Print
Hits: 11513

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Dalam sejarah banyak organisasi gereja yang tampaknya tidak punya harapan lagi, tiba-tiba menjadi begitu bergairah. Penyebabnya? Ada pemimpin baru. Sebaliknya, ada pula organisasi gereja atau sel yang awalnya begitu bergairah lambat laun menjadi kering kerontang setelah ditinggal seorang pemimpin. Pemimpin baru tidak sanggup melanjutkan karya pendahulunya. Padahal, sarana dan jumlah anggota lebih daripada sebelumnya. Semuanya itu ternyata berkaitan dengan kepemimpinan.

Banyak pula organisasi gereja yang tampak sukses luar biasa, tetapi tidak membawa orang kepada Tuhan. Dari luar tampak bagus, tetapi sebenarnya tidak membawa para pelayannya kepada sukacita dan cinta yang lebih mendalam kepada Tuhan. Lebih banyak yang mengeluh. Jadinya seperti perusahaan. “Gak betah? Ya silakan keluar. Masih banyak gantinya, koq.”

Kepemimpinan rohani bukanlah soal status. Orang yang diberi jabatan dalam organisasi gerejani belum tentu seorang pemimpin. Kepemimpinan rohani itu panggilan. Panggilan sebagai penggerak, moderator, penegak, penolong, penghibur, fasilitator, juru damai, dan lain-lain. Memang, akan lebih ideal bila seorang pelayan itu sekaligus merupakan seorang pemimpin juga.


Panggilan untuk Memimpin

Mengapa jadi pemimpin itu, terutama dalam lingkungan gerejani, suatu panggilan? Jelas, karena kepemimpinan dalam gereja berarti kepemimpinan kristiani. Memimpin orang seperti Kristus. Kita semua tahu Kristus memimpin seperti apa. Dalam pemahaman manusiawi Kristus gagal sebagai pemimpin. Murid-muridNya tidak ada yang setia menemani Dia, kecuali Yohanes. Semuanya meninggalkan Dia. Pada akhir hidupNya Yesus dikhianati, disangkal, dan ditinggalkan murid-muridNya.

Menjadi pemimpin dalam gereja berarti memikul salib lebih berat daripada orang lain. Dalam dunia sekuler dan profan saja, sekarang ini semakin sulit untuk menjadi pemimpin. Kalau menjadi pemimpin duniawi saja sudah sulit, lebih sulit lagi menjadi pemimpin rohani. Alasan-alasannya:

  1. Teknologi komunikasi dan transportasi yang semakin canggih. Kemajuan ini pernah dianggap berkah bagi para pemimpin. Kata orang, menghemat waktu. Kenyataannya, kemajuan ini justru menjadi mimpi buruk bagi banyak pemimpin. Dahulu orang menyampaikan permohonan kepada para pemimpinnya lewat surat. Dengan sendirinya, orang menunggu dengan sabar. Para pemimpin juga punya waktu banyak untuk merenungkan segala sesuatu dan memutuskan dengan tenang. Sekarang? Setiap sms dan email itu sedemikian pentingnya dan membutuhkan jawaban segera. Ditambah lagi, semakin dibutuhkan seorang pemimpin, semakin banyak pula pesan yang diterima. Bagaimana caranya membalas semua pesan sepenting itu dengan sesegera mungkin? Sayang, banyak yang tidak menyadari hal ini dan terus menuntut jawaban segera dari para pemimpin mereka. Masalahnya, kalau pemimpin salah memutuskan, yang salah siapa? Lagi-lagi, pemimpin yang salah. (Membalas sms; perlukah hp itu?). Tantangan plus untuk pemimpin rohani: komitmen untuk menyediakan waktu doa yang tidak diburu-buru (waktu doa yang berkualitas).
  2. Privasi yang tercerabut. Seorang pemimpin tidak lagi milik dirinya sendiri ataupun keluarganya. Dalam pengantar saya telah menerangkan betapa pentingnya peran seorang pemimpin. Gaji CEO semakin lama semakin tinggi. Tentu itu ada alasannya. Dalam dunia kerja, seorang manager atau kepala bagian dituntut untuk disiplin, cekatan, jujur, bertanggungjawab, dan loyal terlebih dahulu sebelum menuntut anak buahnya untuk hal yang sama. Kalau mereka gagal dalam hal ini, otomatis kepemimpinan mereka gagal. Untuk pemimpin politik tuntutan semakin bertambah. Kita menyaksikan sendiri betapa banyaknya pemimpin politik yang jatuh karena skandal dalam hal moral. Tantangan plus untuk pemimpin rohani: kalau dunia kerja dan politik saja sudah menuntut sekian banyak nilai, apalagi dunia rohani. Bayangkan Paus kita makan es krim di gellatissimo atau nonton “Phantom of the Opera”! Pasti jadi tajuk berita di koran-koran. (Jaim itu salib!)
  3. Masalah terbesar zaman ini bukan soal kelangkaan pemimpin yang cakap. Soal terberat ialah terlalu beragamnya tuntutan. Orang zaman ini semakin sulit untuk percaya pada orang lain. Semakin sulit bagi kita untuk tunduk dan taat pada orang lain. Inilah kesombongan kolektif yang semakin melebar. Untuk ini, zaman sekarang membutuhkan pemimpin yang sadar betul bahwa dia tidak bisa memuaskan semua orang. Itu sudah menjadi semacam prinsip. Tantangan plus untuk pemimpin rohani: keputusan harus sesuai dengan norma-norma kristiani. Itu berarti kadang-kadang keputusannya tidak populer. Artinya, keputusan seorang pemimpin rohani kadang-kadang tidak memuaskan sebagian besar orang-orang yang dipimpinnya. Dalam kepemimpinan rohani atau gerejani hampir selalu ada yang mengeluh. Sampai-sampai ada litani serba-salah pastor:

Litani Serba Salah Seorang Pastor

Kalau pastornya muda, dibilang masih blo'on
Kalau pastornya tua, sebaiknya pensiun saja.

Kalau khotbah terlalu panjang, dibilang menjengkelkan
Kalau khotbahnya cepat, "Kok, kayak kereta ekspres".

Kalau mulai misa tepat waktu, katanya kaku
Kalau terlambat, “Idiih, pastornya malas.”

Kalau di kamar pengakuan menasehati, katanya banyak omong
Kalau sebaliknya, dibilang kurang tanggap.

Kalau mengikuti pendapat umat, dibilang tidak punya pendirian
Kalau mengikuti pendapat sendiri, dicap diktator.

Kalau keuangan paroki mepet, katanya pastor tak pintar usaha
Kalau ngomongin soal uang, dibilang mata duitan.

Kalau mengadakan misa lingkungan, katanya tak pernah kunjungan keluarga
Kalau mengunjungi keluarga, "Kapan sich pastornya misa lingkungan?".

Kalau pastor tak ada di pastoran, dicap tukang ngeluyur
Tapi kalau selalu ada, dibilang pastor kurang pergaulan.

Kalau memperhatikan anak-anak, dibilang "Masa kecil kurang bahagia".
Kalau memperhatikan Mudika, giliran orang tua ngegosip.

Kalau nonton TV, dibilang enak-enakan
Kalau tidak, dibilang enggak mengikuti zaman.

TAPI, KALAU PASTORNYA MENINGGAL, SIAPA YANG MAU GANTI?

Jadi pemimpin rohani itu sulit. Jadi pemimpin rohani itu berarti pengorbanan dan salib. Tidak mengherankan banyak yang menolaknya. Ini tidak terjadi zaman sekarang saja. Kita kenal para nabi yang juga menolak tugas ini, Musa dan Yeremia. Mereka tahu bahwa mereka akan mengalami banyak penolakan bahkan aniaya dari orang-orang yang mereka pimpin. Sama seperti pemimpin rohani zaman ini. Sudah tidak dapat gaji, dicemooh dan bahkan harus siap dibenci pula. (Ketua lingkungan yang dipojokkan; pastor yang ditolak).

Sejauh saya tahu, tidak ada uskup benar yang senang menjadi uskup. Tanggung jawab dan salibnya terlalu berat. Tidak banyak juga yang mau jadi imam. Saya tahu juga, tidak banyak yang mau menjadi pelayan. Namun, pertanyaannya sekarang: kalau kalian tidak mau, siapa yang mau? Coba, apa yang terjadi kalau Bunda Maria menolak tanggung-jawabnya sebagai ibu Tuhan Yesus. Bagaimana kalau Paulus menolak menjadi rasul? Apa jadinya Gereja Katolik kalau Karol Wojtyla menolak menjadi Yohanes Paulus II? Memang akan ada argumen, Tuhan bisa memakai orang lain. Akan tetapi, sejarah tidak akan pernah sama lagi. Betapa ruginya dunia kalau Muder Teresa sampai menolak panggilan Tuhan untuk mendirikan Misionaris Cintakasih? (Muder Teresa: kuas yang rusak; Rm Yohanes). Menjadi pemimpin rohani sekaligus membuka kesempatan lebih besar untuk membantu orang sampai kepada jalan yang benar.


Bagaimana Menjadi Pemimpin Rohani yang Baik?

Kalau anda pergi ke toko buku, misalnya “Kinokuniya”, anda akan menemukan satu rak atau bagian khusus untuk Leadership. Banyaknya buku tentang kepemimpinan, selain menunjukkan bahwa semakin banyak orang ingin tahu bagaimana cara memimpin, juga semakin membuktikan betapa orang zaman ini mendambakan pemimpin yang baik.

Dari buku-buku yang banyak itu kita tahu beberapa kualitas pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik biasanya berkarisma, berpengaruh, disiplin, serta punya visi dan determinasi untuk mencapai tujuan kawanannya. Namun, kualitas-kualitas itu saja tidak cukup. Adolf Hitler punya semua kualitas itu. Untuk kepemimpinan rohani kita perlu tujuan yang rohani pula. Namun, itu pun tidak cukup. Para pemimpin agama seperti Jim Jones, Osama bin Laden, David Koresh, dan Shoko Asahara memiliki segala karisma dan determinasi rohani yang dibutuhkan. Seorang pemimpin rohani yang baik memerlukan segala kualitas pemimpin duniawi yang baik ditambah dengan:

  1. Pemahaman akan rencana Tuhan bagi kelompoknya. Umumnya, awal pemahaman ini muncul dalam gambaran yang sangat umum. Pemahaman ini akan berkembang secara gradual mengikuti perkembangan iman sang pemimpin. Intinya, pemimpin rohani harus tahu panggilan khusus kawanannya di dalam rangka panggilan umum komunitas dan Gereja. Ingatlah bahwa suatu komunitas tidak bisa melakukan segala-galanya. Dalam konteks KTM, kita punya spiritualitas dan karisma pelayanan yang khusus. Setialah pada itu dan komunitas akan berkembang. Tentu setiap komunitas juga punya keunikan masing-masing. Namun, tidak boleh lepas dari patokan-patokan yang lebih besar.
  2. Kepekaan akan bimbingan Roh Kudus. Doa dan membaca Kitab Suci itu mutlak. Tidak perlu lebih banyak penjelasan lagi untuk hal ini. Libatkan Tuhan dalam segala rencanamu!
  3. Tanggung-jawab dan cinta akan komunitas. Jika ada yang keliru, pemimpin rohani yang baik pertama-tama tidak akan menyalahkan orang lain. Dialah yang pertama-tama harus mengklaim tanggung-jawab apabila kawanannya melenceng dari jalan Tuhan. Untuk ini memang diperlukan rasa memiliki, rasa cinta (sense of belonging) yang besar terhadap komunitasnya.
  4. Pengaruh dan teladan yang baik bahkan bagi orang di luar kelompoknya sendiri. Baik buruk kesan terhadap suatu kelompok sangat bergantung dari imej pemimpinnya. Orang mengakui kebaikan Katolik dengan melihat tokoh-tokohnya yang luar biasa. Dalam abad yang lalu kita tidak bisa melupakan pengaruh dan teladan dari Muder Teresa dan Paus Yohanes Paulus II. Mereka berdua berperan besar dalam menyelamatkan ‘muka’ Katolik dalam masyarakat. Kebajikan dan karisma mereka berdua mengalahkan segala publikasi ‘miring’ tentang para imam yang pedofil. Untuk kita, setia dalam hal-hal kecil merupakan awal dan kunci untuk hidup bersinar di tengah kegelapan dunia.
  5. Optimisme dalam iman! “Jangan takut!” Itu pesan Yesus. Itu pula pesan Yohanes Paulus II. Benediktus XVI melanjutkan optimisme ini. (WYD!). Siapa yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus? Di tengah-tengah skeptisisme dan apatisme yang melanda dunia, Katolik, khususnya KTM, terlebih lagi para pemimpinnya harus menjadi corong harapan dan optimisme. Tuhan tidak mati! Dunia segelap apa pun tidak akan bisa mengecilkan seruan-seruan sederhana penuh keyakinan: “Yesus hidup! Alleluya!” (Taize).

Sebab-sebab Kejatuhan Pemimpin-pemimpin Rohani


Kesombongan


Dosa Seksual

Kesombongan itu paling berbahaya, namun tidak kelihatan. Bisa saja orang tetap menjadi pemimpin yang dihormati sekalipun sombong. Namun, kalau seorang pemimpin ketahuan jatuh dalam dosa seksual, seluruh kredibilitasnya akan runtuh. Cara untuk mengatasi dosa seksual:

  1. Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Memahami dan menjalankan nasihat sendiri.
    • Cara pencegahan terbaik ialah menjauhi sumber dosa seksual.
    • Gunakan sarana-sarana penyembuhan: pengakuan dosa dan bimbingan rohani.
    • Cari pembimbing atau minimal dua orang sahabat rohani kepada siapa anda bisa menceritakan godaan-godaan anda secara teratur.
    • d.Mereka juga bisa menjadi penegur bila anda mulai melenceng.
  2. Mengerti sungguh-sungguh risiko fatal dosa seksual.
  3. Mengembangkan kebiasaan-kebiasaan hidup moral dan tatakrama yang sehat. Sopan santun, khususnya terhadap lawan jenis sebisa mungkin dijaga.
  4. Doa dan mohon doa dari orang lain.

Sinisisme


Cinta Uang (bdk. 1 Tim 6:10)

Malas Belajar

Sensitif Berlebihan

  1. Kurang humor. Orang yang tidak bisa menertawai diri sendiri bukanlah pemimpin yang baik, apalagi pemimpin rohani yang baik.
  2. Kritik yang membangun merupakan berkat bagi para pemimpin rohani yang baik.
  3. Bagaimana menghadapi kritik yang pedas atau terkadang berbau fitnah?
      1. Jujurlah apakah kritik itu memang punya dasar atau tidak? Bila memang ada kemungkinan kesalahan di pihak kita, meskipun berat, akuilah itu dengan terus terang dan rendah hati.
      2. Bila kritikan itu tidak berdasar dan berbau fitnah, pemimpin rohani yang baik pertama-tama akan mengesampingkan niat untuk membela diri sendiri.
      3. Ia harus membedakan apakah suatu kritikan harus ditanggapi atau dibiarkan saja. Ini butuh kebijaksanaan dari Tuhan. Terutama untuk mempertimbangkan besar kecilnya pengaruh kritikan itu terhadap komunitasnya.
      4. Apabila memang harus memberi pernyataan, nyatakanlah hal itu dengan penuh integritas sekaligus lemah lembut (bdk. 1 Ptr 3:15).
      5. Ingatlah selalu, kebenaran akan menang. Waktu akan membuktikan siapa yang salah, siapa yang benar. Hakim terakhir ialah Tuhan sendiri. (Bdk. Yes 54:17)

Kemalasan Rohani (bdk. Mat 6:33; Yoh 15; 1 Kor 13; Flp 2:13).



Prioritas, Prioritas, Prioritas: Tuhan, Keluarga, Pekerjaan, Pelayanan

  1. Nelson Mandela: sukses, tetapi harus cerai dua kali dan kehilangan kontak wajar dengan anak-anaknya.
  2. Praktis: jangan lupa hari-hari penting keluargamu: ulang tahun, ultah perkawinan, wisuda, perkawinan, kelahiran, dan lain-lain.


Kecerobohan dalam Hal Administrasi

  1. Pemimpin yang baik selalu visiunaris yang baik pula. Seorang idealis, katakanlah.
  2. Namun, akan lebih baik jika semuanya dijabarkan secara gamblang dan jelas secara tertulis.
  3. Tidak semua orang yang bisa menangkap apa yang ‘dikhotbahkan’ pemimpinnya.
  4. Komunikasi intens dan pengulangan hal-hal penting kepada orang-orang tertentu merupakan teknik kepemimpinan yang baik.
  5. Administrasi yang baik meliputi pula: penanganan konflik internal dan eksternal sesegera mungkin; mengerjakan tugas-tugas sesuai skala prioritas sesegera mungkin; selalu memikirkan delegasi dan kaderisasi.


Tidak Mau Lengser

  1. Pemimpin rohani yang baik tahu batasan mereka sendiri.
  2. Mereka terlalu bijaksana untuk membiarkan ketidakefektifan mereka menghambat kemajuan komunitasnya.
  3. Karena itu, kaderisasi merupakan program wajib bagi setiap pemimpin rohani yang baik.

Diolah berdasarkan buku “Spritual Leadership” karangan Henry & Richard Blackaby