Print
Hits: 6206

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Kontroversi baru-baru ini 

Pada tanggal 9 Agustus 2008 di Gereja Unitarian Universalist di Lexington telah diadakan sebuah upacara ‘penahbisan’ dengan tertahbis adalah seorang wanita bernama Sevre-Duszynska. Upacara ini diselenggarakan oleh suatu kelompok yang menyebut diri sebagai Roman Catholic Womenpriests. Walaupun organisasi ini menyebut dirinya “Roman Catholic” dan mengklaim telah menahbiskan sejumlah perempuan menjadi diakon, imam, dan bahkan uskup namun pada kenyataannya mereka sama sekali bukan Katolik dan apa yang mereka sebut sebagai “penahbisan” sama sekali bukanlah suatu tahbisan. Satu hal yang agak mengejutkan adalah walaupun Gereja secara resmi menyatakan bahwa perempuan tidak dapat ditahbiskan namun dalam upacara ‘penahbisan’ tersebut hadir juga seorang imam dari Konggregasi Maryknoll bernama Romo Bourgeois, seorang imam dikenal karena keterlibatannya dalam berbagai aktivitas advokasi keadilan dan perdamaian, sekarang ini Romo Bourgeois mengakui bahwa ia telah dipanggil oleh Superior Jenderal Konggregasi Maryknoll Romo John Sivalon dan dua imam lain dari dewan Konggregasi untuk mempertanggungjawabkan kehadirannya dalam upacara yang jelas-jelas memperolok kepercayaan Katolik tersebut. Namun, Romo Bourgeois mengaku bahwa ia sama sekali tidak merasa bersalah atas tindakannya menghadari upacara ‘penahbisan’ tersebut.

Pada tanggal 4 September 2008 Keuskupan Agung Washington mengeluarkan surat gembala yang ditandatangani oleh Mgr. Barry C. Knestout, Vikaris untuk urusan administrasi dari keuskupan tersebut yang isinya memberitahukan kepada para imam bahwa kelompok Dorothy Day Catholic Worker House telah berkerjasama dengan kelompok Roman Catholic Womenpriests untuk menyelenggarakan kembali suatu upacara ‘penahbisan’ palsu. Dalam surat tersebut ditegaskan kembali pendirian Gereja yang menolak penahbisan wanita dengan mengutip Katekismus Gereja Katolik no. 1577 dan Kitab Hukum Kanonik 1983 Kan. 1024 serta pernyataan dari Konggregasi untuk Ajaran Iman tanggal 19 Desember 2007 yang menyatakan bahwa setiap mereka yang berusaha ‘menahbiskan’ wanita dan para wanita yang berusaha ‘ditahbiskan’ terkena ekskomunikasi latae sententiae yang merupakan hukuman gerejani terberat. 

Pandangan Alkitabiah

Dalam suratnya kepada umat di Galatia St. Paulus menegaskan bahwa di dalam Kristus pria dan wanita adalah setara (Gal 3:28). Kesetaraan tidak berarti bahwa pria dan wanita itu identik, ada perbedaan antara pria dan wanita baik itu menyangkut hal fisik, psikologis dan spiritual. Perbedaan-perbedaan itu tidak menjadikan yang satu lebih rendah dari yang lain, tetapi ada karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Salahsatu perbedaan fisik yang paling menonjol antara pria dan wanita adalah ketidakmampuan pria untuk melahirkan, dan sampai saat ini penulis belum pernah mendengar ada orang yang menyatakan bahwa pria itu lebih rendah daripada wanita karena pria tidak mampu melahirkan, sama seperti halnya perbedaan fisik itu juga ada perbedaan spiritual.

Sepanjang karyaNya di dunia Yesus Kristus hanya memilih pria-pria untuk menjadi RasulNya, dan pada malam Perjamuan Terakhir Ia mentahbiskan pria-pria itu menjadi imam-imam Perjanjian Baru. Selanjutnya St. Paulus menetapkan bahwa mereka yang diangkat menjadi presbyter (penatua atau imam) dan episcopus (penilik jemaat atau uskup) haruslah seorang pria yang sudah beristri (1 Tim 3:2; Tit 1:6) atau seperti halnya Paulus, Timotius dan Yohanes adalah pria-pria yang berselibat. Menyangkut para diakon memang betul bahwa di Alkitab ada wanita seperti Phoebe disebut sebagai diakon (Rom 16:1), namun dalam arti yang biasa sebagai seorang pelayan yang membantu Paulus dan banyak orang lain terutama dengan bantuan finansial yang ia berikan kepada Paulus dan Gereja (Rom 16:2) dan tidak memiliki arti yang sama dengan jabatan diakon pria.

Jika kita ingin memperhatikan juga pandangan Perjanjian Lama tentang imamat maka kita akan melihat bahwa jabatan imam juga dikhususkan bagi pria. Dalam imamat Harun hanya anak laki-laki dari Harun saja yang dapat ditahbiskan imam, sementara dalam imamat Melkisedek yang dalam Surat kepada orang Ibrani disebut sebagai prototype dari imamat Kristus juga tidak terdapat imam perempuan. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa dikecualikannya wanita dari jabatan imam lebih merupakan pengaruh budaya patriarkhi yang dianut oleh orang Yahudi pada masa Perjanjian Lama dan juga dianut oleh orang Yahudi, Yunani dan Romawi pada masa Perjanjian Baru. Argumen semacam ini amat lemah karena dalam Perjanjian Lama sejumlah wanita memainkan peranan yang amat penting seperti halnya; Debora yang bertugas sebagai hakim yang pada masa itu merupakan gabungan antara raja, nabi, dan hakim dalam arti modern, atau; Ester dan Yudith yang menjadi penyelamat bangsa Yahudi dari musuh-musuh mereka. Dalam Perjanjian Baru sejumlah wanita juga berperan penting, pada tempat pertama adalah Maria dari Nazareth yang merupakan ibu Kristus sendiri kemudian juga ada seorang nabi perempuan bernama Hana serta banyak tokoh-tokoh wanita lain yang memiliki peranan istimewa dalam perkembangan Gereja Perdana seperti Lidya, Phoebe, Priscilla (Priska) dan banyak lagi lainnya.

Dengan alasan di atas kita dapat yakin bahwa penolakan Kitab Suci terhadap tahbisan perempuan tidak terjadi karena alasan-alasan budaya melainkan merupakan kehendak Allah sendiri. 

Pandangan Gereja

Sepanjang sejarah Gereja, kontroversi mengenai penahbisan perempuan merupakan sesuatu yang relatif baru. Selama berabad-abad seluruh Gereja berada dalam keyakinan penuh bahwa hanya pria yang dapat ditahbiskan menjadi imam. Keyakinan ini mulai menghadapi cobaan yang serius pada pertengahan tahun 1970-an ketika Persekutuan Anglikan mulai menhabiskan perempuan sebagai imam. Paus Paulus VI menulis surat kepada Pendeta Dr. F.G. Coggan yang waktu itu menjabat sebagai Uskup agung Canterbury yang isinya menyatakan bahwa: “Gereja berpegang teguh bahwa ia tidak dapat menahbiskan wanita ke dalam imamat karena alasan-alasan yang sangat mendasar. Termasuk dalam alasan-alasan ini: Contoh-contoh dalam Kitab suci menunjukkan bahwa Kristus hanya memilih Rasul-rasulNya dari para pria; juga praktek terus menerus dari Gereja, yang meniru Kristus dalam memilih hanya pria saja; dan juga kuasa mengajar Gereja yang secara terus menerus berpegang bahwa pengecualian wanita dari imamat adalah sejalan dengan rencana Allah bagi GerejaNya”. Dalam surat yang sama itu juga Paus Paulus mengingatkan bahwa sikap Persekutuan Anglikan yang mulai menahbiskan perempuan akan menambah kesulitan dalam hubungan ekumenis antara Gereja Katolik dan Persekutuan Anglikan. Untuk menyediakan jawaban teologis yang lebih memadai Paulus VI kemudian memerintahkan Konggregasi untuk Ajaran Iman agar mempersiapkan suatu dokumen menyangkut masalah ini. Dokumen ini yang kemudian dikenal dengan nama Inter Insignores kembali menegaskan bahwa tindakan Kristus memilih hanya pria saja menjadi Rasul-RasulNya tidak berasal dari motif sosiologis dan kultural zamanNya.

Dalam Surat Apostolik Ordinatio Sacerdotalis Paus Yohanes Paulus II mengulangi kembali dengan memberikan sejumlah tambahan mengenai alasan-alasan alkitabiah dan teologis penolakan Gereja terhadap penahbisan wanita yang sebagian besarnya telah dibahas di atas. Yang sangat penting dari pernyataan Yohanes Paulus II ini adalah pernyataannya yang secara definitif menuntut ketaatan dari seluruh umat beriman dimana beliau menyatakan: “Karena itu, agar semua keraguan mengenai hal yang sangat penting ini dapat dihapuskan, suatu hal yang bergantung pada konstitusi ilahi Gereja sendiri, dengan kuasa pelayanan saya untuk meneguhkan saudara-saudara (Luk 22:32). Saya menyatakan bahwa Gereja tidak memiliki kekuasaan apapun untuk memberikan tahbisan imamat kepada wanita dan bahwa penilaian saya ini harus dipegang teguh oleh semua umat beriman Gereja.”

Dalam pernyataannya tersebut Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa penolakan Gereja terhadap penahbisan perempuan termasuk ke dalam ranah ajaran yang tidak dapat sesat. Pendirian Gereja ini tidak mungkin diubah. Kardinal Tarcisio Bertone kemudian menegaskan bahwa dalam Ordinatio Sacerdotalis Paus Yohanes Paulus II telah menggunakan kuasa mengajar yang tidak dapat salah bukan dalam bentuk yang meriah dan luar biasa melainkan dalam bentuk yang biasa karena ia mengemukakan kembali suatu ajaran yang terus menerus diungkapkan oleh Gereja sepanjang sejarahnya.

Akhirnya pada tanggal 19 Desember 2007 Kongregasi untuk Ajaran Iman kembali menegaskan sanksi ekskomunikasi latae sententiae bagi setiap upaya pemberian dan penerimaan tahbisan bagi wanita.