Print
Hits: 8401

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Audiensi Umum tanggal 8 Februari,

Renungan Mengenai Doa Yesus dalam Menghadapi Kematian

 

Saudara-saudari terkasih

Hari ini saya ingin mengajak kalian semua merenungkan doa Yesus menjelang kematian-Nya, saya ingin mengajak kita semua untuk berhenti sejenak merenungkan apa yang dikisahkan oleh Santo Markus dan Santo Matius. Kedua pengarang Injil ini tidak hanya mencatat doa Yesus menjelang kematian-Nya dalam bahasa Yunani, tapi juga dalam bahasa campuran Ibrani dan Aram. Dengan cara ini, mereka tidak hanya hendak mewariskan isi doa Yesus melainkan juga bunyi kata-kata yang didoakan Yesus. Pada saat yang sama, kedua pengarang Injil menyajikan suatu gambaran mengenai sikap mereka yang hadir pada peristiwa penyaliban- mereka yang tidak mengerti- atau tidak mau mengerti- doa ini.

Sebagaimana telah kita dengar, Santo Markus menulis: “saat tiba jam ke enam, ada kegelapan di seluruh bumi sampai pukul ke sembilan. Dan pada jam ke sembilan Yesus berseru dengan suara keras, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” yang artinya, “Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (15:33-34). Dalam rangkaian kisah penyaliban, doa ini, seruan Yesus ini, disampaikan pada akhir masa tiga jam kegelapan yang menyelubungi seluruh bumi sejak tengah hari sampai jam tiga sore. Tiga jam kegelapan ini, sebenarnya merupakan kelanjutan dari periode tiga jam yang muncul sebelumnya, yaitu yang diawali dari penyaliban Yesus.

Penginjil Markus, mengatakan kepada kita bahwa “pada jam ketiga, mereka menyalibkan Dia” (15:25). Semua periode waktu yang diberikan dalam kisah penyaliban Yesus yang berlangsung selama enam jam, dibagi dalam dua periode waktu yang sama panjangnya. Penghinan dari berbagai kelompok yang menunjukkan rasa skeptis dan menegaskan ketidakpercayaan mereka dimasukkan ke dalam periode tiga jam yang pertama, dari jam ketiga di pagi hari sampai pada tengah hari. Santo Markus menulis: “ Mereka yang lewat menghujat Dia”(15:25); “demikian juga imam-imam kepala bersama-sama dengan ahli-ahli taurat mengolok-olokan Dia”(15:31); “bahkan yang disalibkan bersama-sama dengan Dia mencela Dia juga”(15:32). Pada tiga jam berikutnya, sejak tengah hari sampai “jam ke sembilan” (atau jam tiga sore), pengarang Injil berbicara hanya mengenai kegelapan yang turun menyelubungi seluruh bumi; pengarang Injil hanya membicarakan kegelapan tanpa menyebutkan apa-apa mengenai ucapan atau sikap orang-orang. Seiring dengan semakin dekatnya kematian Yesus, tidak ada lagi apapun selain kegelapan yang “menyelubungi seluruh bumi”. Alam juga ambil bagian dalam peristiwa ini: kegelapan menyelubungi manusia, benda, dan peristiwa, tetapi dalam kegelapan ini Allah juga hadir; Ia tidak meninggalkan mereka. Dalam tradisi alkitabiah, kegelapan punya arti ganda; kegelapan adalah tanda dari kehadiran dan karya kegelapan, tetapi kegelapan juga merupakan tanda kehadiran dan tindakan Allah yang misterius dan yang berjaya mengatasi segala bayang-bayang kekelaman.

Dalam kitab Keluaran, misalnya, kita membaca “Tuhan berfirman kepada Musa: “Lihat, Aku datang kepadamu dalam awan tebal” (19:9); dan kemudian: “Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam di mana Allah ada” (20:21). Dan dalam pengajarannya dalam kitab Ulangan, Musa mengatakan: “Lalu kamu mendekat dan berdiri di kaki gunung itu, sedang gunung itu menyala sampai ke pusar langit dalam gelap gulita, awan dan kegelapan” (4:11); "Ketika kamu mendengar suara itu dari tengah-tengah gelap gulita, sementara gunung itu menyala” (5:23). Dalam adegan penyaliban Yesus, kegelapan menyelubungi bumi, dan Putera Allah menenggelamkan diri-Nya dalam bayang-bayang maut untuk membawa kehidupan dengan tindakan cinta-Nya.

Kembali kepada narasi dari Santo Markus, di hadapan penghindaan dari berbagai kelompok orang, dan di hadapan kegelapan yang menyelubungi segala sesuatu, dan pada saat menjelang kematian-Nya, Yesus menunjukkan dengan doa-Nya, bahwa di tengah-tengah beban penderitaan dan kematian yang tampak sebagai suatu penolakan, sebagai suatu tanda ketidakhadiran Allah, Ia justru secara jelas merasakan suatu kedekatan dengan Bapa yang menerima tindakan cinta-Nya yang terbesar, pemberian diri-Nya secara menyeluruh, walaupun sama seperti halnya dalam peristiwa-peristiwa terdahulu, seruan-Nya dari tempat tinggi tidak didengarkan. Membaca Injil in menyadarkan kita bahwa dalam bagian-bagian penting keberadaan Yesus di dunia ini juga sudah disertai dengan suara dan tanda dari Allah yang menjelaskan kehadiran Bapa serta perkenanan-Nya atas perjalanan cinta Yesus

Maka, sesaat setelah Yesus dibaptis di Yordan, terbukalah langit, dan terdengarlah suara Bapa: “"Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan”(Mrk 1:11). Kemudian dalam peristiwa Transfigurasi, muncullah awan beserta dengan kata-kata ini: "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia." (Mrk 9:7). Sebaliknya, pada saat Dia Yang Tersalib mendekati kematian, hanya ada keheningan, tidak ada suara yang terdengar tetapi pandangan Bapa yang penuh kasih terarah kepada pemberian cinta Putera-Nya.

Lalu, apakah arti dari doa Yesus, apakah arti dari seruan yang Ia sampaikan kepada Bapa-Nya: “Allahku, ya Allahku, mengapa Engku meninggalkan Aku?”: Apakah Ia meragukan misi-Nya, meragukan kehadiran Bapa-Nya? Bukanlah dalam doa ini Ia menyatakan bahwa Ia telah ditinggalkan? Kata-kata yang digunakan Yesus untuk berseru kepada Bapa-Nya diambil dari permulaan Mazmur 22, dalam Mazmur ini pemazmur mengungkapkan kepada Allah bahwa ia terombang-ambing antara perasaan ditinggalkan Allah dan keyakinan akan kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya. Pemazmur berdoa: “Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.mPadahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel” (ay. 3-4). Pemazmur berbicara mengenai “seruan”ini untuk mengungkapkan penderitaan dalam doanya kepada Allah yang tampak tidak hadir: pada saat-saat penderitaan, doanya ini berubah menjadi suatu seruan (teriakan/tangisan). Hal ini juga terjadi dalam hubungan kita dengan Allah: saat kita menghadapi situasi paling sulit dan menyakitkan, saat Allah tampaknya tidak mendengar, kita tidak boleh takut untuk mempercayakan seluruh beban hati kita kepada-Nya, kita jangan takut berseru kepada-Nya dalam penderitaan kita, kita harus yakin bahwa Allah itu dekat, bahkan ketika Ia tampak diam.


Dengan mengulangi kata-kata pertama Mazmur 22 dari Salib, Ëli, Eli, lama sabachthni?”- “Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46); dengan mengucapkan kata-kata Mazmur ini Yesus berdoa pada puncak penolakan diri-Nya oleh manusia, pada saat-saat Ia dicampakkan, Ia berdoa, bersama dengan pemazmur, dalam kesadaran akan kehadiran Allah, juga pada saat Ia merasakan drama kematian dalam kehidupan manusia.

Namun, suatu pertanyaan muncul dalam diri kita: bagaimana mungkin Allah yang mahakuasa tidak campur tangan untuk menyelamatkan Putera-Nya dari penderitaan yang mengerikan ini? Sungguh penting bagi kita untuk memahami bahwa seruan doa Yesus bukanlah seruan orang yang menghadapi kematian dengan putus asa, seruan ini juga bukan seruan orang yang merasa ditinggalkan. Pada saat ini Yesus menjadikan seluruh Mazmur 22, mazmur penderitaan orang Israel, sebagai milik-Nya sendiri. Dengan cara ini Ia tidak hanya membawa dosa-dosa umat-Nya, tetapi juga penderitaan semua pria dan wanita yang mengalami penindasan dari yang jahat, dan pada saat yang sama Ia menempatkan semua ini dihadapan hati Allah, dalam kepastian bahwa seruan-Nya akan didengarkan dalam Kebangkitan: “Seruan kesesakan yang mendesak ini, pada saat yang sama juga merupakanjawaban dari Allah, kepastian keselamatan- bukan hanya bagi Yesus sendiri, tetapi juga bagi “banyak orang””(Yesus dari Nazareth II, hlm. 213-214 Ignatius Press, San Francisco 2011).

Dalam doa Yesus ini terkandung kepercayaan-Nya yang amat besar dan penyerahan diri-Nya ke dalam tangan Allah, yang walaupun tampak tidak hadir dan dim, sesungguhnya Ia hadir dengan rencana-Nya yang tak terpahami oleh kita. Dalam Katekismus Gereja Katolik kita membaca: “Dalam cinta-Nya sebagai Penebus, yang sellau menghubungkan Dia dengan Bapa, Ia dengan sekian mesra menerima kita, yang hidup jauh dari Allah karena dosa-dosa kita, sehingga di kayu salib Ia dapat mengatakan atas nama kita: ‘Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’” (no. 603). Yesus mengalami persekutuan dalam penderitaan dengan kita dan untuk kita, persekutuan ini mengalir dari cinta dan didalamnya terkandung penebusan yang merupakan kemenangan cinta.

Mereka yang berdiri di kaki Salib Yesus gagal mengerti hal ini, dan malah berpikir bahwa seruan-Nya adalah permohonan yang ditujukan kepada Elia. Dalam peristiwa ini mereka mencoba untuk meredakan kehausan-Nya untuk memperpanjang hidup-Nya dan memastikan apakah nanti Elia akan datang membantu-Nya atau tidak, tetapi seiring dengan seruan nyaring yang menandai akhir hidup Yesus, berakhirlah juga keinginan dan rasa penasaran mereka.

Pada saat-saat yang terakhir, Yesus mengungkapkan kesedihan hati-Nya, tetapi pada saat yang sama Ia memperjelas arti kehadiran Bapa dan persetujuan-Nya kepada rencana keselamatan Bapa bagi manusia.

Kita juga harus menghadapi penderitaan dan diamnya Allah pada “masa kini”- kita juga sering mengungkapkan hal itu dalam doa-doa kita- tetapi kita juga kerap mengalami Kebangkitan pada “masa kini”, mengalami tanggapan Allah yang memikul penderitaan kita, dan memanggulnya bersama kita dan memberi kita harapan teguh bahwa suatu saat penderitaan itu akan teratasi (Spe Salvi, no. 35-40)

Sahabat terkasih, marilah kita meletakkan salib-salib kehidupan kita di hadapan Allah dalam doa-doa kita, dalam keyakinan bahwa Ia hadir dan mendengar kita. Seruan Yesus mengingatkan kita bahwa dalam doa kita harus melampaui batasan-batasan “ego”kita dan masalah kita serta membuka diri kita terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain.

Semoga doa Yesus yang sekarat di Salib mengajar kita untuk berdoa penuh cinta bagi banyak saudara-saudari lain yang tertekan oleh beban kehidupan sehari-hari, yang sedang menjalani saat-saat sulit, yang dalam penderitaan, yang tidak memiliki penghiburan; marilah kita menempatkan semua ini di hadapan hati Allah, agar mereka semua dapat mengalami cinta Allah yang tidak pernah meninggalkan kita. Terima kasih.

 Setelah menyapa umat beriman, Paus mengungkapkan keprihatinannya akan para korban cuaca dingin yang melanda sebagian Eropa.

Dalam beberapa pekan terakhir ini gelombang cuaca dingin dan suhu yang membeku telah melanda sebagian Eropa dan, sebagaimana kita tahu, telah menimbulkan banyak kesulitan dan kerusakan. Saya ingin mengungkapkan kedekatan saya dengan mereka yang terkena dampak cuaca buruk ini, dan saya meminta kalian juga untuk berdoa bagi para korban dan keluarganya. Saya juga mendorong solidaritas dengan para korban, supaya mereka yang terkena dampak peristiwa ini dapat menerima bantuan yang murah hati. (Audiensi umum ini diterjemahkan  dari ©L'Osservatore Romano - 15 February 2012 oleh Sdr. Daniel Pane)