Print
Hits: 13437

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Hidup manusia dimulai dengan kelahiran. Di zaman yang modern ini, pada umumnya bayi-bayi lahir dengan keadaan yang serba berkecukupan, bahkan berkelimpahan.  Mereka lahir di dalam rumah mewah, atau dalam rumah sakit yang elit, lengkap dengan peralatan medis yang mutakhir.  Mereka tidak mengenal arti sebuah penderitaan dalam keadaan miskin dan papa. Bagaimana dengan bayi-bayi yang lahir dalam keadaan miskin dan dalam keadaan tersingkir? Bayi-bayi yang lahir produk “perbuatan tak terpuji orang tuanya”? Bayi yang dibuang atau bayi yang diletakkan begitu saja di depan pintu panti asuhan bayi dan anak Pondok si Boncel? Bayi-bayi yang lahir di kolong jembatan, bayi-bayi yang lahir di semrawutnya kampung yang kumuh dan kotor? Bahkan lebih telak lagi, bayi yang diabortus karena orang tuanya, entah ibu atau ayahnya atau keduanya tak mau bertanggung jawab? Mari kita kembali merenungkan makna Natal dalam hidup kita.

Dalam kisah kelahiran Tuhan Yesus di dalam dunia ini (lh. Luk 2: 1-14), kedua orang tuanya tak mendapat sedikitpun penginapan. Terpaksa pasutri muda “Maria dan Yosef” menumpang di sebuah kandang hewan. Betul, sebuah tempat bagi binatang yang kotor, bau, lembab, dan tentunya tak terurus dengan baik. Yesus lahir di tempat itu, dan bayi Yesus dibungkus dengan kain lampin, dan Ia dibaringkan di dalam palungan (bdk. Luk 2: 4-7).  Bagaimana mungkin seorang Raja dan Tuhan Penyelamat manusia lahir dalam palungan? Ini suatu tanda yang jelas, bahwa Allah mau solider dengan kehidupan manusia. Yesus menghadirkan Allah yang berbelas kasihan kepada orang yang miskin, papa, tertindas, teraniaya, terlupakan, bahkan ditolak sama sekali oleh masyarakat.

Gereja menyadarkan kita bahwa peristiwa Natal adalah anugerah Allah yang terbesar dalam hidup kita. Allah Bapa yang penuh belas kasihan menampakkan diri-Nya dalam rupa bayi Yesus yang kecil nan mungil yang dilahirkan oleh Perawan Maria dalam kuasa Roh Kudus. Santo Yohanes Rasul merenungkan peristiwa ini secara mendalam, “Kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita yaitu bahwa Allah telah mengutus anak-Nya yang tunggal ke dunia, supaya kita hidup oleh-Nya” (1 Yoh 4:9). Kemudian rasul agung ini menyatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).

Santo Gregorius dari Nisa menuliskan ajarannya kepada kita: “Kodrat kita yang sakit membutuhkan dokter, manusia yang jatuh membutuhkan orang yang mengangkatnya kembali, yang kehilangan kehidupan membutuhkan seorang yang memberi hidup, yang kehilangan hubungan yang baik membutuhkan seorang yang membawanya kembali kepada yang baik, yang tinggal dalam kegelapan merindukan kedatangan sinar, yang tertawan merindukan seorang penyelamat, yang terbelenggu seorang pelepas, yang tertekan di bawah kuk perhambaan memerlukan seorang pembebas. Bukankah itu hal-hal yang cukup berarti dan penting untuk menggerakkan Allah, sehingga Ia turun bagaikan seorang dokter yang mengunjungi kodrat manusiawi, setelah umat manusia terjerat dalam situasi yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan.”


Itulah sebabnya, berita kelahiran Yesus Kristus, Sang Juruselamat diwartakan kepada para gembala yang menjaga kawanan ternaknya di padang pada waktu malam. Nampaknya, para gembala itu resah, galau, dan mereka ketakutan. Sebab, tiba-tiba muncul di hadapan mereka, “Utusan Allah” yang menyampaikan nuansa sukacita surgawi tak terperikan, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2: 10-11). Di tengah-tengah suasana yang bingung itu, para gembala “bersukacita dalam Tuhan,” karena Allah telah menggenapkan janji-Nya untuk mengutus seorang Penyelamat dan Penebus dari perbudakan dosa dan maut.

Kendati, anugerah keselamatan Allah dalam kelahiran Yesus Kristus ditujukan kepada semua manusia, tetapi Tuhan menyatakan kepada orang yang kecil, sederhana, polos dan bersahaja. Mengapa? Sebab, hanya orang yang bersemangat kecil, rendah hati dan bersahaja yang mampu menangkap kehadiran dan kuasa Tuhan. Mereka tiada lagi melekat pada harta, jabatan, apalagi kuasa. Mereka tak memilikinya. Itulah yang menyebabkan mereka mampu mengalami kehadiran Allah yang menguatkan dan menghibur kita. Bukankah Allah mengangkat yang hina dina dan yang berkuasa diturunkan dari tahta-Nya? Sungguh, Allah mengasihi jiwa-jiwa yang rendah hati dan Ia tidak berkenan kepada mereka yang sombong dan bertegar dalam dosa dan kejahatan.

Seperti para malaikat surgawi yang memuji dan memuliakan Allah, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2: 14), maka kita harus memuji Allah dan memuliakan-Nya atas karya agungnya bagi kita. Sebab, Allah telah mengaruniakan damai sejahtera bagi kita. Damai yang bukan buatan manusia dan bukan berasal dari dunia. Tetapi Damai sejahtera yang berasal dari atas, dari surga, dari Allah. Damai sejati hanya dapat dialami oleh semua orang yang rela untuk mengenal Yesus dan mengambil bagian dalam sengsara dan kebangkitan-Nya. Tanpa itu semua, segala akan sia-sia dan kita masih berada dalam kegelapan tanpa akhir.

Pada masa Natal ini, mari kita mengarahkan pandangan kita kepada Allah yang memberikan anugerah besar kepada kita. Kelahiran Yesus Kristus menghadirkan kuasa Allah yang menyapa umat-Nya. Allah membebaskan manusia dari perbudakan dosa dan belenggu maut. Hanya satu hal yang perlu kita lakukan, kita harus percaya dan masuk dalam kehidupan Yesus. Kita harus berani mengikuti Yesus Kristus, dalam suka dan duka, dalam untung dan rugi. Apapun status dan pilihan hidup kita, kita hanya mengandalkan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat kita. Semoga Damai Natal memberikan sukacita yang penuh dan kegembiraan yang besar bagi kita. Amin.