Print
Hits: 3732

Audiensi Umum Tentang Doa Santa Perawan:

Tanpa Maria Tidak Ada Gereja

 

“Tidak mungkin berbicara mengenai Gereja jika Maria tidak hadir”. Demikianlah komentar Santo Chormatius dari Aquileia tentang Kisah Para Rasul yang diangkat oleh Bapa Suci pada Audiensi Umum di Lapangan Santo Petrus hari Rabu tanggal 14 Maret. Berikut ini adalah terjemahan dari pengajaran Paus yang ia sampaikan dalam bahasa Italia.


Saudara-saudari terkasih,

Pada katekese hari ini saya ingin memulai suatu pengajaran mengenai doa dalam Kisah Para Rasul dan Surat-surat Santo Paulus. Sebagaimana kita tahu, Santo Lukas mewariskan salah satu dari empat Injil kepada kita, yang dibaktikannya untuk menulis tentang kehidupan duniawi Yesus, tetapi ia juga mewariskan kepada kita suatu buku yang dapat disebut sebagai buku sejarah Gereja yang pertama, yaitu Kisah Para Rasul. Dalam kedua buku ini, doa merupakan suatu unsur yang menonjol, mulai dari doa Yesus sampai doa Maria, doa para murid, doa para wanita, dan doa komunitas Kristen. Permulaan sejarah Gereja ditentukan pertama-tama dan terutama oleh tindakan Roh Kudus yang mengubah hidup para Rasul menjadi saksi-saksi dari Dia yang telah bangkit, bahkan sampai memberi kesaksian dengan menumpahkan darah mereka dan oleh perkembangan pesat pewartaan Sabda Allah baik di Timur maupun di Barat.

Namun, sebelum pewartaan Injil tersebar luas, Lukas mencatat peristiwa Kenaikan dari Dia yang telah bangkit (bdk. Kis 1:6-9). Tuhan memberikan kepada para murid-Nya suatu program untuk membaktikan hidup mereka kepada penginjilan dan berkata, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Di Yerusalem, para Rasul - yang jumlahnya tinggal sebelas karena Yudas Iskariot sudah berkhianat - berkumpul di sebuah rumah untuk berdoa, dan secara khusus dalam doa ini mereka menantikan karunia yang dijanjikan oleh Kristus yang bangkit, yakni Roh Kudus.

Dalam konteks penantian inilah - antara Kenaikan dan Pentakosta - Santo Lukas menyebutkan Maria, ibu Yesus, dan para saudara-Nya untuk terakhir kalinya (ay.14). Kepada Maria, Lukas membaktikan permulaan Injilnya sejak pewartaan Malaikat sampai kepada kelahiran dan masa kanak-kanak Putera Allah yang menjadi manusia. Hidup duniawi Yesus dimulai dengan Maria, dan dengan Maria juga Gereja mengambil langkah pertamanya; kedua peristiwa ini (kelahiran Yesus dan Gereja) berlangsung dalam suasana pemusatan hati yang mendengarkan suara Allah. Maka, pada hari ini saya ingin merenungkan kehadiran sang Perawan yang penuh doa di tengah kumpulan para murid yang akan menjadi generasi pertama Gereja. Maria telah mengikuti seluruh perjalanan Puteranya sepanjang pewartaan-Nya di muka umum sampai ke kaki Salib, dan hari ini Maria juga tetap mengikuti seluruh perjalanan Gereja dengan doa-doanya yang hening. Pada saat pewartaan malaikat di rumah di Nasaret, Maria menerima warta itu dan menanggapi rencana Ilahi dengan menunjukkan penyerahannya yang penuh, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu” (bdk. Luk 1:38). Berkat sikap batinnya dalam mendengarkan, Maria dapat menafsirkan peristiwa hidupnya dengan tepat, dan dengan rendah hati mengakui bahwa Tuhanlah yang sedang bertindak.

Saat mengunjungi Elisabeth saudarinya, Maria meluapkan isi hatinya menjadi suatu doa pujian dan sukacita, suatu perayaan rahmat Ilahi yang memenuhi hati dan hidupnya, yang membuatnya menjadi Bunda Tuhan (Luk 1:46-55). Pujian, syukur, dan sukacita, dalam kidung Magnificat, Maria tidak hanya melihat apa yang dikerjakan Allah dalam hidupnya, tetapi juga apa yang telah dikerjakan Allah secara terus-menerus dalam sejarah manusia. Dalam tafsirannya yang terkenal mengenai Magnificat, Santo Ambrosius mengundang kita untuk memiliki semangat doa yang sama. Ia menulis: “Semoga jiwa Maria ada dalam diri setia kita untuk mengangungkan Tuhan, dan semoga semangat Maria ada dalam diri kita agar kita bersukacita dalam Allah” ((Expositio Evangelii secundum Lucam 2, 26: PL 15, 1561).

Maria juga hadir di Ruang Atas di Yerusalem, di “ruang atas di mana mereka (para murid Yesus) tinggal” (bdk. Kis 1:13), dalam suasana berdoa dan mendengarkan sebelum pintu-pintu terbuka dan mereka mulai mewartakan Kristus Tuhan kepada semua bangsa, dan mengajarkan kepada mereka segala yang telah Ia perintahkan (Mat 28:19-20). Titik perhentian perjalanan Maria - dari rumah di Nasaret sampai ke rumah di Yerusalem, melewati Salib dimana Puteranya mempercayakan dia kepada Rasul Yohanes - ditandai oleh kemampuan Maria untuk bertekun dalam suasana pemusatan hati kepada Allah, untuk merenungkan setiap peristiwa di hadapan Allah dan dalam keheningan hatinya (bdk. Luk 2: 19-51) dan untuk mengenali kehendak Allah didalamnya dan menerimanya secara batin dalam meditasi.

Kehadiran Bunda Allah bersama dengan kesebelas Rasul setelah Kenaikan Tuhan bukan sekedar peristiwa sejarah masa lalu tetapi juga memiliki nilai yang besar karena dalam kehadirannya ia berbagi miliknya yang paling berharga dengan para Rasul, yaitu: kenangan yang hidup akan Yesus dalam doa dan Maria juga berbagi dalam karya Yesus ini, yaitu untuk memelihara kenangan akan Yesus dan dengan demikian memelihara kehadiran-Nya.

Penyebutan terakhir Maria dalam dua tulisan Santo Lukas ini terjadi pada hari Sabat, hari dimana Allah beristirahat setelah penciptaan, hari keheningan setelah Yesus wafat dan menantikan Kebangkitan-Nya. Dari peristiwa inilah muncul tradisi hari Maria pada hari Sabtu. Dari Kenaikan Dia yang bangkit sampai kepada Pentakosta Kristen yang pertama, para Rasul dan Gereja berkumpul bersama dengan Maria untuk menantikan anugerah Roh Kudus, yang tanpa Roh ini mereka tidak dapat menjadi saksi. Maria yang dulu telah menerima Roh Kudus untuk mengandung Sabda yang menjadi daging, kini menantikan kembali Roh yang sama bersama dengan seluruh Gereja agar “Kristus menjadi nyata” (Gal 4:19) dalam hati setiap umat beriman.

Jika tidak ada Gereja tanpa Pentakosta, maka juga tidak akan ada Pentakosta tanpa Bunda Yesus karena ia menghayati suatu cara hidup yang khusus yang dialami Gereja setiap hari di bawah karya Roh Kudus. Santo Chromatius dari Aquileia menyampaikan komentar berikut atas peristiwa dalam Kisah Para Rasul ini, “Karena Gereja berkumpul di Ruang Atas bersama dengan Maria, Bunda Yesus, dan dengan saudara-saudara-Nya. Maka mustahillah untuk berbicara mengenai Gereja jika Maria, Bunda Tuhan, tidak hadir… Gereja Kristus adalah dimanapun juga Penjelmaan Kristus dari seorang Perawan diwartakan, dan dimanapun juga seorang Rasul, yang adalah saudara Tuhan, berkhotbah dan di sana  Injil diperdengarkan (Sermo 30, 1: SC 164,135).

Konsili Vatikan II ingin memberikan suatu tekanan khusus pada ikatan ini yang secara nyata terungkap dalam tindakan doa bersama antara Maria dan para Rasul di tempat yang sama sambil menantikan Roh Kudus. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium mengatakan bahwa, “Karena Allah berkenan tidak mempermaklumkan sakramen penyelamatan bangsa manusia secara meriah sebelum Ia mengutus Roh yang dijanjikan Kristus, maka kita melihat para Rasul menjelang hari Pentakosta ‘sehati berkanjang dalam doa bersama-sama dengan beberapa wanita, dan Maria, Bunda Yesus dan saudara-saudara-Nya (Kis 1:14); dan kita melihat pula Maria dengan doa-doanya memohon anugerah Roh, yang telah menaunginya pada peristiwa Kabar Sukacita” (no. 59). Tempat istimewa bagi Maria adalah Gereja, di mana dia “dihormati sebagai anggota termulia dan paling istimewa dalam Gereja, dan juga sebagai gambaran serta teladannya yang paling terpandang dalam iman dan cintakasih” (n.53).

Maka, menghormati Bunda Yesus dalam Gereja berarti belajar dari beliau untuk menjadi suatu komunitas yang berdoa, yakni komunitas yang berdoa ini merupakan salah satu unsur mendasar dalam gambaran pertama mengenai komunitas Kristen yang digambarkan oleh Kisah Para Rasul (bdk. 2:42). Doa seringkali lahir dari situasi-situasi sulit, dari masalah pribadi yang memaksa kita berlari pada Tuhan untuk memperoleh pencerahan, penghiburan dan pertolongan. Maria mengundang kita untuk membuka dimensi-dimensi doa, untuk tidak berbalik kepada Allah hanya di saat kita membutuhkan-Nya atau untuk kepentingan kita sendiri, tetapi untuk mengarahkan diri kepada-Nya dalam segala situasi, secara terus-menerus dan setia dengan “sehati dan sejiwa” (bdk. Kis 4:32).

Para sahabat terkasih, hidup manusia berlangsung dalam berbagai tahap, yang seringkali sulit dan penuh tuntutan, situasi semacam ini seringkali mengundang kita untuk membuat keputusan, penyangkalan diri, dan pengurbanan. Bunda Yesus ditempatkan oleh Tuhan dalam saat-saat yang menentukan bagi sejarah keselamatan dan ia tahu bagaimana ia harus menanggapi situasi ini dengan seluruh keberadaannya, kemampuan ini adalah buah dari ikatan mendalam dengan Allah yang berkembang dalam doa yang tekun dan mendalam.

Antara Jumat Sengsara dan Minggu Kebangkitan, Yesus mempercayakan murid yang terkasih, dan bersama dia juga seluruh komunitas para murid, kepada Bunda Maria (bdk. Yoh 19:26). Antara Kenaikan Tuhan dan Pentakosta, Bunda Allah berada bersama dengan dan dalam Gereja dalam doa (bdk. Kis 1:14). Sebagai Bunda Allah dan Bunda Gereja, Maria menjalankan keibuannya sampai akhir sejarah. Marilah kita mempercayakan kepadanya setiap tahapan dari kehidupan pribadi dan gerejani kita, bukan hanya tahap akhir dari perhentian kita di dunia ini saja. Maria mengajar kita tentang kebutuhan doa dan menunjukkan kepada kita bahwa kita hanya melalui ikatan cinta yang mendalam dan terus-menerus dengan Puteranyalah kita dapat dengan berani keluar dari “rumah kita”, keluar dari diri kita sendiri untuk menjangkau ujung-ujung bumi dan mewartakan Tuhan Yesus, sang Penyelamat dunia, di mana-mana.


(©L'Osservatore Romano - 20 March 2012)