Print
Hits: 16484

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Dalam realitas hidup sehari-hari, kita kerap bersinggungan dengan apa yang disebut kejahatan, dosa, dan penderitan. Sering kita berusaha berbuat baik, namun nyatanya kita kerap melakukan perbuatan jahat. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa ada kejahatan dan penderitaan? Bagaimana sikap Allah? Apa yang harus kita buat? Mari, kita simak artikel berikut ini.


 

Pengantar

Membahas misteri kejahatan tidak lain membahas apa yang sudah dibahas oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma pasal 1:18 - 3:20. Dalam perikop tersebut Rasul Paulus mengungkapkan hal mengenai kedurhakaan manusia atau dapat disebut sebagai misteri kejahatan yang mengerikan. Rasul Paulus merangkum semua itu dalam satu kalimat seperti yang tertulis dalam suratnya kepada jemaat di Roma: Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23). Dalam hal ini Paulus tidak berbicara  tentang apa itu dosa tetapi menerangkan bahwa dosa itu memang ada dan kita berada di bawah kuasa dosa. Ini berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali. “Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa” (Rm 3:9). Memang Paulus berbicara tentang dosa secara tidak langsung, hal ini perlu kita sadari dalam konteks kebudayaan dan zaman ini.

 Apa itu dosa? Pertanyaan ini sudah ada dalam kitab Mazmur dan sejak berabad-abad yang lalu orang bertanya tentang apa itu dosa. Satu hal yang kita ketahui, bahwa hanya wahyu Allah yang dapat mengerti tentang apa itu dosa, dan tidak ada satu usaha manusia pun yang sanggup mengatakan kepada kita tentang apa itu dosa sesungguhnya. Tidak seorang pun dari dirinya sendiri dapat mengatakan apa itu dosa, karena ia sendiri berada dalam dosa sehingga dia tidak mengerti apa itu dosa. Apa yang dikatakan manusia tentang dosa pada akhirnya hanyalah suatu usaha manusia yang mengecilkan apa arti dosa sesungguhnya. Memiliki pengertian yang lemah tentang dosa adalah bagian dari keadaan kita sebagai pendosa.

Dalam kitab Mazmur dikatakan: “dosa bertutur di lubuk hati orang fasik; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu” (Mzm 36:2). Dosa juga berbicara seperti Allah berbicara. Dosa berbicara dan meyakinkan dirinya dan tempatnya dalam hati manusia dan secara kodrati sungguh tidak masuk akal bahwa kita berharap manusia berbicara melawan dosa. Hanya Allah saja yang dapat berbicara tentang bagaimana melawan dosa. Manusia tidak dapat melawan dosa. Kita berbicara tentang dosa dalam terang wahyu Allah. Dosa adalah hal yang serius dan jauh lebih serius daripada hal lain yang dimengerti. Oleh karena itu, semakin kita dekat dengan Allah maka akan semakin mampu kita mengerti tentang kengerian dosa.

Beberapa contoh yang menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang diberi wahyu oleh Allah saja yang segera dapat menangkap kengerian dari dosa, antara lain anak-anak dari Fatima yang mengerti tentang neraka. Santa Teresia Avila karena misinya yang besar, oleh Tuhan dibawa pula kepada pengalaman kengerian keadaan neraka sehingga dia dibawa kepada pengertian akan kengerian dosa yang membawa kepada neraka.

Jikalau kita berbicara tentang dosa secara manusiawi, maka seringkali yang kita mengerti adalah dosa melawan manusia itu sendiri. Padahal sebenarnya dosa melawan Allah adalah akar dari dosa-dosa lainnya. Manusia seringkali hanya memikirkan pelanggaran hak-hak manusia tetapi bukan pelanggaran akan hak-hak Allah. Kengerian akan dosa seperti yang dikatakan oleh Santo Paulus dapat ditemukan dalam masyarakat di sekitar kita dewasa ini dalam kebudayaan yang penuh kekerasan. Oleh karena itu, hanya Allah saja yang mengetahui dan karena wahyu Allah maka manusia berusaha meraba-rapa tentang apa arti dosa itu. Yesus mengungkapkan dengan kata-kata bahwa Roh Kudus yang diutus akan meyakinkan manusia tentang dosa: “Kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman” (Yoh 16:8).

Hanya Roh Kudus yang dapat melaksanakan tugas-Nya sebagai pembela Allah dan Kristus dalam pengadilan dunia ini seperti yang diungkapkan oleh Paus Paulus II dalam ensiklik Dominum et Vivificantem. Oleh karena itu, hanya Allah saja yang dapat berbicara kepada kita tentang dosa. Jika Allah berbicara tentang dosa dalam hati manusia maka hal itu merupakan suatu rahmat yang besar bagi manusia untuk  berbalik kepada Allah. Dunia dewasa ini telah kehilangan arti dosa, rasa dosa, dan tidak menerima himbauan Gereja. Hal ini mungkin terjadi karena dunia berpikir bahwa Gereja mengidentifikasikan dirinya sebagai subyek, yakni sebagai penuduh dan bukan sebagai obyek, yakni tertuduh. Padahal sebaliknya, bukan demikian. Jikalau Gereja menyadarkan kita tentang dosa, maka pertama-tama karena Gereja menyadari bahwa Gereja sebagai umat berdosa. Allah melalui Gereja menyadarkan dunia akan dosa dan Gereja oleh Roh yang sama disadarkan akan dosanya sendiri. Oleh karena itu, jika kita perhatikan dengan sungguh-sungguh melalui kehidupan dan kesaksian para kudus, maka sejak semula Gereja mengakui dirinya sebagai orang berdosa dan sudah sejak semula dalam perayaan Ekaristi, Gereja memulai dengan pengakuan akan dosanya.

Hal ini dijelaskan oleh Santo Agustinus dalam uraian tentang doa Bapa Kami yang memuat permintaan ampun kepada Tuhan: “Ampunilah…”  Hal ini bukan basa-basi melainkan suatu kesadaran bahwa walaupun Gereja sadar dia telah dibenarkan tetapi pertama-tama Gereja disadarkan akan dosanya. “Simul Santa et pecatrix,” Gereja sekaligus suci dan pendosa, sehingga dalam perayaan Ekaristi sejak dahulu dimulai dengan kalimat “saya mengaku”, sebagai pengakuan akan dosa. Allahlah yang berbicara kepada kita tentang dosa, manusia tidak bisa tinggal diam sebab suara-Nya selalu akan mengusik manusia seperti air terjun yang dahsyat. Dalam surat kepada orang Ibrani diperlihatkan bagaimana para martir lebih suka menumpahkan darahnya daripada berdosa (bdk. Ibr 12:4). Sebaliknya, orang Kristiani zaman sekarang lebih mudah menyerah kepada dosa.

 


 

Dosa sebagai penolakan manusia untuk mengakui Allah

Dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma dikatakan: “sebab murka Allah nyata dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya serta keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Rm 1:18-20).  Jadi jikalau mereka dengan hati terbuka menerima Allah mereka dapat menerima-Nya lewat karya-Nya: “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap” (Rm 1:21).

Dewasa ini kita lihat manusia berlomba-lomba mengejar prestasi. Berapa banyaknya energi, berapa banyaknya biaya yang dikeluarkan, semua itu hanyalah untuk mencari gelar juara saja, bukan dengan tujuan supaya manusia sehat, tetapi untuk suatu kebanggaan belaka. Ini adalah kesia-siaan. Apa yang menjadi tujuannya hanyalah supaya meraih gelar juara. Dalam kehidupan manusia dewasa ini kita lihat bahwa itu semua merupakan hal yang biasa dan nampak seolah-olah sesuatu yang netral. Akan tetapi, sebenarnya ini merupakan hal yang sia-sia. Di negara tertentu pembangunan gereja yang bagus akan dikecam habis-habisan. Apa yg dipersembahkan kepada Allah dikecam habis-habisan. Sudah sejak semula kita dapat melihat dalam diri Yudas yang mengecam: “Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini?” (Mrk 14:4). Di sini boleh dikatakan bahwa mereka menjadi sia-sia dalam pikiran mereka. Mereka berbuat seolah-olah mereka berhikmat tetapi mereka telah jatuh dalam kebodohan. Orang yang menganggap dirinya berhikmat memenuhi tubuhnya dengan berbagai perhiasan. Tangan dan telinganya penuh dengan berbagai barang hingga nyaris tak ada tempat kosong lagi. Mereka memandang segala sesuatu berdasarkan nilai-nilai dunia dan tidak dalam terang wahyu Allah. Dengan demikian, apa yang berhikmat menurut pandangan manusia menjadi kebodohan bagi kebijaksanaan Allah. Demikianlah akibat yang mengerikan terjadi karena mereka menggantikan kemuliaan Allah yang abadi dengan hal-hal duniawi yang fana. “Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” (Rm. 1:23). Inilah yang menjadi kebodohan mereka, yaitu menggantikan Allah dengan hal-hal yang duniawi dan fana.

Santo Paulus menerangkan bahwa dosa utama yang membangkitkan kemarahan Allah disebut dengan kejahatan dan kedurhakaan kepada Allah, yaitu penolakan untuk memuliakan dan bersyukur kepada Allah. Sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Dengan kata lain, mereka menolak untuk mengakui Allah sebagai Allah dengan tidak memberikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah. Mereka tahu tentang Allah namun bertindak seolah-olah tidak ada Allah. Ini merupakan pelecehan terhadap Allah. Oleh karena itu, dalam Perjanjian Lama kita dapati Musa berseru kepada umat Israel, “Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah” (Ul. 7:9 ). Dalam Kitab Mazmur  dikatakan, “Ketahuilah, bahwa TUHANlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya” (Mzm 100:3).

Pada dasarnya dosa adalah penyangkalan bahwa Tuhan adalah Allah. Penyangkalan ini lahir dari keinginan manusia untuk bersandar pada kekuatannya sendiri dan tidak mau mengakui adanya perbedaan yang begitu besar antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dosa merupakan akar dari segalanya. Dosa merupakan pembungkaman kebenaran. Dosa membelenggu kebenaran sehingga manusia akhirnya menjadi tawanan. Dosa adalah suatu hal yang sangat mengerikan dan tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika dunia tahu apa arti dari dosa itu, ia akan mati ketakutan.

Santa Teresia dari Avila pernah diberi pernyataan tentang dosa oleh Tuhan. Suatu hari ia dibawa oleh Tuhan ke neraka hingga ke bagian yang terbawah. Sepulangnya dari pengalaman itu, dia berkata: “Aku lebih suka mati seribu kali daripada melakukan dosa yang paling kecil sedikit pun.” Sebaliknya, Santa Teresia Lisieux tidak pernah mendapatkan wahyu Allah mengenai dosa. Akan  tetapi, karena kesetiaannya, ia diberi pengertian yang mendalam tentang dosa. Kenyataannya, Santa Teresia Lisieux tidak pernah melakukan dosa berat satu kali pun. Kita juga dapat melihat apa yang terjadi dengan anak-anak di Fatima, yaitu Jacinta, Francisco, dan Lucia. Mereka mendapatkan wahyu tentang kengerian neraka dari Bunda Maria. Bunda Maria ketika itu memperlihatkan semua kengerian itu walau tidak menerangkan apa arti dosa. Akan tetapi, mereka bertiga mengerti bahwa kengerian neraka itu merupakan upah dari dosa. Sejak saat itu, ketiga anak tersebut melakukan laku tapa tak henti-hentinya seumur hidup mereka, demi menyilih dosa dan menyelamatkan para pendosa dari api neraka.

Penolakan untuk mengakui Tuhan sebagai Allah diwujudkan dengan melakukan penyembahan berhala, yaitu memuji dan menyembah makhluk lain, bukan Allah Sang Pencipta. Di dalam penyembahan berhala manusia membuat Allahnya sendiri, sehingga dialah yang menentukan tentang Allah, bukan Allah yang menentukan tentang dia. Jadi, terjadi pertukaran peran dalam hal ini. Manusia menjadi tukang periuknya, dan Allah menjadi tanah liat yang dibentuknya menurut keinginannya sendiri.

Dengan demikian, melalui suratnya Rasul Paulus hendak menunjukkan bahwa manusia telah menyingkirkan tempat Allah di hatinya. Ia menunjukkan bahwa manusia telah mengambil suatu pilihan untuk melawan Allah. Keputusan manusia yang memilih dirinya sendiri di atas Allah akibatnya menghasilkan suatu kehancuran total, suatu kengerian yang begitu besarnya. Manusia pada akhirnya terseret ke dalam jurang kehancuran karena pilihannya ini.

Sebenarnya dalam hal ini Paulus memberikan gambaran global tentang segala cacat dan kehancuran yang kita jumpai di dunia dewasa ini, antara lain homoseksual, ketidakadilan, kejahatan, kedengkian, keserakahan, tipu muslihat, kesombongan, ketidaktaatan kepada orang tua, tidak dapat dipercaya, dan lain-lain. Ini semua menggambarkan segala kejahatan yang sering dibicarakan di dalam Kitab Suci.

 

Satu hal yang membingungkan kita sepintas lalu ialah bahwa dalam hal ini Paulus berkata segala kehancuran itu adalah akibat dari kemarahan Allah. Paulus berbicara secara terus terang bahwa hal itu diakibatkan oleh kemarahan Allah seperti kita lihat dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma. “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka” (Rm 1:24). “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yg memalukan sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar” (Rm 1:26).  “Karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk sehingga mereka melakukan hal yang tidak pantas” (Rm 1:28).  Apa yg tidak pantas itu: “penuh dengan rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat, dan kefasikan. Mereka adalah pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, tidak berakal, tidak setia, tidak mengenal belas kasihan, tidak penyayang” (Rm 1: 29).

Apa yang dikatakan Paulus di sini sungguh-sungguh mengerikan dan tentu saja Allah tidak menghendaki semuanya itu. Akan tetapi, Allah mengizinkan segala kehancuran itu terjadi untuk menyadarkan manusia apa yg menjadi buah-buah dari penolakan manusia terhadap Allah. Tentang hal ini Santo Agustinus menulis bahwa semuanya itu bukan sekedar merupakan hukuman-hukuman melainkan juga merupakan dosa, sebab hukuman untuk kejahatan berada dalam dirinya sendiri karena ia adalah suatu kejahatan. Jadi hukuman dosa ialah kejahatan itu sendiri. Allah campur tangan untuk menghukum kejahatan dan dari hukuman itu dosa-dosa yang lain timbul.

Dapat dikatakan bahwa dosa menimbulkan dosa, dosa melahirkan dosa, dosa adalah hukuman dari dosa sendiri, karena manusia berdosa maka ia dibiarkan semakin berdosa. Pada dasarnya Kitab Suci berkata manusia dihukum dalam hal-hal ia berdosa seperti dikatakan dalam kitab Kebijaksanaan: “Oleh karena pikiran-pikiran mereka yang bodoh dan jahat, yang menyesatkan orang-orang Mesir hingga memuja binatang melata yang tidak berakal  serta hewan yang keji, maka telah Kaukirimkan kepada mereka banyak binatang  yang tidak berakal sebagai hukuman. Maksudnya supaya mereka mengetahui bahwa seseorang akan dihukum dengan apa yang telah dipakainya untuk berdosa” (Keb 11:15-16).

 


 

Bertobat berarti Percaya pada Belas Kasihan Allah

Oleh sebab itu, dalam Injil, Yesus pernah berkata, “Anak manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka membunuh Dia” (Mrk 9:31). Jika kita bertanya mengapa orang mau menyerahkan Yesus? Mengapa mereka mau membunuh Tuhan Yesus? Padahal kalau kita lihat dalam Injil dituliskan bahwa segala sesuatu yang dilakukan-Nya adalah hal baik, dengan kata lain kita tahu bahwa Yesus hanya melakukan yang baik; Dia menolong dan menyembuhkan orang yang sakit, menolong orang yang miskin, memberi harapan kepada yang berduka, menghibur mereka yang mau kembali kepada Allah, mengampuni orang berdosa, menerima setiap orang yang datang kepada-Nya. Semua dilakukan semata-mata demi kemuliaan Bapa. Dia tidak mencari kemuliaan-Nya sendiri, Dia tidak mencari nama, Dia tidak mencari popularitas, tetapi Dia melakukan semuanya untuk Allah Bapa dan untuk umat yang dicintai-Nya. Akan tetapi kenyataannya Yesus dimusuhi, bahkan dianiaya, disiksa, dan dibunuh di atas kayu salib. Yesus sungguh-sungguh diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Kalau kita merenungkan hal ini, mungkin kita akan teringat bahwa sebenarnya kita sendiri seringkali justru mengeluh saat mengalami penderitaan. Mungkin kita merasa sudah melayani Tuhan, rajin ke Gereja dan berdoa, rajin membaca Kitab Suci, ikut kelompok Persekutuan Doa (PD), namun ternyata masih menerima penderitaan. Maka tak jarang kita pun merasa bahwa Tuhan tidak adil.

Seandainya kita merasakan hal seperti itu, mungkin ada baiknya kita mencoba merenungkan kehidupan Yesus. Yesus yang tidak bersalah dan tidak pernah berdosa, dimusuhi, dibenci oleh para Farisi dan ahli Taurat, bahkan Dia dibunuh di atas kayu salib. Lalu apa salah-Nya? Dosa apa yang telah dilakukan Yesus? Menurut pemikiran manusiawi pasti banyak. Akan tetapi Yesus yang kenyataannya tidak pernah berdosa, harus banyak menderita. Sedangkan kalau kita menderita, saya rasa wajar karena kita semua telah berdosa, namun herannya justru seringkali kita yang mempersalahkan Tuhan yang dianggap tidak adil.

Santo Paulus mengatakan dalam suratnya bahwa, “setiap orang yang mau hidup beribadah akan menderita aniaya” (2 Tim 3:12). Mengapa demikian? Memang kedengarannya aneh, orang ingin hidup beribadah namun harus banyak mengalami kesukaran dan sebagainya. Orang dianiaya dan ditekan. Jika kita mengalami hal seperti itu, seringkali kita pun berteriak kepada Tuhan, tetapi seolah-olah Tuhan bisu dan tuli. Kita pun bertanya, “Tuhan di mana Engkau?” Kita seringkali berteriak-teriak dalam kesesakan, dalam penderitaan seolah-olah Tuhan tidak mendengarkan. Lalu kita berpikir jika demikian maka Tuhan tidak ada. Pemikiran seperti inilah yang salah. Tuhan kita itu tidak tuli, Dia tidak pernah tidur, Dia selalu ada bersama dengan kita.

Akan tetapi mengapa Tuhan membiarkan segala penderitaan itu terjadi? Mengapa orang yang mau hidup saleh itu harus menderita aniaya? Sebetulnya yang menganiaya itu siapa? Dialah si jahat atau iblis melalui orang-orang yang dikuasainya, yang mendengarkan bisikan-bisikannya, supaya kita dijauhkan dari Allah. Dengan penderitaan tersebut, iblis ingin agar kita menjadi putus asa dan akhirnya kembali lagi ke dalam pelukan si jahat. Kalau kita menjadi miliknya, kita tidak akan diganggu. Maka ini dapat menjadi tandanya, kalau Anda diganggu terus, berarti Anda bukan miliknya. Namun kalau Anda miliknya pasti tidak diganggu supaya Anda tidak lari daripadanya (iblis),  tetapi Tuhan justru menarik kita, supaya kita tidak binasa dari kuasa si jahat sebab seperti kata santo Paulus, “segala penderitaan, penganiayaan tidak akan melampaui kemampuan kita” (bdk. 1 Kor 10:13), Tuhan akan memberikan kekuatan bila kita mengalami semuanya itu supaya kita tetap bertahan. Oleh karena itu dari satu pihak, bila Anda mengalami macam-macam gangguan atau dianiaya oleh orang-orang yang jahat, Anda harus bersyukur, karena itu berarti bahwa Anda adalah milik Allah dan setan berusaha merebut Anda dari Allah. Bila kita bertekun, kita yakin bahwa dalam Yesus Kristus kita akan menang, karena Tuhan telah bersabda, “Aku telah memberi kepada kamu kuasa untuk menginjak-injak ular dan kalajengking sehingga tidak ada satu cara pun dapat merugikan kamu” (Luk 10: 19). Jadi kita diberi kekuatan dan kuasa yang lebih kuat kalau kita tetap berpegang pada Kristus Yesus.

Kemudian melalui kesukaran-kesukaran tadi, kita semakin sadar bahwa Yesus sungguh hidup sehingga kita bisa berharap kepada-Nya. Para murid Yesus yang sudah lama mengikuti Yesus, bertanya-tanya siapa yang paling besar di antara mereka, semua mau menunjukkan kelebihannya, sehingga mereka bertengkar, siapa yang paling besar? Karena mereka belum sungguh-sungguh memahami arti kebesaran yang sejati, mereka mencari kebesaran duniawi yang sebetulnya bukan kebesaran yang seperti dikehendaki Tuhan. Kebesaran yang sejati yaitu seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Yesus yang Mahamulia, Mahabesar telah merendahkan diri menjadi manusia hina bahkan sampai taat wafat di kayu salib. Karena Dia merendahkan diri maka Dia menjadi besar,  kemudian secara konkret Yesus memberikan kepada kita suatu teladan. Teladan seorang anak kecil, supaya kita menyambut anak kecil seperti menyambut Yesus sendiri. Dan dalam Injil Matius juga dikatakan, “Kalau kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga”  (Mat 18:3). Ibaratnya pintu surga itu sempit, kalau kita berbadan besar maka tidak bisa masuk, untuk itu harus menjadi kecil supaya bisa masuk. Maksudnya apa? Menjadi seperti anak kecil ialah hidup menyadari keterbatasan diri, menyadari kepapaan sendiri, menyadari kelemahan sendiri. Menjadi seperti anak kecil itu tidak berarti menjadi kekanak-kanakan. Coba bayangkan seorang yang tua yang sudah beruban kalau berlaku kekanak-kanakan tentunya justru menjadi lucu, tetapi memiliki semangat anak kecil yang polos, jujur, dan sangat tergantung seluruhnya kepada orang tuanya inilah yang dimaksud oleh Tuhan Yesus. Sehingga walaupun sudah beruban rambutnya, kita tetap harus menjadi anak kecil supaya bisa masuk surga. Akan tetapi dalam hal apa? Tentu saja di sini ada perbedaan antara anak kecil yang dimaksud Yesus dengan keadaan manusia yang sebenarnya. Kita tahu bahwa seorang anak kecil kalau kita lihat dari segi manusia; dia begitu tergantung kepada orang tuanya, dia makan saja tidak bisa, dia tidak berdaya apa-apa dan sungguh-sungguh bergantung kepada orang tuanya; anak kecil juga tidak bisa mencari nafkahnya sendiri. Akan tetapi bila dia sudah besar dan menjadi dewasa, maka bisa saja itu berubah, dan justru orang tuanya yang mungkin tergantung kepada dia (anaknya).

Akan tetapi Tuhan tidak demikian, ketergantungan kita pada Tuhan itu selalu, karena sebenarnya kita tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Tuhan. Oleh karena itu kita harus menjadi seperti anak kecil dalam arti ini: yaitu tergantung kepada Tuhan, mengharapkan segala sesuatu dari Tuhan, dan mau menerima keterbatasan dan kelemahan diri. Artinya kalau Yesus mengatakan kalau kamu tidak seperti anak kecil ini kamu tidak akan masuk surga. Maksudnya, Yesus tidak bersifat kekanak-kanakan, namun seorang anak kecil yang sungguh tergantung seluruhnya kepada orang tuanya, kemudian dia mengharapkan segalanya dari orang tuanya. Seorang anak kecil tidak pernah berpikir apakah besok saya tidak diberi makan oleh orang tua saya. Bahkan orang miskin pun kalau makanannya kurang, orang tuanya mengalah dan memberikan makanan itu kepada anaknya. Demikian juga kita di hadapan Tuhan, kalau Tuhan bersabda: “kalau kamu saja yang jahat, tahu memberikan pemberian yang baik kepada anak-anakmu, betapa lebihnya lagi Bapamu yang ada di Surga" (Mat 7:11). Dalam hal ini kita dapat bertanya apakah kita lebih baik daripada Tuhan? Kalau kita yang jelas-jelas orang berdosa tidak akan menyia-nyiakan anak kita, maka lebih lagi Tuhan tidak akan menyiakan kita. Contoh sederhana misalnya seorang anak kecil baru saja dimandikan, diberi pakaian yang bersih, namun ketika dia pergi bermain, badannya sudah kotor lagi dan bajunya basah, lalu anak itu berteriak memanggil ibunya. Ibunya memang jengkel, tetapi toh dia tetap membantu anaknya mengganti pakaian yang basah. Inilah hati seorang ibu, dan Allah berkata: “dapatkah seorang ibu melupakan anaknya, sekalipun dia melupakan anaknya, tetapi Aku tidak akan melupakan engkau” (bdk. Yes 49:15). Jadi walaupun ibu itu melupakan anaknya, tetapi Tuhan tidak akan melupakan dia dan kita semua.

Oleh karena itu kita harus bergantung kepada Tuhan, mengharapkan segalanya dari Tuhan. Seperti seorang anak kecil tadi mengharapkan hidupnya, makanannya, dan segala-galanya dari orang tuanya. Dan saya kira orang tua yang normal, tanpa diminta akan memberikan apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Oleh karena itu yang diminta dari kita oleh Tuhan yaitu kepercayaan yang tidak terbatas kepada Allah yang hati-Nya lebih lembut daripada hati seorang ibu dan bapa mana pun. Walaupun kita kadang-kadang bersalah dan berdosa, namun marilah kita datang seperti anak kecil itu kepada Tuhan. Datang kembali kepada Bapa kita dengan penuh kepercayaan, seperti yang dikatakan oleh Santo Yohanes: “bila hati kita menuduh kita artinya menuduh kita tentang dosa-dosa, Allah lebih besar daripada hati kita” (bdk. 1 Yoh 3:21). Kalau kita mempunyai seorang Allah seperti itu maka hidup kita akan penuh damai, sukacita, dan ketentraman. Kita tidak akan takut apa pun, kita tidak akan kuatir akan apa pun. Inilah yang dikehendaki Tuhan Yesus dari kita supaya menjadi anak kecil yaitu mengakui dan menerima kepapaan sendiri, kelemahan sendiri, dan ketidak berdayaan sendiri, tidak berduka kalau kita sadar bahwa kita itu papa, namun justru langsung kembali kepada Bapa kita. Tiap-tiap kali kembali kepada Tuhan, semakin kita disadari akan kerahiman-Nya, dan akhirnya kita menjadi kuat dan perlahan-lahan terlepas dari dosa-dosa yang mengikat, yang mungkin seringkali kita perbuat dan diulang-ulangi. Kita harus selalu sadar bahwa kita itu lemah, kita papa, dan tidak dapat berbuat apa-apa. Seperti dikatakan Tuhan Yesus: “tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa, Akulah pokok anggur dan kamu ranting-rantingnya, lepas dari Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5-6). Bahkan santo Paulus juga mengatakan: “kita tidak dapat melakukan satu perbuatan baik pun tanpa rahmat Allah” (bdk. 1 Kor 12:6). Bahkan satu pikiran baik pun kita tidak dapat melakukannya tanpa Allah. Seperti seorang anak tadi, tergantung secara mutlak dari orang tuanya demikian juga kita tegantung dari Allah. Yang diminta Tuhan adalah akuilah dirimu, terimalah dirimu seperti apa adanya. Inilah kerendahan hati yaitu menyadari dari diri sendiri kita tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam bidang adikodrati kita tidak dapat melakukan sesuatu bahkan berbuat baik sekali pun tanpa rahmat Allah. Oleh karena itu kita harus bersandar kepada-Nya.

Selain kita mengakui dan menerima diri apa adanya, kita juga secara positif harus bergantung kepada Allah, mengharapkan segala sesuatu dari Bapa surgawi. Tuhan Yesus mengatakan, “mengapa kamu kuatir, bahkan apa yang kamu makan, apa yang kamu pakai, bukankah burung-burung di udara itu tidak menabur dan tidak menuai, tetapi diberi makan oleh Bapa, dan lihat bunga-bunga di ladang, yang didandani begitu indah, bunga yang hari ini ada dan besok sudah layu, betapa lebihnya kamu, bukankah kamu lebih berharga daripada semuanya itu” (Mat 6:25-26).

 


 

Penutup

Memang seringkali pikiran-pikiran kita dipengaruhi oleh pengalaman manusiawi kita, apalagi dalam masyarakat kita misalnya kalau ada prestasi ada balas prestasi, kalau tidak ada prestasi juga tidak ada balasnya. Kita dikejar begitu rupa seolah-olah juga kita di hadapan Tuhan, berhubung dengan keselamatan kita, kita harus berprestasi hebat. Tak jarang karena mengejar prestasi itu kita menjadi stres dan depresi karena banyak saingan. Padahal bukan itu yang dikehendaki Tuhan. Yang dikehendaki Tuhan Yesus, supaya kita betul-betul berharap pada Tuhan, dan Dia akan memberi kekuatan bila kita menderita, Dia akan melepaskan dan meringankan segala beban kita. Dan bila kita berdoa kita harus berharap akan kerahiman dan pengampunan-Nya, karena Dia lebih besar dari kita. Bahkan dosa yang paling besar pun diampuninya. Tahukah Anda dosa yang paling besar itu apa? Yaitu “putus asa.” Tidak percaya lagi akan kerahiman Tuhan. Maka bila Anda putus asa, ini berarti berdosa melawan kerahiman Allah sendiri, kalau betul-betul putus asa bisa-bisa nasib kita menjadi seperti Yudas yang menggantung diri atau bunuh diri. Inilah dosa yang paling besar. Petrus menyangkal Yesus dengan berkata, “Aku tidak kenal orang ini” dan menyumpahi dirinya bahwa dia tidak kenal, tetapi kemudian dia sadar dan bertobat lalu dia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil, kemudian dia melemparkan diri pada pangkuan Allah, pada kerahiman Allah. Ini bedanya dengan Yudas. Yudas putus asa, lalu menggantung diri. Oleh karena itulah maka kita harus mengharapkan segala-galanya yaitu mengharapkan bantuan Tuhan. Bagi kita yang melakukan dosa berat pun harus menyadari akan kerahiman Allah yang lebih besar dan mampu mengampuni. Allah kita lebih besar daripada perbuatan dosa seberat apa pun,  tidak ada satu dosa pun yang tidak akan diampuni oleh Tuhan, Ia siap mengampuni bila kita datang kepada-Nya. Segala dosa yang paling besar pun seolah-olah akan dilemparkan ke dalam api yang bernyala-nyala dalam kerahiman Allah dan dalam sekejap dosa-dosa kita dimusnahkan. Yesus tidak pernah membiarkan kita sendiri dalam segala kelemahan dan dosa. Itulah yang harus selalu kita sadari. Dia mencintai kita dan ingin agar kita menjadi bahagia dan memperoleh keselamatan. Untuk itu tak hentinya Dia selalu memanggil kita untuk terus melekat dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Dia ingin agar kita mempunyai kepercayaan yang tak terbatas kepada-Nya.

Rm. Yohanes Indrakusuma CSE

Penulis tetap situs carmelia.net