kepada orang-orang itu. Tahun itu adalah tahun 1566 dan wanita di dalam kereta itu adalah Ratu Elisabeth yang kita kenal sekarang sebagai Ratu Elisabeth I, Ratu Inggnis yang naik tahta menggantikan ayahnya Raja Henry
VIII.

Mengenai Henry VIII dapat dikisahkan banyak hal. Sejarah menerangkan bahwa dialah yang pertama kali mendirikan Gereja Anglikan di Inggris. Keunikan gereja ini adalah bahwa pimpinan tertingginya ada di tangan Raja Inggris sendiri. Latar belakang berdirinya gereja ini adalah sebagai berikut: Raja Henry VIII yang telah menerima Sakramen Perkawinan secara sah dalam Gereja Katolik tiba-tiba suatu saat mengajukan permohonan kepada Paus di Roma untuk mengizinkannya menceraikan istrinya. Ternyata Raja telah jatuh cinta pada seorang wanita lain yang bernama Anna Boleyn. Pada waktu itu Paus tidak memberikan izin yang dimintanya itu. Henry VIII menjadi marah sekali. Kemudian ia menyatakan bahwa ia tidak mengakui Paus lagi sebagai pemimpin Gereja dan akhirnya mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin Gereja di Inggris. Tentu saja peristiwa ini menggegerkan Inggris.

Kegilaan ini ternyata tidak berhenti sampai di sana. Henry VIII ini benar-benar serius dalam hal ini. Setelah memutuskan hubungan dengan Roma, ia juga memerintahkan agar semua umat Katolik di Inggris, termasuk para uskup, imam, dan biarawan-biarawati, untuk mengakuinya sebagai pimpinan Gereja. Tidak ada ampun bagi mereka yang menentangnya. Semenjak itu mulailah tahun-tahun yang suram tatkala gereja-gereja dan biara-biara Katolik ditutup. Umat yang tetap setia kepada Paus dan Gereja Katolik dikejar-kejar untuk ditangkap dan diadili. Tidak sedikit yang kemudian dibunuh sebagai martir dalam tahun-tahun kegelapan ini, termasuk Santo Uskup John Fischer dan Santo Thomas More.

Henry VIII memang pada akhirnya menikahi Anna Boleyn dan dari istri keduanya ini juga ia mendapat keturunan, yakni Putri Elisabeth. Putri inilah yang akhirnya menjadi pewaris tahtanya dan yang sekarang sedang mengunjungi Universitas Oxford disambut oleh rakyatnya dengan meriah.

Apa gerangan tujuannya ke sana? Sebagai seorang ratu, ia tidak hanya mewarisi tahta ayahnya, melainkan juga gelar sebagai pemimpin Gereja Anglikan, agama baru itu. Ratu Elisabeth ini juga meneruskan usaha ayahnya untuk membasmi orang Katolik di Inggris dan mengembangkan agamanya sendiri. Kunjungan ke perguruan-perguruan tinggi dimaksudkannya untuk mencari benih-benih muda berbakat yang bersedia diangkatnya menjadi imam dalam agamanya. Kali ini pun demikian.

Salah satu ujian yang harus dijalani para calon adalah berpidato di hadapan Ratu. Walaupun Ratu hanya perlu mendengar dan memberikan penilaian, ia tidak merasa bahwa hal ini merupakan suatu tugas yang ringan baginya. Ia harus membiasakan diri untuk mendengarkan pidato-pidato yang sering kali membosankan. Kali ini pun sama saja, namun pada waktu seorang pemuda yang kelihatan cerdas dan berwibawa tampil ke depan untuk membawakan pidatonya, Ratu mulai menaruh minat dan tidak lagi bersandar pada kursinya. Ketika sang pemuda mengakhiri uraiannya yang sangat menarik itu, Ratu menyambutnya dengan tepuk tangan dan diikuti oleh semua yang hadir. “Siapa dia?” tanya Ratu kepada penasthatnya. “Edmund Campion,” jawab penasihatnya dengan lugas.

Edmund Campion, lahir di London pada tahun 1540. Ia adalah seorang yang paling Cakap di antara anggota-anggota senior universitas. Ia sangat dikagumi karena kemampuannya dalam bidang sastra dan berpidato. Kemampuan orasinya selalu mampu menarik dan menggerakkan hati mereka yang mendengarkannya. Ia berasal dan sebuah keluarga yang tidak terlalu memikirkan masalah keagamaan. Kedua orang tuanya telah lama meninggalkan iman Katolik dan menandatangani sumpah pengakuan supremasi Raja/Ratu Inggris sebagai pimpinan Gereja Inggris. Oleh karena itu, pada dasarnya Edmund tidak dibesarkan sebagai orang Katolik.

Pada tahun 1560, setelah ia berhasil mencapai gelar Bachelor of Arts (Sarjana Muda), ia menghadapi keputusan yang sulit. Ia harus melakukan sumpah supremasi atau menghentikan kehidupan belajar dan mengajar yang dicintainya. Karena hal inilah Edmund menggabungkan diri pada Gereja baru pimpinan Elisabeth itu dan menjadi seorang diakon. Setelah ia melakukan sumpah supremasi, ia melanjutkan kehidupan belajar dan mengajarnya. Dan sini dapat dilihat motivasi dan Edmund yang tidak murni.

Karena prestasi dan latar belakang serta kecerdasan dan Edmund Campion, ia diundang Ratu ke istana untuk diperkenalkan kepada dua orang penasehat yang sekaligus menjadi orang-orang kepercayaannya, yaitu Lord Leicester dan Sir William Cecil (Lord dan Sir adalah gelar kebangsaan Inggris). Di hadapan mereka Sang Ratu memuji kecerdasan dan loyalitas Edmund. Untuk bulan-bulan berikutnya, Edmund sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. Semakin banyak hal yang ingin ia baca, terutama tentang pemimpin-pemimpin Gereja zaman dahulu, sambil mempelajari teologi. Semakin banyak ia membaca semakin ia sadar bahwa Gereja yang didirikan oleh Elisabeth ini tidak mungkin merupakan Gereja yang didirikan oleh Kristus. Banyak teman-temannya yang mengetahui bahwa ia mulai cenderung kepada Gereja Katolik dan lebih dari seorang diantara mereka mendesak agar dia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan oleh Ratu karena hanya “suatu soal teologis yang tidak berarti.”

Tetapi Edmund bukan orang yang suka berhenti menghadapi kenyataan. Setelah bertahun-tahun bergulat dan beijuang, akhirnya ia mendapat bantuan dan seorang teman yang baik di Oxford, Gregory Martin, yang tengah belajar di seminari di Douai di Flandria dan yang akan ditahbiskan menjadi seorang imam katolik. Gregory sangat mengenal pribadi Edmund yang jujur dan luhur dan ia mendesak agar Edmund mendengar suara hatinya dan melakukan apa yang harus dilakukan menurut petunjuk studi dan doanya. Setelah membaca saran dan temannya itu, Edmund pun memutuskan untuk pindah ke Irlandia.


Irlandia Lalu...

Di Irlandia keraguan Edmund akan supremasi rohani Ratu Semakin besar dan ia mulai dikenal sebagai simpatisan Katolik. Bersamaan dengan itu, pengejaran dan penangkapan orang-orang yang condong ke Roma semakin ditingkatkan. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Edmund untuk dinobatkan menjadi “buronan yang dicari-cari.” Sambil terus menghindar, Edmund mulai mencari jalan kembali ke Inggris supaya dan sana ia bisa menyeberang kanal menuju ke negeri-negeri selatan Inggris.

Dengan keahliannya menyamar, dan juga atas jasa kenalan-kenalannya yang banyak, ia berhasil menyelundup kembali ke Inggris dan dari sana menyeberangi kanal menuju Francis.

Di Douai, Francis, ia bergabung dengan sekelompok pemuda Inggris yang setia kepada Paus. Bersama mereka ia mempersiapkan dirinya sebagai seorang siswa seminari untuk menjadi seorang imam Katolik. Edmund telah kembali ke pangkuan Gereja dan sekarang ia mempersiapkan dirinya untuk membawa iman ini kembali ke negerinya yang tercinta, Inggris. Tetapi masa penantiannya masih harus diperpanjang.

Setelah dua tahun di Douai, ia merasa terpanggil untuk menjadi seorang anggota Serikat Yesus. Rektor seminari waktu itu, Dr. William Allen, setelah melihat semangat dan kesungguhan Edmund, akhirnya mengizinkannya untuk pergi ke Roma.

Edmund diterima sebagai seorang Yesuit dan akhimya ditahbiskan sebagai imam. Sementara itu, di Inggris, iman Katolik kelihatannya hampir menemui ajalnya. Semakin banyak orang Katolik yang meninggalkan imannya dan mengucapkan Sumpah Supremasi, mengakui Sri Ratu sebagai kepala Gereja Inggris. Sedangkan mereka yang masih setia, kalau tidak berada di penjara, sudah lari meninggalkan Inggris menghindari pengejaran. Imam Katolik dilarang untuk mempersembahkan misa dan melakukan pelayanan dan banyak dari mereka yang telah ditangkap dan bahkan sebagian telah dibunuh sebagai martir. Hanya segelintir umat Katolik yang tersisa di Inggris. Kelihatannya memang sudah tibalah saatnya bagi Edmund untuk kembali ke Inggris untuk meneguhkan dan memberikan pelayanan dengan segala bakat dan kemampuan yang ada padanya.


Kembali untuk Menjadi Martir

Pada tahun 1975, Edmund bersama beberapa rekannya yang juga berkebangsaan Inggris dengan susah payah akhirnya berhasil masuk kembali ke Inggris. Mulailah karya pelayanan mereka kepada umat yang dilakukan secara tersembunyi dan diam-diam. Tidak jarang mereka harus menyamar dan ternyata mereka cukup ahli dalam hal itu. Dengan pelayanan mereka, banyak orang yang semula meninggalkan Gereja Katolik akhirnya kembali ke pangkuan Gereja, sedangkan mereka yang masih setia semakin diteguhkan. Lambat laun dampak yang begitu besar itu tercium oleh pemerintah. Namun semuanya itu tidak menjadikan mereka orang-orang yang paling dicari di Inggris sebelum Ten Reasons (sebuah buku kecil yang mencantumkan sepuluh argumen yang membenarkan Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja) buku yang luar biasa beraninya dari Pater Edmund Campion beredar di masyarakat.

Buku ini membuat pemerintah Inggris kebakaran jenggot. Mengapa? Sebab naskah itu dicetak. Padahal semua percetakan di seluruh negeri diawasi oleh pemerintah. Bagaimana mungkm tulisan yang meng-“hujat” Sri Ratu ini bisa dicetak dan disebarkan ke masyarakat? Mata-mata diperbanyak dan disebar ke mana-mana. Salah seorang dan mata-mata itu bernama George Eliot, seorang eks-katolik yang berkhianat. Sebagai seorang mantan Katolik yang memiliki beberapa kenalan Katolik yang setia, akhirnya ia berhasil mengendus jejak Pater Edmund Campion.

Setelah beberapa kali memastikan, ia tahu bahwa Pater Edmund Campion akan mempersembahkan Ekaristi di numah seorang janda yang ia kenal baik. Dengan buru-buru ia menyuruh seseorang untuk memberitahukan polisi akan kehadiran buronan yang paling dicari-cari itu. Setelah itu, untuk melihat segala kemungkinan, ia menyelinap masuk ke tengah-tengah umat dan dengan kesalehan yang dibuat-buat mengikuti Ekaristi yang dipersembahkan oleh Pater Edmund Campion. Selesai Ekaristi ia menyelinap ke luar, bergabung dengan gerombolan orang yang datang untuk menangkap Pater Campion. Rumah nyonya itu pun digedor dengan keras.

Pater Edmund Campion dan dua orang imam lainnya yang masih berada di dalam rumah itu segera diantar oleh tuan rumah di dalam sebuah lubang persembunyian. Namun lubang persembunyian itu akhirnya berhasil diketemukan oleh para pengejar dan ketiga imam itu pun ditangkap dan dibawa ke London untuk diadili. Jalan kemartiran bagi Pater Edmund Campion telah terbentang dan tidak ada jalan untuk kembali.


Kurban Bagi Inggris

Hari-hari selanjutnya bagi Pater Edmund Campion, dilaluinya dalam penderitaan. Di penjaranya yang dikenal orang dengan nama “Tower of London”, ia menjalani berbagai siksaan yang mengerikan, antara lain oleh alat penegang yang memisahkan sendi-sendi dengan tulang-tulangnya. Ia pun menjalani proses pengadilan yang dipenuhi intrik dan fitnahan dan saksi-saksi palsu, Pater Edmund Campion tetap tenang dan tidak gentar. Pembawaannya yang penuh wibawa memberikan kesan mendalam bagi banyak orang yang melihatnya pada waktu itu. Banyak dan mereka yang kemudian kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Salah seorang dan mereka adalah penjaga sel tempat Pater Edmund Campion disekap. Dan mulutnyalah kita mengetahui bahwa sebelum menjalani hukuman mati yang diputuskan oleh para hakim, ia sempat menerima seorang tamu:
George Eliot yang mengkhianatinya. Dalam percakapan itu, Pater Edmund Campion sungguh-sungguh mengampuninya, namun nasib selanjutnya dan George Eliot tidaklah diketahui lagi.

Pater Edmund Campion dibunuh dengan cara hukuman terkeji di Inggris waktu itu. Ia digantung, diturunkan sebelum mati tercekik, lalu perutnya dibelah, dikeluarkan isinya, Setelah itu baru kepalanya dipenggal dan badannya dipotong menjadi empat bagian.

Pater Edmund Campion dikhianati, ditangkap, dianiaya, diadili, dan akhirnya dibunuh secara tidak adil seperti yang telah dialami oleh Yesus, Tuhan yang diabdinya. Kata-kata terakhirnya adalah berkat dan pengampunan untuk orang yang berada di balik segala ketidakadilan yang dialaminya, “Saya berdoa untuk Elisabeth, ratu tuan (kepada algojonya) dan ratu saya. Harapan saya, semoga Baginda lama memerintah negeri ini dengan tenang dan sejahtera.”

Ia telah wafat demi Kristus, demi imannya, dan demi pertobatan negerinya, Inggris. Kelangsungan sebuah Inggris tidak akan lepas dan doa-doa suci orang kudus besar mi yang saat ini telah menikmati kemuliaan abadi bersama Allah yang mengasihi dunia. Santo Edmund Campion, doakanlah kami. (Edmund Campion digelarkan “santo” oleh Paus Paulus VI pada tanggal 25 Oktober 1970).