Print
Hits: 7207

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Nyam...nyam…nyam.. dengan lahap si ulat sutera kecil memakan daun-daun murbai yang hijau.  Karena rupanya yang buruk, tak seorang pun tertarik memandangnya. Akan tetapi, seolah tak peduli dengan kejelekan dirinya, dengan tenang si ulat kecil berjalan kian kemari, memakan dedaunan yang hijau dengan gembira. Hingga akhirnya, tibalah waktunya bagi si kecil ini, membentuk kepompong dari semacam serat halus, yang tak lain berasal dari daun-daun hijau yang telah dimakannya. Kemudian, tinggallah ia dalam kekelaman kepompongnya yang mungil. Tiada yang menyangka kalau daun-daun hijau yang dimakannya itu, kini berubah menjadi sutera indah, yang dicari dan diincar orang di mana-mana. Siapa yang menyangka bahwa setelah bergulirnya sang waktu, tiba-tiba kepompong pun pecah, dan keluarlah dari dalamnya seekor kupu-kupu yang sangat cantik terbang kian kemari. Si ulat kecil yang buruk rupa, yang berjalan dengan menggeser perutnya di tanah dan batang-batang pohon, kini menjadi kupu-kupu jelita yang dapat terbang bebas di antara bunga-bunga dan dedaunan.

Kisah tentang ulat sutera ini memang menarik, alami, tetapi lebih dari itu, ternyata bukan hanya sekedar cerita biasa. Melalui cerita inilah, Santa Teresa dari Avila menggambarkan transformasi jiwa ke dalam pribadi Kristus. (Puri Batin, V.2.2.4)  Ulat sutera kecil menggambarkan keadaan jiwa semula yang dengan lahap makan daun-daun hijau, tak lain adalah Roti Kehidupan dalam Ekaristi, sakramen-sakramen lainnya, dan tentu juga Sabda Allah. Semua santapan jiwa ini akan menjadi sutera yang indah baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi orang lain.

Dan karena belas kasihan Allah yang Maharahim, jiwa kemudian ditarik dalam kegelapan rohani, untuk semakin bersatu dengan Allah. Di sinilah jiwa dibentuk, dimurnikan, walaupun seringkali keadaan yang kelam ini tak dimengerti oleh jiwa dan terasa menekan. Namun, di dalam kepompong rohani inilah jiwa lama mati, untuk kemudian lahir baru sebagaimana yang Yesus ucapkan kepada Nikodemus dua ribu tahun yang lalu, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah." (Yoh. 3:3) Yesus mengajak kita untuk mati bersama-Nya, dan kemudian bangkit pula bersama-Nya. Kemuliaan Paska terjadi sepanjang tahun, ditawarkan bagi semua jiwa yang mau mati bersama-Nya untuk bangkit kembali sebagai manusia baru. Demikianlah pada saat genap waktunya, bagaikan kupu-kupu jelita, jiwa menjadi indah memancarkan kemilau Sang Mempelai dalam persatuan cintakasih yang abadi dengan Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus.

Tujuan hidup dari setiap orang kristiani adalah persatuan transforman dengan Allah. Santa Teresa sendiri telah mengalaminya, sebuah saat yang indah, saat dirinya ditransformasikan ke dalam Kristus. Hanya di dalam Kristus sajalah, manusia dapat menemukan makna diri yang sebenarnya. Dalam spiritualitas Teresiana, kematangan rohani seseorang diukur dari ketenggelaman totalnya di dalam Kristus dan dalam tindakannya untuk melepaskan diri dari setiap hal yang dapat menghambat bekerjanya rahmat-rahmat Allah di dalam dirinya.

Manusia merasakan dalam dirinya sebuah panggilan adikodrati, yang membuatnya secara konstan terarah terus kepada Kristus. Para kudus mengalami kehadiran Kristus ini di dalam dirinya, bagai sebuah benih yang tertanam di dalam jiwa yang ingin terus tumbuh dan berkembang.

Bagi St. Teresa, kenyataan bahwa Kristus pernah hidup sebagai manusia di bumi ini, membuatnya dengan pasti mengatakan bahwa Yesus mengangkat jiwa seseorang dari kedalaman egonya kepada Bapa. Manusia dibawa-Nya keluar dari diri sendiri. Yesus sendiri pernah mengalami kehidupan sebagai manusia biasa seperti kita semua, walaupun pada saat yang sama Ia juga adalah Allah seratus persen. Kehadiran-Nya di bumi ini sebagai manusia merupakan kehadiran yang efektif dalam memberikan teladan hidup bagi kita semua para pengikut-Nya. Melalui persatuan transforman, jiwa mengalami sebagai manusia baru, yang penuh dengan keinginan dan aspirasi baru. Semua ini berasal dari sebuah kuasa mistik di kedalaman dirinya, yang menghantarnya menuju keabadian dan membuatnya berkata, “Hidupku adalah Kristus.”

Berdasarkan konsep Teresiana, manusia merupakan sebuah eksistensi dalam dialog dan kristologis. ‘Eksistensi’ karena manusia didefinisikan oleh kodratnya yang selalu mencari keserupaannya, yang tak lain adalah Sang Tiada Tara. Kita ketahui bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah, serupa dengan Allah. Dan demi pencarian ini, jiwa perlu menaklukkan diri sendiri dan keluar dari dirinya sendiri pula. Dikatakan ‘dialog’ sebab pencarian ini dimulai dengan berangkat dari dirinya sendiri. Dan dikatakan ‘kristologis’, karena sang “Engkau” yang dirindukan jiwa dalam pencarian ini, bukanlah pribadi yang abstrak dan tak jelas, melainkan Kristus sendiri yang tak lain dan tak bukan merupakan wujud hidup dari Allah bagi seluruh umat manusia.

Warta penting yang dibawakan oleh St. Teresa adalah Yesus Kristus sendiri. Dialah yang membuat jiwa kita terkontemplasi dan yang membentuk sikap-sikap dasar kita dalam  kehidupan sehari-hari. Yesus adalah model dan teladan dalam transformasi kristiani. Hidup dalam persatuan dengan Kristus berarti hidup senantiasa di hadirat kasih-Nya, selalu bersama-Nya baik dalam suka dan duka, “Karena Ia adalah sahabat yang sangat baik.” (Riwayat Hidup, 22,10)

Pesan utama St. Teresa dalam hal ini adalah agar kita mengakar kepada Kristus secara total, baik dalam kemanusiaan-Nya maupun keilahian-Nya. Inilah yang menjadi pintu keselamatan jiwa dan gerbang menuju transformasi ilahi. Perjalanan transformasi ini ditempuh bersama Yesus melalui tapak-tapak doa, mengikut jejak Kristus, dan kesetiaan di jalan panggilan, hingga mencapai transformasi di dalam Kristus yang menjadi puncak tujuan hidup umat kristiani: “Aku mencari Engkau di dalam aku” berubah menjadi “Aku mencari aku di dalam Engkau.” Demikianlah yang dirasakan jiwa yang semula mencari Allah yang bersemayam di dalam hatinya. Setelah menjumpai Allah di kedalaman lubuk jiwanya, dirasakannya keagungan dan kebesaran Allah yang jauh lebih besar dari dirinya. Sehingga akhirnya ia mendapatkan dirinya telah tenggelam di dalam Allah. “Jiwa dan Allah telah menjadi satu,” demikian kata St. Teresa, “bagai anak sungai yang bermuara di lautan, tak mungkin lagi terpisahkan satu sama lain. Dan bagai dua lilin yang berdekatan, memancarkan satu cahaya dan satu terang.”

Yesus selalu hadir di setiap saat dalam kehidupan rohani manusia, dan Ia bersemayam dalam jiwa kristiani karena pembaptisan yang mempersatukan kita dengan-Nya. Melalui kehendak bebas dan persatuan mistik kita dengan Allah, seluruh keberadaan diri yang tak lain merupakan karunia Allah ini menjadi persembahan yang hidup bagi-Nya. Pada puncak dari kehidupan rohani, kehadiran Kristus membuka jalan kepada “pengilahian” manusia, sehingga manusia dapat mencapai titik kulminasi dengan pernikahan rohani dalam persatuan dengan Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Saat itulah, terjadi persatuan yang mulia antara roh dengan roh, persatuan yang paling indah yang mungkin terjadi di bumi ini, persatuan yang dimulai dengan pembaptisan.

Perjalanan menuju transformasi ini terbuka bagi seluruh umat kristiani, tanpa kecuali. Semuanya tergantung kepada keterbukaan dan penyerahan diri manusia yang mempunyai kehendak bebas. Karena sesungguhnya, melalui pembaptisan semua orang menjadi tempat tinggal Allah. Itu berarti, semua orang dapat pula bersatu dengan Dia yang bersemayam di dalam hatinya. Dan kita semua juga diciptakan serupa dengan-Nya, menurut gambaran-Nya. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan hidup rohani kita, dengan menjalani kehidupan yang sama dengan yang dijalani Kristus, sesuai dengan panggilan kita masing-masing, hingga akhirnya jiwa mencapai persatuan yang sempurna dengan-Nya.

“Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” (Kol. 3:3)

“…aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal. 2:20)