User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

Dalam kisah penciptaan alam semesta, panggilan Abraham dan pemilihan bangsa Israel menjadi bangsa pilihan-Nya tercatat dengan tinta emas di dalam sebuah lembaran perjanjian yang sudah menyejarah sejalan dengan penyelenggaraan Allah sendiri. Terjalin dalam kasih sebuah relasi antara Allah dan umat pilihan-Nya yang melahirkan konsekuensi dalam hubungan: Allah menjadi Bapa bangsa Israel, dan sebaliknya bangsa Israel menjadi anak-anak-Nya (bdk. Kel 20:1-17). Sebuah relasi Bapa-Anak. Kesetian dan hormat dirangkum dalam cinta, dan itu menjadi pegangan bersama.  Ada kasih dan kehidupan di dalamnya. Relasi itu dijiwai oleh Roh dan Kebenaran dalam Cinta Kasih. Terbentuklah sejarah milik bersama, yakni sejarah keselamatan di mana terlihat inisiatif kepedulian dan belarasa Allah terhadap umat manusia. Dan, ini terus berlangsung karena kasih setia Allah sendiri.

Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Hakikat dan kodrat Allah adalah kasih, maka seluruh keberpihakan kepada manusia dalam hidup ini didasarkan pada cinta kasih. Allah mengasihi kita apa adanya dan menghendaki yang terbaik bagi kita sesuai dengan rancangan dan rencana-Nya. Cinta Allah itu nyata dan tidak terbatas. Muatannya tentu tidak lain adalah cinta kasih itu sendiri yang tetap dan selalu up to date. Artinya, kita bisa mengalami cinta-Nya dalam lingkup hidup kita yang beragam dimensi. Dan, Cinta itu tidak terbingkai oleh batas ruang dan waktu karena dia itu di atas segalanya. Kita merindukan-Nya, mengharapkan-Nya, dan berusaha walau dengan jatuh bangun  mengimani dan mempercayakan hidup kita sepenuhnya hanya kepada-Nya. Iman kita kepada-Nya senantiasa kita hayati dan selalu berupaya menghidupkannya. Kekuatan Kasih sungguh dahsyat karena walau menakutkan (tremendum), namun sekaligus memikat (fascinosum), malahan mendamaikan dan menyenangkan. Itulah sukacita di dalam pegalaman akan Cinta Kasih itu.

Kitab Kidung Agung dalam kedelapan babnya, melukiskan kedahsyatan Cinta Tuhan kepada umat-Nya. Cinta-Nya membuat Tuhan membuat apa saja bagi kita umat-Nya. Sementara itu, Rasul Paulus menyuarakan kebenaran profetis tentang cinta kasih itu.  Jika tanpa cinta aku bukan apa-apa; aku bagai gong yang gemerincing; tiada bermakna apa-apa. Bagi Paulus, Cinta adalah Tuhan sendiri. Dari dan oleh-Nya Paulus menemukan makna hidupnya. Tanpa cinta berarti tanpa Tuhan. Tidak mencintai sama dengan menyangkal Tuhan. Tanpa cinta hidup kita pun tidak bermakna. Kelahiran menjadi sebuah malapetaka dan kematian menjadi sebuah kebinasaan. Dalam dan dengan cinta, semuanya menjadi indah dan bermakna pada waktunya. Allah menuntun manusia masuk di dalam samudera makna yang diberikan-Nya sendiri sejak awal mula. Awal dalam sejarah adalah Pewahyuan Yesus yang menjelma.

Penginjil Yohanes menulis: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah” (Yoh 1:1-2). Kembali kepada keseharian di tengah dunia. Yang dikatakan dan sering didengar adalah “mulanya biasa saja”. Kita hidup dalam kondisi apa adanya. Tetapi, ini bukan sebuah takdir, bukan pula sebuah nasib. Kita meyakini bahwa hidup kita selalu dalam penyelenggaraan Tuhan. Hidup kita ada dalam tangan kasih Tuhan. Ia membingkai hidup kita. Penginjil Yohanes menunjukkan kepada kita bahwa “pada mulanya adalah Firman”. Dalam alur refleksi ini, kita semua seakan-akan berada di serambi depan Prolog Injil Yohanes. Sebelum dia mengajak kita memasuki ruang Injilnya, kita diminta masuk dalam “hadirat Allah” yang mengagumkan. Kita perlu menyadari bahwa jauh sebelum terciptanya segala sesuatu yang ada, hanya ada suatu “keabadiaan”. “Pada mulanya” berarti juga awal dalam waktu, tetapi lebih hakiki, lebih mendalam “pada hakikatnya”. Yang ada di dalam keabadiaan itu adalah Firman. Keheningan dalam imanlah yang kita andalkan agar memampukan kita mengalami dan merasakan “Keabadian” Titik Alfa itu dan coba mendaraskan sabda ini dalam hati. Terasa gema dan gaung suara Penginjil ketika sabda yang sama diucapkannya dan menjadikan itu sebagai sebuah warisan iman bagi kita, maka ditulisnya di jenang pintu pondok Prolog Injilnya.

Sekali lagi kita mau merasakan bagaimana Rasul Yohanes mengungkapkan sebuah pilar iman yang mendalam dan berakar, yang tentunya itu merupakan pula sebuah kesaksian imannya yang tertuang dan terbaca di dalam Prolog itu sendiri (lih. Yoh 1:1-18). Maka, Prolog yang sarat makna dan pesan ini berperan sebagai “pembukaan” dari seluruh Injil. Makna dan pesan terbingkai dalam etalase butir-butir iman akan Allah dan Sabda (Kebijaksanaan) yang adalah isi Injil yang dilukiskannya secara puitis. Inilah sebuah hasil kontemplasi penginjil akan Firman itu. Penegasan iman inilah yang mengawali seluruh proses penulisan tentang Allah dan Sabda yang kekal dan abadi.

Yesus sebagai Sabda ada pada awal mula, dari keabadian, artinya kehadiran abadi Sabda dalam Allah. Sang Sabda berada dalam keadaan-Nya yang absolut dan kekal. Pada awal mula, sebelum segala sesuatu ada, Persekutuan (Communio) sudah ada, yaitu antara Allah dan Sabda (Logos) dan Pribadi Ketiga Tritunggal Maha Kudus. Persekutuan Ilahi inidalam satu kesatuannya dan secara bersamamemiliki kuasa dan daya untuk menciptakan, mengubah, dan memperbarui. Alur kasih dan kuasa persekutuan ilahi terbaca dengan iman dalam sejarah keselamatan umat manusia.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting